Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Pertemuan Tak Sengaja di Pintu Toilet

Pagi masih menggigil di balik kaca dapur yang berembun. Aroma tanah basah sisa hujan semalam masih tertinggal di udara. Mira, mengenakan daster tipis dan rambut yang belum disisir rapi, melangkah pelan menuju dapur untuk menyiapkan sarapan. Tapi sebelum sempat mencapai meja makan, perutnya meringis sebentar—dan dia berbalik arah menuju kamar mandi.

Pintu kamar mandi baru saja dibuka dari dalam.

Mereka saling terkejut.

Reno, anak sulungnya, berdiri di ambang pintu dengan handuk tergantung longgar di pinggang. Rambutnya masih meneteskan air. Matanya membulat, lalu buru-buru menunduk begitu melihat ibunya berdiri hanya sejarak satu napas.

“Eh... Bu...” ucapnya cepat, sedikit gugup.

Mira juga terpaku sesaat. Ada keheningan canggung. Ia menoleh sedikit, berusaha tak memperhatikan dada Reno yang mulai mengisi dan bahu lebar yang tampak dewasa. Putranya itu memang sudah 18 tahun, tapi tubuhnya berubah lebih cepat dari yang bisa ia cerna.

“Maaf, Ibu nggak tahu kamu masih di dalam,” ucap Mira sambil tersenyum kikuk, lalu menoleh ke dapur. Tapi langkahnya tertahan.

Reno buru-buru memutar badan, “Iya, aku juga baru selesai kok. Silakan, Bu.” Lalu melangkah cepat ke kamarnya.

Mira berdiri diam sejenak di depan pintu kamar mandi. Napasnya pelan tapi terasa berat. Ada desir halus yang sulit ia pahami. Entah karena tatapan Reno tadi yang mulai tak seperti anak-anak... atau karena dirinya sendiri yang, dalam sekilas detik, merasa seperti dilihat bukan sebagai seorang ibu.

Ia menutup mata sebentar.

“Gila, Mir,” gumamnya pada diri sendiri, sambil masuk dan mengunci pintu kamar mandi. Di dalam, air keran mengalir pelan, menenggelamkan suara pikirannya yang campur aduk.

Lalu ia menyibukkan diri. Menyalakan kompor. Membelah bawang. Mengaduk telur.

Namun sepanjang pagi, bayangan tatapan Reno masih tersisa—berkilau samar di sela-sela uap nasi.

---

Sarapan Keluarga Sebelum Aktivitas Pagi

Meja makan itu tampak biasa. Taplak bermotif kotak hijau pudar, empat kursi plastik dengan bantalan tipis yang sudah mulai robek di sudutnya, dan teko air putih di tengah yang sering dilupakan. Tapi pagi itu, keempat kursi terisi lengkap—sebuah pemandangan yang semakin jarang sejak Reno mulai pulang larut dan Rike sering menutup diri di kamar.

Mira meletakkan piring terakhir—isi nasi goreng sederhana dengan telur mata sapi di atasnya. Aroma bawang putih dan kecap manis menyebar pelan, menjadi pengikat yang diam-diam menyatukan pagi itu.

Dika duduk dengan rambut masih basah, kaos tipisnya memperlihatkan bekas kuku Mira dari semalam. Ia melirik istrinya sekilas, tersenyum. Mira membalas dengan lirikan singkat dan senyum cepat, lalu kembali memegang sendoknya. Senyum mereka hanya dimengerti oleh mereka berdua—tercipta dari tubuh yang saling mengingat, semalam.

Reno duduk berseberangan dengan Rike. Ia hanya berkata pelan, “Makasih, Bu,” sebelum mulai makan. Suaranya nyaris tak terdengar, tapi cukup membuat Mira melirik sebentar. Tatapan mereka bertemu, singkat, dan cepat-cepat dialihkan. Reno mengaduk nasi gorengnya pelan, seperti sedang memikirkan sesuatu yang tak bisa ia ceritakan.

Rike, remaja 15 tahun itu, mengenakan hoodie kelabu yang sudah belel. Ia memandangi nasi gorengnya tanpa banyak bicara. Matanya sayu, wajahnya pucat. Mira memperhatikan itu, tapi tidak langsung bertanya.

“Rike, nanti ikut Ayah ke bengkel atau sekolah?” tanya Dika, memecah keheningan.

“Sekolah,” jawab Rike singkat, tanpa mengangkat wajah.

“Gak ada ujian kan, Rik?” tanya Reno mencoba basa-basi. Ini jarang. Biasanya Reno dan Rike tak banyak saling bicara.

Rike mengangkat bahu. “Ada. Tapi males.”

Mira menghela napas pelan. Ia tahu anak perempuannya sedang memendam sesuatu, tapi belum tahu cara membukanya. Ia ingin bicara, tapi meja makan bukan tempat yang tepat untuk luka-luka yang belum siap disebutkan namanya.

Dika mengunyah dengan suara berat. Ia memandangi Reno, lalu bertanya, “Hari ini kerja lembur lagi, No?”

Reno mengangguk. “Iya, Pak. Sampai malam. Ada orderan video lagi.”

“Bagus,” Dika tersenyum tipis. “Yang penting bener, jangan neko-neko.”

Mira sempat melirik suaminya saat kalimat itu meluncur. Nada Dika terasa biasa saja, tapi entah mengapa, Mira merasa kalimat itu seperti ditujukan bukan hanya untuk Reno—mungkin juga untuk dirinya sendiri. Ada sesuatu yang terasa menggantung di antara mereka berempat. Tidak mencolok. Tidak menggelegar. Tapi ada. Seperti bayangan yang bergerak pelan di balik tirai.

Setelah makan, satu per satu bangkit.

Rike mengambil tas dan keluar tanpa pamit.

Dika masuk ke kamar untuk ganti pakaian kerja.

Reno mencuci piringnya sendiri, lalu menyampirkan tas kamera ke bahu.

Tinggal Mira, berdiri di dapur, menatap punggung anaknya yang menjauh.

Ia tahu, pagi ini tak benar-benar biasa. Tapi seperti banyak pagi lainnya dalam rumah tangga mereka—hal-hal yang belum diucapkan masih tertinggal di antara sendok, piring, dan aroma kecap manis yang mulai menguap.

---

Lapangan, Kata, dan Luka yang Tak Terlihat

Pagi itu, Mira sudah berangkat lebih awal ke sekolah. Jam tangannya menunjukkan pukul 06.30 saat ia menyalakan motor matic-nya dan pamit dengan pelukan cepat ke Dika, yang masih duduk di kursi makan sambil menyeruput kopi. “Titip anak-anak, ya,” katanya sambil tersenyum.

Sementara itu, di rumah, Reno duduk di ruang tamu, masih mengenakan seragam putih abu-abunya yang sedikit kedodoran. Di depannya, Bayu—teman lamanya dari SD yang kini satu sekolah lagi—sedang mengatur undangan digital untuk acara nonton bareng laga Persib kontra Arema malam minggu nanti.

“Nobar di rumah lo aja ya, Ren. Pakai TV gede lo itu. Gua bawa sound,” ujar Bayu bersemangat.

Rike yang baru selesai menyetrika kerudungnya, nyelonong masuk sambil bawa dua bungkus gorengan. “Kalau nobar, sekalian aja reunian kecil. Undang anak-anak komplek juga,” usulnya.

Reno mengangguk, senyum kecil tersungging. “Tapi jangan rame-rame amat, ntar Mama ngomel.”

Namun, keceriaan pagi itu langsung tergantikan oleh sunyi yang menggantung di dada Reno ketika ia sampai di sekolah. Begitu masuk gerbang, beberapa anak dari kelas sebelah menyeringai sambil melemparkan ejekan.

“Eh, anak guru! Numpang hidup ya?”

“Pantes dapet nilai bagus, anak guru euy!”

Reno diam. Ia tak membalas. Tapi hatinya panas. Sakit. Malu. Ingin menghilang.

Di kelas, ia duduk paling belakang. Raut wajahnya berubah. Senyum yang biasa ia simpan buat Rike dan Bayu seakan terkunci rapat hari itu. Tidak ada yang tahu, bahwa dalam diamnya, Reno sedang menggenggam keras tangannya sendiri di bawah meja—berusaha agar air matanya tidak jatuh di hadapan dunia.

Hari itu, Mira tak tahu bahwa anaknya sedang terluka oleh tajamnya lidah yang menyamar dalam tawa. Ia hanya mengira semuanya baik-baik saja. Padahal, di balik diam Reno, ada cerita yang seharusnya didengar lebih awal—sebelum ia tumbuh jadi remaja yang pandai menyembunyikan luka.

---

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel