Bab 11 Kabar Duka
Hana menggeliat saat menyadari jika hpnya berbunyi. Memang tidak nyaring, tetapi itu cukup membangunkannya dari tidur lelap dengan keringat dingin yang membasahi tubuhnya.
Aneh, tidak biasanya dia mengeluarkan banyak keringat saat tertidur. Jelas ini bukan sesuatu yang baik. Bisa saja itu akibat dari dia yang terlalu lelah meladeni hasrat bercinta Alex, atau mungkin dia memang sedang tidak enak badan.
Dengan mata yang masih terpejam, Hana meraba raba meja di samping tempat tidur. Setelah meraih hpnya, dia berusaha membuka matanya yang masih terasa lengket. Namun, rasa penasaran yang tinggi tentang siapa yang memanggil di pagi buta seperti ini telah memaksanya untuk melebarkan mata meski sebenarnya dia tidak mau.
Hana melihat jam terlebih dahulu. Sangat hebat. Dia ingat jika baru saja memejamkan matanya lima belas menit yang lalu, dia bahkan sampai lupa tidak melepas softlensnya. Pantas perasaan ini sangat tidak nyaman. Di tambah, dia masih sangat mengantuk.
Namun, mendadak matanya terbuka lebar manakala melihat nama yang tertera pada layar. Dia yakin jika ini adalah panggilan yang sangat penting. Tentu dia harus segera menjawabnya, tetapi.. tidak mungkin dia menjawab panggilan ini sekarang, bukan?
Di kamar ini, bahkan di atas ranjang ini tidak hanya ada dirinya. Melainkan ada sosok lain, lebih tepatnya adalah Alex.
Hana mengawasi sekeliling, memikirkan cara agar bisa terlepas dari cengkeraman pria ini. Pria yang masih tertidur lelap, bahkan masih memeluknya erat. Dia mengumpat dalam hati, mencoba menyingkirkan tangan kekar itu dari pinggangnya.
Dengan susah payah, Hana berhasil melepaskan diri dari pelukan Alex, kemudian menggantinya dengan bantal, dia hanya tidak ingin menganggu tidur nyenyak Alex jika menyadari dia tidak ada di sebelahnya.
Tidak lupa dia mengambil pil kontrasepsi dari dalam laci terlebih dahulu dan segera meminumnya. Dia selalu melakukan hal serupa setiap pagi sejak berhubungan dengan Alex.
Itu hanya sebagai pencegah, dia tidak ingin hamil dengan pria asing yang berstatus orang asing. Jadi.. sudah jelas dia lebih mengutamakan zona aman dari pada zona nyaman.
Hana berjalan dengan merindik dan sangat pelan, serta menghela nafas lega saat berhasil memasuki kamar mandi dengan selamat, kemudian dia menutup pintunya dengan hati hati.
Tertegun cukup lama saat melihat pantulan gambarnya dari cermin, bukan karena Hana telanjang bulat, tapi karena cupang yang Alex tinggalkan hampir memenuhi sekujur tubuhnya.
Tampak beberapa bagian telah membiru, namun.. itu bukan masalah besar. Karena masalah utamanya sekarang adalah kenapa Suster Feli memanggilnya pada jam segini?
Dengan hati berdebar, Hana segera mengangkat panggilan yang telah cukup lama berbunyi.
"Hallo." Ucapnya setelah menggeser simbol received pada layar hpnya.
"Maaf, Hana, jika saya menganggu. Saya terpaksa memanggil kamu di pagi buta karena keadaan darurat."
Adalah suara tergesa gesa seorang wanita dari balik panggilan. Terdengar sangat panik.
Hana menaikan sebelah alisnya, sesuatu yang darurat seperti ucapan Suster Feli telah membuat aliran darahnya berhenti seketika. Semacam perasaan takut dan cemas yang menumpuk jadi satu. Rasa yang sulit untuk di utarakan, serta rasa yang tidak bisa di gambarkan.
"Ada apa, Sus?"
Hana masih menjawab dengan tenang. Berusaha mengontrol perasaan panik serta berusaha menepis semua ketakutan yang tanpa sadar telah membuat telapak tangannya terasa dingin bahkan di basahi oleh keringat.
Hanya ada satu kemungkinan adanya panggilan yang Suster Feli lakukan. Pertama sesuatu yang buruk, dan kedua adalah kabar baik. Namun, dia sangat berharap akan mendengar kabar baik, bukan kabar buruk yang belakangan sering menghantui pikirannya.
"Itu.. Bu.. Bu Rianti..."
Suster Feli tergagap. Seperti tengah memilih kata yang sekiranya pantas untuk di ucapkan. Sebuah kalimat yang dia harap tidak akan menyakiti perasaan Hana.
"Ibu kenapa??"
"Bu Rianti.. beliau meninggal, beberapa menit yang lalu. Dokter Fieda sudah mengupayakan yang terbaik untuk beliau, tapi ternyata.. Tuhan berkehendak lain."
Apa??
Hana menggelengkan kepala tidak percaya, "ini.. ini tidak mungkin."
Kaki Hana mendadak lemas, kabar ini adalah hal paling menakutkan yang tidak ingin di dengarnya. Dia terduduk begitu saja di lantai.
Dingin.. namun tidak lagi terasa dingin saat dunianya telah hancur sepenuhnya.
Hancur adalah satu kata yang mampu menggambarkan segalanya. Berantakan, lebur, luruh, remuk, rusak, dan pecah adalah kata kata yang termasuk di dalamnya, dan semua itu tengah bercampur aduk dalam relung hatinya. Terlampau sakit sampai hatinya kebas dan mati rasa.
"Hana?? Kamu masih di sana?"
Bahkan Hana tidak lagi memiliki tenaga untuk menanggapi ucapan Suster Feli meskipun itu hanya kata 'Iya'.
Bohong jika dia berkata baik baik saja, karena pada nyatanya dia marah, sedih dan kecewa terhadap dirinya sendiri. Dia sangat menyesal atas apa yang terjadi.
Hana memukul kepalanya, lagi dan lagi.. semua terasa berputar di kepalanya. Memori tentang Ibu selama seminggu terakhir kembali memenuhi ingatannya. Dia masih teringat nasihat Ibu kemarin saat berbicara dengannya melalui sambungan telepon. Dia juga merasa sangat senang saat melihat Ibu tersenyum ketika mendapat kabar dari Dokter Fieda jika transplantasi ginjal akan segera di lakukan.
Besok adalah waktu yang telah di tentukan untuk melakukan operasi, dan Hana akan membawa uangnya. Tapi.. siapa sangka jika Ibu lebih dulu di panggil Sang Pencipta bahkan sebelum dia kembali ke Indonesia.
"Hana??"
Adalah suara terakhir Suster Feli sebelum panggilan berakhir.
Hana tidak kuasa menahan air matanya. Menggigit bibirnya sendiri untuk menahan agar tangisannya tidak menimbulkan suara. Dia menutup matanya sebentar. Kemudian duduk di bawah kran shower dengan guyuran air dingin yang membasahi tubuhnya hingga dia menggigil.
Masih merasa tidak baik, dia terus bersimpuh di sana. Dia ingin mati, meski itu tidak mungkin, tapi dia tidak mau di tinggal sendirian seperti ini. Dia tidak bisa hidup sendiri.. dan dia hanya ingin Ibu kembali.
Hana bangkit dari duduknya, berjalan dengan lesu saat keluar dari kamar mandi. Tenaganya seakan habis tidak tersisa, bahkan tubuhnya nyaris ambruk jika saja tangannya tidak bertopang pada dinding. Dia merasa sangat rapuh berada di situasi semacam ini. Situasi yang membuatnya ingin secepat mungkin meninggalkan tempat laknat ini.
Hana mengenakan bajunya dengan cepat. Mengemas barang barang kemudian memasukannya ke dalam koper. Menelitinya kembali, paspor serta segala kelengkapannya sudah siap, dia hanya perlu mengubah jadwal penerbangan dari sore menjadi pagi hari. Selain itu, semuanya sudah beres.
Hana kembali masuk ke kamar mandi untuk mengambil hpnya yang masih tertinggal di sana, namun mulutnya menganga saat melihat nasib hpnya tidak jauh lebih tragis dari hidupnya.
Dia meremas rambutnya dengan frustasi. Kini dia yakin jika putus asa adalah hal paling brutal yang tidak akan berakhir baik.
