Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 15 Kegundahan Amira

"Jadi.. kamu membawa ini jauh jauh dari Manila?"

Adalah pertanyaan keseratus dua puluh lima kali yang Amira layangkan.

Hana mendengus kesal. Dia sendiri sudah malas untuk menjawab. Bertanya sampai seribu kalipun, jawabannya tetap tidak berubah karena memang seperti itulah kenyataanya. Jadi untuk apa di tanyakan sampai berulang ulang? Apa itu bisa mengubah sesuatu?

"Baiklah, aku tidak akan bertanya lagi." Ucap Amira setelah merasakan aura dingin yang menguar dari tubuh sahabatnya, di tambah ekspresi seram yang Hana tunjukan, membuatnya menghentikan rasa tidak percayanya hingga akhirnya dia menyerah untuk kembali bertanya.

"Selama aku beraliansi dengan Bos Deni, aku tidak pernah mendapat konpensasi yang banyak. Mungkin karena Badut tua itu pelitnya sudah di batas normal sampai tidak mau mengeluarkan uang sebanyak ini untukku."

Amira seakan mengeluarkan air liur saat di hadapkan dengan uang pecahan dollar berwarna hijau yang telah menyilaukan matanya. Dia tidak sabar untuk menghabiskannya. Bagaimanapun dia adalah tipe wanita yang materialistis dan juga penggila uang, okey?

Hana menaikan sebelah alisnya, "Oh ya??"

Hana merasa tidak percaya dengan ucapan Amira yang terdengar sangat berlebihan. Bukankah sebuah mahkota memang sepadan jika di patok dengan harga yang mahal?

Amira mengangguk, wajah cerianya berubah masam, "meskipun itu yang pertama untukku, aku hanya mendapat pembayaran beberapa puluh juta Rupiah dari badut tua itu." Ucapnya lesu.

Pada saat itu Amira sangat hancur dan terluka. Namun Bos Deni memberikan beberapa kata motivasi sampai akhirnya dia terpengaruh untuk menjadi teman tidur selama beberapa tahun. Tidak hanya sebagai teman di atas ranjang, tapi juga merambah menjadi teman curhat pria tua mesum itu.

Hana tersenyum tipis, tidak tau harus menanggapi apa. Dia tau Amira tidak baik baik saja. Gadis itu akan sangat emosional saat mengingat masa lalunya yang traumatis dan tragis.

"Maafkan aku, Ra??" Hana memeluk Amira erat.

Amira tertegun. "Kenapa?"

"Karena aku tidak ada saat kamu mengalami semua itu. Maafkan aku."

Amira tersenyum, "itu bukan kesalahanmu, kenapa kamu yang harus meminta maaf? Itu salahku karena pergi dari panti. Jadi tidak ada sangkut pautnya denganmu, okey?"

Hana mengangguk, melepaskan pelukannya. Kini dia seperti anak kucing yang kehujanan. Wajah pucat, badan kurus serta hati yang hancur. Namun, dia bahagia saat bisa memeluk erat Amira. Menganggap seakan Amira adalah Ibunya. Gadis itu meskipun masih muda tapi sangat sabar dan juga perhatian. Wajar jika dia merasa sangat nyaman saat Amira di sisinya.

"Sekarang.. uang sebanyak ini, akan kamu gunakan untuk apa?"

Amira menunjuk koper di depannya. Sebuah koper berisi uang senilai delapan belas ribu dollar cash, dan di bawa langsung dari Manila membuatnya kagum dengan mata berbinar yang menunjukan kilau kebahagiaan. Meski itu bukan uangnya, tetapi dia cukup bahagia meski hanya melihatnya.

Hana memandangi uang itu lekat. Uang yang masih utuh dan belum terpakai sepeserpun, bahkan dia juga belum menyentuhnya.

Sejujurnya dia bingung harus menjawab apa pertanyaan Amira yang satu ini, dia sendiri masih ragu. Dia tau betul ini adalah uang haram. Uang hasil dari dia menjual diri, jika bukan uang haram lalu apa?

"Berhenti menjadi munafik. Kamu pikir rumah yang kita huni sekarang ini, aku dapatkan dari mana dan dari siapa kalau bukan hasil dari menjadi Merpati Biru selama bertahun tahun? Kamu pikir, ada uang yang jatuh dari langit?"

Amira seakan tau tentang apa yang tengah Hana pikirkan. Hana masih terlalu polos untuk menjadi liar, dan masih terlalu baik untuk menjadi jahat.

Hana diam. Memikirkan perkataan Amira dengan serius. Haram dan halal adalah dua sisi yang saling bersebrangan. Namun saat haram sudah berubah dalam bentuk uang, maka keharamannya tidak lagi nampak.

"Sudahlah, tidak perlu hidup dalam kesucian, juga jangan takut berbuat dosa. Hidup itu tidak selalu bersih. Pasti ada sisi kotornya walau hanya sedikit, tetapi karena mereka bisa menutupi noda mereka dengan baik, membuat mereka masih terlihat bersih."

Amira menarik nafas panjang, memilih kata yang sekiranya enak untuk di ucapkan.

"Kata kotor hanya untuk mereka yang selalu menganggap hidup mereka bersih dan menganggap orang lain kotor sebagai gantinya. Sedangkan mereka hanya bisa menghakimi orang lain tanpa mereka tau dan peduli dengan alasan orang lain saat menjadi kotor. " Lanjut Amira penuh penekanan.

Dia sangat jijik dengan dirinya sendiri yang kotor dan penuh dosa. Kata kata itu untuk dirinya sendiri saat masih anak magang di tempat Bos Deni, dan kata kata itulah yang sering dia dengar dari gadis gadis lain yang senasib dengannya.

Cara untuk menghibur diri paling sempurna.

Meskipun Amira sudah berhenti dari pekerjaan kotor itu, tetapi noda hitam yang kadung melekat padanya tidak bisa di hapus atau di hilangkan.

"Orang lain hanya bisa berspekulasi tanpa mencari tau kebenarannya. Mereka hanya menilai berdasarkan apa yang mereka lihat, tidak benar benar mengerti tentang mengapa dan bagaimana."

Hana menundukan kepala. Dia tidak tau harus menjawab apa. Bukannya dia berlagak suci atau apa, dia hanya merasa bersalah karena uang itu sebenarnya akan dia pakai untuk pengobatan Ibu meski itu tidak pernah terjadi.

"Na, bukannya aku ingin mengajarimu untuk menjadi orang yang tidak benar. Aku hanya ingin kamu tau kalau hidup kita itu berbeda dengan mereka. Mereka melakukan seks karena mereka menyukainya dan menjadikan itu sebagai gaya hidup mereka. Sedangkan kita melakukan itu untuk bertahan hidup. Kita bukan orang kaya, bukan anak sultan yang bisa bahagia sepanjang hari tanpa pusing memikirkan uang untuk makan. Mau ini, ada. Mau itu, terpenuhi. Kita berbeda, Na. Kamu dan aku ibarat tanaman yang layu, akan segar jika ada yang menyiramnya, sebaliknya.. kalau tidak.. kita akan mati."

Hana mendengarkan semua unek unek Amira dengan seksama. Itu semua adalah kata hati Amira yang sudah terpendam lama di dalam hati, dan baru sekaranglah Amira bisa melepaskan semua kegelisahannya di depan orang lain.

"Aku ingin bertanya, apa kamu masih ingin berkuliah?"

Hana mengangguk.

"Jika seperti itu, lantas kamu ingin membayarkan menggunakan apa?"

Hana menggeleng. Jangankan biaya untuk kuliah, biaya untuk makan saja susah. Dia bahkan tidak pernah berpikir untuk kuliah setelah semua yang terjadi.

"Nah, biaya kuliah saja kamu tidak memilikinya. Lantas kalau kamu tidak menggunakan uang ini, kamu mau memakai uang siapa? Uang nenek moyangmu? Atau uang warisan? Tidak ada orang yang akan membagi uang mereka secara cuma cuma tanpa ada jasa, Sekarang kamu miskin. Tapi.. kamu masih bisa menggunakan uang ini untuk biaya hidup. Untuk biaya kuliah psikologi. Selesai kan?"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel