Tuan Rumah dan Tamu Bernama Bayu
Malam itu, rumah Mira dan Dika terasa sedikit lebih hidup dari biasanya. Dika baru saja pulang membawa dua dus bir kaleng dan beberapa plastik cemilan dari warung Pak Eman. Kaos Persib biru laut sudah melekat di badannya, meski pertandingan baru dimulai dua jam lagi. Aura euforianya sudah seperti final Piala Dunia.
“Sayang, kamu yakin nobar di rumah ini nggak ganggu Reno sama Rike belajar?” tanya Mira, sambil memindahkan camilan ke toples-toples plastik bening.
“Tenang, kita nobar di ruang tamu. Mereka bisa tutup pintu kamar. Lagian, ini rumah juga rumah mereka,” jawab Dika sambil tersenyum, memeluk Mira dari belakang, sebentar saja, lalu sibuk membuka dus kaleng.
Mira hanya menghela napas dan membiarkan suaminya sibuk dengan ritual khas para lelaki menjelang pertandingan bola. Ia justru merasa senang melihat Dika antusias. Sudah lama suaminya itu tak terlihat seceria ini, seperti punya alasan untuk bersemangat di tengah tekanan pekerjaan dan kehidupan rumah tangga.
Tak lama kemudian, suara motor matic berhenti di depan pagar. Seorang pria muda turun dengan jaket Persib, wajahnya ramah dan sedikit urakan. Bayu, tetangga sebelah yang dikenal supel, langsung melambaikan tangan.
“Dik, Mira, teh! Wah gila, udah siap logistik nih!” seru Bayu, masuk tanpa sungkan setelah diundang Dika minggu lalu.
“Masuk, masuk, Bay! Duduk dulu, mau kopi dulu apa langsung bir?” ujar Dika sembari menyalami pria itu dengan antusias.
Mira menyiapkan gelas dan menuangkan keripik pisang ke mangkuk sambil mengamati interaksi keduanya. Bayu memang sudah lama dikenal, tapi baru belakangan ini sering ngobrol. Umurnya tak beda jauh dari Dika, dan sepertinya punya banyak cerita soal kerjaannya di bengkel dan komunitas motor.
“Acaranya santai aja, ya. Yang penting rame, jangan ribut,” ucap Mira, sedikit memberi peringatan halus sambil tersenyum.
“Siap, Bu Guru Mira. Kalau Mira yang ngatur, saya nurut,” jawab Bayu, setengah bercanda, membuat Dika tertawa.
Malam itu, ruang tamu perlahan berubah jadi mini stadion. Kursi-kursi ditata melingkar, proyektor sudah disiapkan Dika sejak sore, dan suara komentator dari TV mulai bergema meski pertandingan belum dimulai.
Di dapur, Mira masih sibuk menyusun tisu, memanaskan gorengan, dan memastikan anak-anak sudah nyaman di kamar. Sesekali ia menatap Dika yang tertawa lepas bersama Bayu, dan sebuah perasaan hangat menyelinap di dadanya.
Ini bukan pesta besar. Tapi buat Mira, ini cukup: melihat suaminya hidup kembali, rumahnya riuh, dan dirinya masih punya tempat dalam lingkaran itu—meski hanya sebagai tangan yang mengurus dan mata yang mengawasi.
---
"Toilet, Gelas, dan Tatapan yang Tak Sepenuhnya Kosong"
Suara sorak penonton dari layar televisi menggema memenuhi ruang tamu. Warna biru dari kaus tim Persib menyatu dengan aroma gorengan, tawa pecah, dan botol-botol bir yang mulai mengembun di meja. Dika tampak begitu larut. Matanya merah, pipinya hangat, dan suaranya mulai berat karena tawa dan tegukan yang terlalu sering.
Mira duduk di sisi dapur, memeluk gelas kosong yang sejak tadi tak ia isi. Wajahnya diam, namun pikirannya bergemuruh. Antara menjadi istri yang patuh—yang menemani suami dalam segala situasi—atau menjaga batas agar tak hanyut dalam euforia yang bukan dunianya.
Bayu, tetangga mereka yang dari tadi berseloroh lepas, sudah tampak goyah saat berdiri dari karpet. Kaosnya basah oleh keringat dan tawa. Dengan langkah sempoyongan, ia menuju ke belakang rumah. Toilet. Mira yang hendak ke tempat yang sama untuk membuang air sisa cucian, tak sengaja bersirobok dengannya di lorong sempit dekat kamar mandi.
“Eh... maaf,” kata Bayu, setengah mabuk, matanya memicing, tapi tak sepenuhnya kehilangan arah. “Kamu nggak minum, Mir?”
Mira terdiam sejenak. Cahaya dari lampu dapur menyapu sebagian wajah Bayu, memperlihatkan garis-garis kelelahan dan kesepian yang seolah menyelinap di balik topeng mabuknya. Bukan hanya Mira yang sedang bertanya tentang peran masing-masing malam itu.
“Aku... cuma nemenin Dika,” jawabnya pelan. “Kadang nemenin itu juga bikin capek.”
Bayu menyandarkan tubuh ke dinding, menatap langit-langit rumah yang berembun karena kipas rusak. “Aku juga kadang pura-pura kuat biar nggak kelihatan sendiri.”
Hening.
Toilet di belakang masih tertutup. Seseorang masih di dalam. Mungkin Reno. Mungkin Rike. Mungkin hanya takdir yang sedang mempermainkan jalur mereka.
Mira menarik napas dalam-dalam. Ia tak ingin momen ini berlarut. Tapi ia juga sadar, momen-momen seperti ini sering datang diam-diam. Ketika batas mulai samar, ketika kelelahan bercampur dengan rasa ingin dimengerti.
“Kamu balik ke ruang tamu, yuk,” ajaknya, lembut tapi tegas.
Bayu tersenyum, meski samar. “Kamu istri yang baik, Mir.”
“Semoga begitu,” gumam Mira sebelum melangkah lebih dulu, membiarkan pintu kamar mandi menutup di belakangnya—dan bersama itu, menutup kemungkinan apa pun yang sempat bergelayut di udara malam itu.
Dika masih tertawa keras di ruang tengah. Tidak sadar, tidak peduli.
Dan Mira kembali duduk. Masih dengan gelas kosong di tangan, dan dada yang lebih penuh dari sebelumnya.
---
Pelukan yang Terlalu Lama
Bayu berdiri di ambang pintu, sandal jepitnya sedikit tergelincir oleh embun yang mulai turun di ubin teras. Nobar sudah selesai satu jam lalu, dan tawa-tawa sumbang di ruang tamu telah berubah menjadi dengkuran tipis Dika yang terbaring lemas di karpet, bir tumpah di bawah meja.
Mira menyusul ke depan pintu, hanya mengenakan daster lusuh dan rambut yang diikat seadanya. Matanya belum sepenuhnya lepas dari riuh malam barusan—ada letih, ada hampa yang menggantung tanpa nama.
"Bay, makasih udah dateng," ucap Mira pelan. Nadanya datar, tapi ada getar pelan, seperti ingin mengatakan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar ucapan perpisahan.
Bayu menatap wajahnya yang diterpa cahaya lampu temaram dari dapur. Ia mengangguk, tapi tak segera melangkah.
"Mira..." katanya pelan. Hanya itu. Hanya nama.
Dan entah kenapa, pelukan itu terjadi. Bukan pelukan yang disengaja, bukan pula pelukan penuh gairah. Tapi pelukan yang lahir dari kelelahan—pelukan orang dewasa yang tahu betul bahwa hidup tak selalu memberi jawaban, hanya diam, dan jarak yang rapat sesaat.
Mira memeluknya erat. Terlalu erat. Hingga Bayu bisa merasakan detak jantungnya yang tercekat. Ada napas yang berat di dadanya. Ada rasa yang tak pernah ia duga akan ia rasakan dari seorang istri sahabatnya.
"Aku capek, Bay," gumam Mira, hampir tak terdengar.
Bayu tak menjawab. Ia tahu, ini bukan tentang bir, bukan tentang nobar, bukan tentang malam. Ini tentang kesepian yang tak bisa diucapkan. Tentang wanita yang berdiri sebagai istri, guru, dan ibu—tapi tak lagi tahu siapa yang memeluk dirinya sebagai perempuan.
Pelukan itu akhirnya dilepas. Tapi rasa yang tertinggal tidak bisa.
Bayu melangkah turun, berjalan ke arah gerbang dengan langkah pelan. Sementara Mira berdiri diam di ambang pintu, menatap langit yang gelap—tanpa bintang, tanpa kata-kata.
---
