Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 13 Kesedihan Mendalam

Bandung, Indonesia.

Setelah turun dari taksi, Hana berjalan cepat menyusuri lorong rumah sakit. Satu yang dia tuju, yaitu Kamar Mayat. Tempat dimana Ibunya berada.

Suster Feli menemaninya saat memasuki ruangan yang dingin dan sunyi. Hanya ada kesunyian diantara orang orang yang telah mati.

Para manusia yang telah di panggil oleh yang kuasa meninggalkan raga raga mereka, meninggalkan sanak saudara, serta meninggalkan harta benda yang telah mereka kumpulkan semasa hidup.

Ketika masa mereka berakhir dan saat urusan mereka telah selesai, maka sudah menjadi tugas Malaikat pencabut nyawa untuk menanganinya. Dan di kamar inilah jazad mereka di tempatkan sebelum di kembalikan kepada pihak keluarga untuk di makamkan, Bu Rianti adalah salah satunya.

Suster Feli menunjukan ranjang tempat Bu Rianti terbaring, di atas ranjang bertutupkan kain putih. Dia memberikan arahan agar Hana membuka penutupnya.

Hana mengangguk, sedikit ragu. Sampai detik ini dia masih menolak kenyataan jika Ibu telah tiada, dia bahkan masih berharap jika itu bukanlah Ibunya.

Dia berdoa dalam hati, berharap itu adalah orang lain yang berbaring di sana. Namun, untuk kesekian kalinya dia kembali kecewa.

Wajah suram Hana bertambah suram dalam hitungan detik, juga air mata sialan yang kembali jatuh saat mendapati jika itu memang Ibunya, bukan orang lain seperti harapannya.

Wajah itu.. masih sama seperti terakhir kali di tinggalkannya tiga hari yang lalu. Namun, perbedaan terbesar yang tampak signifikan saat ini terletak pada mata Ibu yang terpejam rapat, juga tubuh yang dingin dan kaku.

Hana mengusap wajah Ibunya, wajah yang pucat dan tubuh yang kurus membuktikan jika Ibu masih berusaha melawan penyakitnya sampai titik darah penghabisan hingga ajal menjemput.

"Kenapa? Kenapa Ibu meninggalkan Hana sendiri?"

Hana kembali menangis. Rasa sesal yang mendalam telah membuatnya lupa jika kehilangan adalah sesuatu yang orang lain juga merasakan, tidak hanya dirinya. Tetapi.. dia ingin semua kembali seperti semula meski dia tau itu tidak mungkin.

"Sabar, Na. Ini sudah jalan terbaik dari Tuhan untuk Ibu Rianti."

Suster Feli menepuk pelan punggung Hana. "Empat jam Bu Rianti menunggu kamu di sini. Sekarang kamu sudah datang, jadi saatnya kamu untuk mengantar beliau ke peristirahatan terakhirnya."

〰〰〰

Sore ini.. jenazah Bu Rianti tiba di sebuah pemakaman umum di kompleks tempat tinggal Hana. Hanya berjarak sekitar satu kilometer dari tempat kostnya bersama Ibu setelah rumah peninggalan Ayah di jual.

Sesuai rencana, Ibu akan di kebumikan setelah Hana tiba di Jakarta, dan setelah semua selesai di urus, ini adalah finishnya. Akhir dimana Ibu harus kembali ke pangkuan Ilahi.

Pemakaman tampak lengang lantaran hanya ada beberapa orang yang datang melayat. Itupun merupakan tetangga dekat yang cukup dekat dengan Ibunya semasa masih hidup. Di tambah warna hitam yang mendominasi dari setiap pelayat, membuat suasana kian suram dan mencekam.

Jenazah Ibu mulai di masukan ke liang lahat, di sertai tundukan serta air mata yang bercucuran tanpa henti. Hingga jenazah sedikit demi sedikit mulai tertutup rapat dengan tanah, dan setelahnya tidak nampak apapun lagi. Tubuh Ibu benar benar telah menyatu dengan bumi.

Tidak ada lagi yang tersisa selain pusara dengan tanah basah serta taburan bunga mawar yang berserakan di atas sebuah gundukan dengan nisan bertuliskan RIANTI binti HALIM yang di tulis dengan huruf tebal di sertai tanggal kelahiran serta kematiannya.

Sedih. Ini seperti pukulan telak yang tidak bisa di hindari. Merupakan duka mendalam yang tengah Hana rasakan. Penggambaran yang nyata tentang devinisi kesedihan, penderitaan, duka cita serta belasungkawa.

Hana masih menangis pilu. Terselip doa agar Sang Ibu di lapangkan kuburnya, di maafkan segala kesalahannya, serta di terima segala amal ibadah yang pernah Ibu lakukan semasa hidup di dunia.

Tidak peduli sekuat apapun Ibu berjuang, ketika Ibu lelah, maka tidak ada tempat kembali selain Tuhan. Saat dimana waktu telah habis dan raga telah di bekukan, maka tertidur lelap di bawah timbunan tanah adalah suatu keharusan.

Setiap yang bernyawa akan mati, itu adalah kepastian yang tidak bisa ubah. Manusia hanya perlu menunggu waktu dan masa itu akan tiba. Hana tetap harus merelakan meski hatinya menolak untuk ikhlas. Belajar menerima jika sosok seorang Ibu yang selalu dia kagumi telah pergi untuk selamanya.

"Na!"

Adalah suara Amira yang menepuk pelan bahu Hana. Sebagai seorang sahabat, dia tau apa yang tengah Hana rasakan.

"Pulanglah bersamaku!!"

Hana tetap diam. Dia terlalu sedih meski hanya untuk berkata 'tidak'. Bibirnya kelu saat kebekuan menyelimuti perasaannya. Kini hanya ada dia, Amira serta kesunyian yang masih tinggal. Dia sendiri bahkan tidak menyadari saat satu persatu pelayat mulai meninggalkan area pemakaman.

"Tidak ada gunanya lagi kamu berada disini. Tante Rianti sudah tiada. Beliau sudah tenang disana, di samping Tuhan. Sementara kamu harus melanjutkan hidup seperti yang Tante Rianti inginkan."

Hana kembali menangis kala mendengar ini. Amira benar, Ibu telah tiada. Ibu telah berada di tempat yang lebih baik. Sembuh adalah satu satunya keinginan Ibu, dan Tuhan telah mengabulkan permintaan itu, memberikan kesembuhan dengan mengambil nyawanya lewat kematian.

"Kamu harus kuat, Na!"

Hana masih diam. Dia bahkan lebih kuat dari yang terlihat. Berkali kali dia terpuruk dan jatuh, sampai dia sendiri lupa cara untuk bangkit. Namun, dia bisa menutupi semuanya dengan baik. Bukankah itu cukup membuktikan jika dia lebih kuat dari siapapun?

"Kamu harus mendengarkan ucapanku. Aku memang tidak pernah kehilangan siapapun. Bukan karena aku tidak mempunyai perasaan, tetapi karena aku memang tidak mempunyai siapapun di dunia ini. Aku di besarkan di panti, jadi aku tidak mengetahui arti kata kehilangan."

Hana menundukan kepalanya. Jika di pikir lagi, mungkin dia masih terhitung beruntung dari pada Amira. Setidaknya dia masih memiliki seorang Ibu sebagai tempatnya berkeluh kesah dan bersandar. Sebagai tempatnya berlindung saat hatinya rapuh. Sementara Amira.. hanya Ibu panti kejam yang memperlakukan Amira dengan tidak layak.

Setidaknya, Hana tidak benar benar sendiri. Dia masih memiliki Amira, sahabat yang selalu ada untuknya, sahabat yang selalu datang dan membantunya kala dia mengalami masalah dan butuh bantuan, sahabat yang murni bersahabat karena memiliki satu pemikiran, memiliki satu tujuan, memiliki satu prinsip hidup serta berada pada fase yang sama.

"Sudah, tidak perlu pusing memikirkan tempat tinggal. Kamu bisa tinggal di rumahku jika kamu mau. Meskipun rumahku tidak besar, minimal cukup untuk menampung tubuh kurusmu."

Amira kembali menambahkan saat Hana masih diam, gadis itu masih tidak menunjukan reaksi apapun.

Hana menoleh, menaikan sebelah alisnya. Heran karena Amira bisa menebak isi pikirannya dengan tepat, serta heran karena Amira bisa mengetahui perasaannya dengan mudah.

Hana mengangguk, menoleh ke arah Amira kemudian tersenyum lembut.

"Pintu rumahku selalu terbuka untukmu, kapanpun kamu mau masuk. Sekarang.. kita pulang ya??"

"Tunggu sebentar!!"

Hana menghentikan Amira yang hendak membantunya berdiri. Hana menunduk, kemudian memejamkan matanya.

"Tuhan, jika melepaskan adalah untuk kebaikanku, maka beri aku kekuatan untuk itu." Doanya dalam hati sebelum meninggalkan area pemakaman bersama Amira di sisinya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel