
Ringkasan
Mira, guru SMA berusia 39 tahun, terlihat hidup tenang bersama suaminya Dika, arsitek mapan, dan dua anak mereka: Rike yang kini dewasa dan keras kepala, serta Reno yang memasuki usia labil penuh obsesi. Namun kepindahan mereka ke rumah baru justru membuka kotak Pandora. Dika terlilit hutang akibat kekalahannya di meja judi, menyeretnya ke cengkeraman bos kasino yang menyimpan syarat kejam sebagai ganti rugi. Rike, setelah patah hati dari pacar lamanya, mulai menyusuri identitas baru dan menjalin hubungan dengan sesama perempuan — membuat Mira merasa kehilangan arah sebagai ibu. Reno, dengan obsesi dan kematangannya yang datang terlalu cepat, memendam dorongan dan fantasi yang mengaburkan batas wajar seorang remaja terhadap tubuh dan perempuan. Di tengah semua badai itu, Mira menjadi jangkar keluarga — tapi untuk bertahan, ia harus memilih: memperbaiki, mengorbankan, atau ikut terhanyut dalam kenikmatan dan kegelapan yang perlahan menggodanya.
Kardus-kardus dan Mata Lelaki
Mira menyeka peluh dari dahinya dengan ujung jilbabnya yang mulai basah. Udara di pinggiran kota itu seperti menahan napas, menunggu sesuatu yang akan meledak. Kardus-kardus tertumpuk di depan teras rumah barunya—rumah subsidi dua lantai yang tampak manis dari luar, namun kosong dan panas di dalamnya.
Di balik pagar besi yang masih mengelupas, seorang pria asing memperhatikan mereka sejak tadi. Mira tahu. Ia bisa merasakannya. Tatapan yang terlalu lama. Terlalu tajam. Tapi ia abaikan.
"Ma, ini koper Reno ditaruh mana?" tanya Rike, tanpa menoleh.
"Atas aja, kamar dia yang paling pojok."
Rike mengangguk dan menaiki tangga dengan malas. Tubuh tingginya menjulang, tetapi semangatnya tertekuk. Sejak patah hati dari pacar perempuan pertamanya dua minggu lalu, Rike lebih banyak diam. Mira tahu, tapi memilih menunggu. Rike belum siap bicara.
Dika, suaminya, baru datang setengah jam yang lalu dengan mobil sewaan penuh barang elektronik. Dan kini, ia sedang bercanda—dengan terlalu akrab—dengan pria bertato tipis yang baru saja datang membawa dua galon.
"Kenalin, ini Bayu. Tetangga kita. Juga temen lama aku pas proyek di Batam," ujar Dika sambil menepuk pundak si pria itu.
Mira mengangguk, lalu menyodorkan tangan, meski hatinya enggan.
Bayu mencium punggung tangannya terlalu lama. Dan senyumnya… bukan senyum biasa.
"Seneng banget akhirnya punya tetangga kayak Bu Guru cantik kayak Ibu Mira. Jadi makin rajin nih isi air galon tiap hari," ujarnya sembari tertawa rendah.
Mira tak tertawa. Ia menarik kembali tangannya pelan.
"Rumah ini belum banyak lampunya. Saya harus beresin instalasi dulu," jawabnya pendek.
Bayu hanya mengangguk. Tapi pandangannya menempel terlalu erat di punggung Mira saat ia berbalik.
Di lantai atas, Reno membuka jendela dan melihat ke bawah. Matanya terhenti pada punggung Rike yang membungkuk membereskan baju. Matanya tak berkedip.
Di malam yang baru akan datang, banyak pintu mulai terbuka.
Beberapa tidak akan bisa ditutup lagi.
---
Keluarga di Sebelah Pagar
Udara pagi masih wangi oleh bau tanah basah. Kardus-kardus masih bertumpuk di sudut ruang tamu, dan Mira sudah mulai menyusun rak buku di pojok ruang kerja kecil mereka. Di luar, suara gesekan sapu dan derit pagar terdengar bersahutan. Reno yang sedang menurunkan beberapa pot bunga dari mobil sempat menoleh ketika sebuah suara laki-laki menyapa dengan ramah.
“Pagi, Bu. Pindahan, ya?”
Seorang pria berperawakan tegap, berkaos polo abu-abu dan celana pendek, berdiri di luar pagar dengan senyum lebar. Di sampingnya, seorang perempuan berkebaya santai dengan rambut disanggul rapi mengangguk pelan. Di belakang mereka, dua anak berdiri—laki-laki dan perempuan, seumuran dengan Reno dan Rike.
Mira keluar dengan handuk kecil menggantung di leher. “Iya, Mas. Baru tadi malam selesai angkut barangnya. Maaf ya kalau agak berisik.”
“Enggak apa-apa, kami malah senang ada tetangga baru.” Laki-laki itu mengulurkan tangan. “Saya Bayu. Istri saya, Ranti. Itu anak saya, Raffa dan Raina.”
Rino dan Rike mendekat, sama-sama menyapa malu-malu. Raffa, dengan jaket olahraga dan rambut cepak, mengangguk sopan sambil melirik Rike sekilas. Raina, adiknya, berdiri dengan senyum tipis, tangannya memainkan tali hoodie yang dikenakan.
Rike mengulurkan tangan. “Aku Rike, ini adikku Reno.”
Ranti mendekat ke Mira, seolah sudah kenal lama. “Kalau butuh apa-apa, jangan sungkan. Rumah kami sebelah langsung, pintu selalu terbuka. Bayu kerja bareng suami Ibu juga kan, sama-sama arsitek di Banyu Mandala?”
“Oh ya? Saya baru tahu,” ujar Mira sambil melirik ke dalam rumah, tempat Dika masih sibuk mengecek kabel colokan.
“Iya, mereka dulu sering satu proyek,” ujar Bayu. “Makanya pas tahu yang ngontrak rumah ini Dika, saya langsung bilang ke Ranti. Dunia sempit, ya.”
Ada keheningan kecil. Bayu menatap Mira sesaat terlalu lama sebelum kembali tersenyum sopan.
Sore itu, undangan minum teh di teras rumah Bayu pun datang. Ranti menyiapkan kue basah dan teh melati. Obrolan santai menyelimuti, tapi ada yang tak sepenuhnya ringan di udara.
Rike sesekali mencuri pandang pada Raina—tatapan yang lebih panjang dari seharusnya. Reno, duduk diam memandang ke arah kaki Ranti saat ibu itu berdiri menyajikan teh, terlalu fokus, terlalu lama.
Dika tertawa keras mendengar lelucon Bayu, meski Mira menangkap gurat kaku di mata suaminya.
Malam menjelang, keluarga itu pulang ke rumah barunya. Tapi sejak itu, pagar pembatas antara dua rumah itu terasa makin tipis, dan batas-batas di dalam kepala tiap anggota keluarga Mira mulai perlahan kabur.
---
Makan Malam Dua Keluarga
Suasana rumah Bayu malam itu terasa hangat dan sedikit formal. Lampu gantung kristal di ruang makan bersinar lembut, memantulkan kilau di meja panjang yang tertata rapi. Hidangan lengkap mulai dari sop buntut, ayam panggang madu, hingga puding karamel tertata dengan indah. Mira menelan ludah—bukan karena lapar semata, tetapi karena tak terbiasa disuguhi kemewahan seperti ini. Rumah kontrakan yang mereka tinggalkan tak pernah menyajikan suasana seperti ini, bahkan saat Lebaran.
“Ayo silakan duduk, jangan sungkan,” ujar Bayu ramah, mengenakan kemeja putih bersih dan celana bahan hitam. Di sebelahnya, sang istri, Lestari, tersenyum lebar, menggandeng tangan putrinya yang remaja.
“Ini anak sulung kami, Arjuna, kelas dua SMA. Dan ini Nayla, baru naik SMP,” ujar Lestari sambil melirik ke arah Rike dan Reno.
Mira mengangguk sopan. Dika tampak lebih santai, seperti sudah nyaman sejak awal. Reno langsung duduk dan mulai melihat-lihat ponselnya, sementara Rike melirik Nayla sekilas—ada tatapan penasaran yang sulit dijelaskan.
“Nayla suka musik,” kata Lestari dengan bangga. “Dan Arjuna itu jago basket, barusan ikut turnamen di Jakarta.”
“Oh ya?” tanya Dika sambil menyendok sop. “Anak saya, Rike, juga suka olahraga, meski belakangan lebih sering di kamar.” Ia tertawa kecil. Mira hanya tersenyum tipis.
Suasana perlahan mencair. Tawa mulai terdengar. Bayu bercerita soal pengalamannya bekerja di industri hiburan malam, sambil tetap menyisipkan humor ringan yang membuat Dika ikut tertawa. Mereka seperti dua pria yang sudah lama kenal, padahal baru bertetangga satu hari.
Lestari mengamati Mira sesekali, lalu berkata dengan nada rendah, “Kalau butuh apa-apa, Mira, jangan sungkan ya. Saya di rumah aja kok, paling bantu Bayu ngurus bisnis kalau diminta.”
Mira hanya mengangguk. Ia belum tahu apakah keramahan ini akan bertahan lama, atau hanya kulit luar dari sesuatu yang lebih dalam.
Sementara itu, di sisi meja lainnya, Rike dan Nayla mulai mengobrol tentang sekolah. Rike tampak lebih terbuka daripada biasanya. Ia tersenyum tipis, bahkan sempat tertawa—sesuatu yang Mira jarang lihat sejak putrinya patah hati beberapa bulan lalu.
Makan malam terus berlangsung dalam percakapan yang semakin akrab. Namun di balik hidangan lezat dan senyum-senyum manis, Mira bisa merasakan sesuatu. Entah dari tatapan Lestari yang kadang tajam, atau dari Bayu yang beberapa kali menyentuh bahu Dika sambil tertawa terlalu keras. Ada sesuatu yang belum ia pahami sepenuhnya.
Dan malam itu, saat mereka pamit pulang, Mira sempat menoleh ke belakang—ke rumah mewah yang terang, yang seolah menyambut mereka dengan kehangatan.
Tapi ia tahu, di balik cahaya terang, bayangan selalu menyelinap.
---
Malam, Jendela, dan Bayang-Bayang
Rumah mulai sunyi. Dika sudah terlelap di sofa depan TV, masih dengan pakaian lengkap dan remote yang tergenggam di tangan kanan. Anak-anak mereka sudah masuk ke dunia mimpi, terlelap kelelahan usai hari yang panjang.
Mira berdiri di balkon lantai atas rumah mereka yang mungil tapi nyaman. Angin malam berhembus ringan, membawa aroma tanah basah dan sedikit asap dari sisa pembakaran di ujung gang. Matanya tak sengaja tertuju pada jendela besar rumah di seberang—rumah Bayu.
Lampu kamarnya tidak mati. Tirainya tak tertutup sempurna. Hanya celah kecil, tapi cukup membuat pandangan Mira terjebak di sana.
Bayu berdiri di sisi tempat tidur, menatap istrinya, Anya, yang duduk di tepi ranjang dengan rambut tergerai dan senyum yang nyaris seperti mimpi. Gerakan mereka pelan, penuh bisikan dan sentuhan yang bukan sekadar fisik. Ada kelembutan dalam tatapan, ada pengabdian dalam gerak Bayu menggenggam tangan istrinya, menciumnya di kening sebelum menarik tubuhnya ke pelukannya.
Mira menelan ludah. Ada perasaan aneh yang tumbuh di dalam dirinya, antara iri, kagum, dan sedih. Sudah berapa lama ia dan Dika tidak saling menyentuh seperti itu? Bahkan menyapa pun sering terasa seperti tugas, bukan kasih.
Mata Mira terus memperhatikan saat tubuh Anya perlahan direbahkan, dan Bayu menyusul dengan gerakan penuh penghormatan, bukan nafsu belaka. Lampu tak dimatikan, seperti memberi tahu bahwa cinta itu tak butuh sembunyi.
Mira buru-buru menutup tirai kamarnya. Ia kembali ke tempat tidur, menatap langit-langit yang kosong. Tapi di benaknya, bayangan tadi sudah tertanam kuat. Bukan karena ketelanjangan tubuh, tapi karena ketelanjangan rasa—yang selama ini tak ia miliki lagi.
Malam itu, Mira tidur dengan dada terasa kosong. Dan di kejauhan, suara lembut dari rumah Bayu masih terngiang seperti doa yang tak ia miliki.
---
Kepala Sekolah dan Kepasrahan yang Terbungkam
Gedung sekolah itu tampak tenang dari luar, nyaris seperti lukisan dalam brosur promosi kota kecil yang damai. Namun, langkah Mira terasa berat saat menaiki tangga menuju ruang kepala sekolah. Sinar matahari pagi menghangatkan kulitnya, tetapi dingin tetap menggigit di dalam hatinya. Ini bukan sekadar hari pertama mengajar di tempat baru—ini tentang mengembalikan martabat keluarga, membayar utang-utang Dika, dan menjaga nama baik adiknya, Rike.
Ruangan kepala sekolah berdinding kaca buram dan aroma kopi menggantung samar di udara. Ia mengetuk pelan, lalu masuk ketika terdengar suara serak lembut, “Masuk, Bu Mira.”
Pria itu berdiri dengan tubuh agak membungkuk, mengenakan kemeja biru muda yang ketat di bagian dada dan terlalu terbuka di kancing teratas. Senyumnya lebar, matanya menyapu Mira dari ujung jilbab hingga tumit sepatu datarnya. Namanya Pak Surya, kepala sekolah yang konon cukup “dermawan” pada guru-guru wanita, kata orang dalam bisik-bisik.
“Wah, guru baru kita ternyata bukan hanya pintar… tapi juga cantik,” ucapnya, berdiri untuk menjabat tangan.
Mira menunduk sopan dan membalas jabatan tangan itu. Tapi sebelum sempat ia tarik kembali, tangan itu masih menggenggam. Lalu, dengan gerakan ringan namun mengejutkan, Pak Surya menarik tubuh Mira dalam pelukan singkat yang tampak sopan dari luar.
“Selamat bergabung di keluarga besar kami,” bisiknya di telinga Mira.
Namun saat ia melepas pelukan, tangannya sempat turun—tak disengaja, katanya nanti—meremas pantat Mira perlahan, lembut namun cukup terasa. Mira membeku. Matanya membulat, tapi bibirnya tetap diam.
Hening sesaat.
Ia ingin menegur, bahkan menampar. Tapi suara di kepalanya membisikkan satu hal: Kau butuh pekerjaan ini, Mir.
Dengan tatapan kosong, Mira mundur satu langkah, lalu tersenyum tipis. “Terima kasih, Pak,” katanya pelan. “Saya pamit untuk mulai persiapan di kelas.”
Pak Surya hanya tertawa kecil, sambil duduk kembali ke kursinya dan menyesap kopi.
“Kalau butuh apa-apa, jangan sungkan. Saya… sangat terbuka membantu guru baru.”
Langkah Mira menjauh dari ruangan itu. Di lorong yang sepi, matanya panas, tapi tak ada air mata yang jatuh. Ia menatap ujung jari-jarinya yang sempat disentuh pria itu. Bukan karena suka, tapi karena jijik, dan diam-diam, rasa bersalah yang tiba-tiba muncul… karena tadi, ia tidak melawan.
---
Kelas yang Tak Lagi Sunyi
Hari pertama mengajar. Mira berdiri di depan kelas 3 SMA, seragam kerjanya sederhana tapi rapi, wajahnya masih membawa sisa canggung dari pagi yang tak menyenangkan di ruang kepala sekolah.
Kelas itu bising. Meja-meja berderit, kursi diseret seenaknya, dan gelak tawa anak-anak lelaki yang nyaris tak menghormati kehadiran siapapun selain diri mereka sendiri.
"Selamat pagi," ucap Mira tenang, nyaris tak terdengar.
Tak ada yang menjawab.
Ia mengulang, kali ini sedikit lebih tegas. "Selamat pagi semuanya."
Beberapa anak perempuan yang duduk di baris depan membalas pelan. Tapi para murid laki-laki—terutama sekelompok di pojok kiri belakang—tetap ribut. Salah satu dari mereka, dengan rambut pirang dan kalung tengkorak plastik di leher, menyender di kursi sambil memainkan korek api.
Namanya Miko.
Mira sudah mendengar namanya sebelum masuk ruangan. "Paling bandel, paling keras kepala, paling bikin guru nyerah," kata seorang guru di ruang guru tadi.
Mira menatap ke arah Miko. Pandangannya tak keras, tapi juga tak tunduk.
Miko menatap balik. Menyeringai. "Bu guru baru, ya? Cantik juga. Udah punya pacar belum?"
Tawa meledak di sudut kelas. Teman-teman Miko menyahut, “Cieee... Miko nembak!” dan “Baru juga mulai, udah ngincar!”
Mira menghela napas. Di dalam hatinya ada kesal, tapi ia menelannya. Ia butuh pekerjaan ini. Butuh gaji bulan depan. Butuh ruang hidup yang bisa ia jaga agar keluarganya tidak runtuh.
“Kalau kamu bisa diam lima menit dan duduk dengan benar, mungkin saya bisa jawab,” jawab Mira, suaranya tenang, matanya tidak lepas dari tatapan Miko.
Kelas menjadi sedikit lebih tenang. Miko tertawa pelan, tapi ia duduk. Masih dengan gaya menantang, tapi sedikit lebih... penasaran.
Mira mulai memperkenalkan diri. Tentang latar belakangnya, tentang kenapa ia memilih jadi guru, dan tentang pelajaran sastra yang akan ia ajarkan.
Sebagian besar masih tak fokus. Tapi beberapa murid mulai mendengar. Beberapa mulai melihat bahwa guru baru ini tidak gampang runtuh. Tidak mudah terpancing.
Saat jam selesai, Mira melangkah keluar kelas dengan napas panjang.
Di belakangnya, Miko bersiul. Bukan catcall. Tapi melodi kecil—mungkin tanda bahwa ia merasa tertantang.
Mira tak menoleh.
Tapi di dalam dirinya, ia tahu: hari ini baru permulaan.
Dan kelas ini, terutama Miko, akan jadi ladang pertarungan kecil yang harus ia menangkan—untuk dirinya, dan keluarganya.
---
