3. Godaan Bapak Kos
Setibanya di depan pintu gerbang, pak Diman yang selalu menjaga sekolah hampir menutupnya. Dengan berlari sangat kencang, sekuat tenaga agar dapat sampai di sana. Padahal perkiraan sudah lebih lima menit, akan tetapi tidak dengan jam sekolah. Alhasil aku pun hanya mampu di depan gerbang yang sudah tertutup, ini adalah ujian matematika kemungkinan kalau telat akan mendapatkan nilai yang sangat buruk.
Seraya mendekati Pak Diman, aku pun menatap wajahnya yang sudah sangat kesal. Padahal aku baru kali ini terlambat, akan tetapi siswa lain sudah sering itu yang membuat dia sangat marah pada kami. Dan ketika aku mendadak berhenti dengan napas terengah engah, Pak Diman pun menarik napas juga tepat di hadapan kami.
“Pak, saya gak boleh masuk ya? Kan, saya gak pernah terlambat. Tadi air di kosan saya mati jadinya saya numpang sama ibu kos,” ucapku beralasan.
“Kamu ya Nayla, kenapa kamu harus terlambat. Ya sudah karena kamu baru sekali ini, sekarang kamu masuk dan ujian. Tapi buat kalian, jangan banyak alasan dan ikut saya ke kepala sekolah,” katanya tegas pada yang lain.
“Terima kasih ya Pak udah mengizinkan saya masuk,” kataku lagi, sebagai bentuk penghargaan sudah tidak membawa ke kepala sekolah.
‘Haduh … hampir aja aku kena tangkap, kalau sampai di bawa ke kepala sekolah bisa habis aku. Karena kata ayah dan mama mereka tidak mau kalau aku kena masalah apa pun di kelas,’ kataku dalam hati di sepanjang perjalanan berlari menuju kelas.
Kini tibalah aku di depan pintu, terlihat seorang guru matematika sudah mulai membagikan soal pada yang lainnya. Dengan mengetuk pintu, aku pun perlahan mendekat ke arah masuk.
“Permisi bu, apakah saya boleh masuk?” tanyaku dengan sangat sopan dan lembut.
“Nayla kamu tahu ini jam berapa?” tanyanya sangat ngegas.
“Ta tau bu, tapi kan saya hanya satu kali telat datang apakah akan di hukum juga ya?” tanyaku pada bu matematika.
“Ya sudah karena kamu baru sekali telat, silakan duduk dan itu soal ujian sudah di atas meja kamu ya. Sekarang kerjakan, sebelum kepala sekolah mengawasi kalian,” kata bu matematika.
Dengan cepat aku duduk dan mengambil pensil serta yang lainnya. Soal ujian ini telah lama aku ketahui jawabannya, di kosan biasanya aku selalu berlatih mencari cari jawaban dari semua soal yang pernah di jalani. Itu lah kenapa sampai sekarang tidak ada satu pun siswa mau pun siswi mampu menggeser aku dari rangking umum. Walau begitu tetap saja, sekarang kendalanya adalah uang sekolah yang sudah nunggak sampai tiga bulan.
Sebenarnya hanya dua bulan, akan tetapi kalau di gabungkan dengan bulan berjalan yang sekarang sudah memasuki tiga bulan. Mama dan ayah tidak pernah mengabari kalau uang telah mereka kirim, biasanya tidak pernah telat apa pun yang terjadi. Kemungkinan hati ini berkata kalau di kampung sedang sepi pembeli.
Dan beberapa menit menjalani ujian, aku menoleh ke arah luar ruangan. Pasalnya, seorang guru masuk dengan kacamata bulat. Dia adalah penerima yang SPP atau di sebut ibu administrasi. Dalam hatiku sudah kacau, kalau sampai dia membacakan siapa yang belum bayar bisa bisa aku tidak konsen saat ujian.
Kehadirannya sangat tidak di sukai oleh semua siswa, tidak tepat karena di waktu ujian berlangsung. Aku menerima kenyatan, dan kalau pun akan menghadap ke kepala sekolah tidak masalah itu adalah keterlambatan dari keluargaku dalam memberikan uang sekolah. Setibanya dia di depan kelas, kemudian membuka buku catatan.
“Perhatian, untuk nama siswa yang saya sebut di hadapkan janga pulang dulu setelah selesai ujian, kepala sekolah mau bertanya pada kalian tentang uang SPP. Pertama adalah Bambang, Bagus, Risma dan terakhir adalah Nayla. Kalian ketika pulang sekolah temui saya di ruang kepala sekolah, terima kasih.”
Apa yang aku takutkan pun terjadi, kemudian aku menarik napas panjang dan tak tahu harus meminjam pada siapa lagi. Untuk uang jajan saja aku sudah tidak memakai yang di ATM, karena semua sudah habis. Ini adalah tabungan di dalam celengan, yang niatnya akan di pergunakan untuk mendaftar kuliah.
Namun, kebutuhan sekarang adalah yang utama. Aku pun tidak dapat berbuat banyak, dan setelah beberapa menit berjalan akhirnya bel pun berdering. Kami di persilakan untuk mengumpul semua jawaban ujian itu di depan kelas, aku berjalan paling akhir karena merasa sangat takut dengan sanksi atau pun nasihat yang akan di katakan oleh kepala sekolah.
Satu persatu dari kami ke luar ruangan, kalau yang orang tuanya ada di sini tak pernah telat membayar. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Aku pun berjalan sangat lambat menuju ruangan kepala sekolah, di belakang badan Bambang dan yang lainnya sudah bercanda tanpa peduli kalau tepat bayar uang sekolah.
Akan tatapi aku tidak bisa santai seperti itu, selalu terpikir bagaimana caranya mendapatkan yang SPP sebelum kami di nyatakan lulus. Ini adalah yang paling sakit, sampai sekarang aku mengecek aplikasi yang belum juga ada. Dan kini tibalah kami di depan ruangan kepala sekolah, aku masuk paling depan dan duduk di paling belakang.
Satu persatu siswa di introgasi, sudah seperti terdakwa pada hukum pidana. Seraya menunggu semuanya keluar, barulah aku terakhir kalinya di panggil.
“Nayla silakan maju,” ucap kepala sekolah, dengan bada suara sangat lembut tidak membentak.
Seketika air mataku menetes begitu saja. Bagaimana tidak, selain malu ini adalah pertama kalinya aku mengalami.
“Kamu udah nunggak tiga bulan Nayla, kamu gak baru SPP uangnya kamu buat apa nak?” tanya bu kepala sekolah.
“Uangnya Nayla pakai buat praktik bu, apalagi sekarang banyak kegiatan dan Nayla butuh uangnya cepat,” jawabku sambil merunduk.
“Sayang … kamu itu kam tahu kalau SPP adalah kewajiban kalian di sini, jadi kalian wajib membayarnya. Kita kau lulus lulusan, kalau sampai kamu gak lunas ijazah kamus akan di tahan,” papar sang kepala sekolah.
“Bu, berikan saya waktu bisa. Karena orang tua saya belum mengirim, biasanaya gak pernah loh bu. Saya janji kalau udah ada pasti langsung bayarkan ke ibu,” jelasku meyakinkan lagi.
Bu kepala sekolah tarik napas, dia pun menelan ludah. “Saya juga gak tega sama kamu, karena kamu adalah anak yang pintar. Ya udah saya kasih keringanan, yang satu bulan free jadi kamu bayar yang dua bulan aja. Jangan beritahu yang lainnya, ini adalah hadiah dari Ibu.”
“Ba baik bu, saya akan usahakan kalau begitu. Pasti secapatnya akan saya bayar bu, tapi berikan waktu satu minggu ya bu. Soalnya gak pasti kalau minjam ke teman.”
“Baiklah, ibu tunggu satu minggu. Karena ini masih ujian tengah semester ya Nayla. Tapi kalau udah janji kamu harus tepati, karena janji adalah hutang.”
Kemudian aku mengangguk dan menjawab, “iya bu saya tahu.”
“Ya sudah kalau begitu kamu sudah boleh pulang, hati hati di jalan.”
“Baik bu, permisi ya bu …,” ucapku dengan sangat lembut.
Di sepanjang perjalanan dari awal ke luar, pikiran ini sangat kacau. Bagaimana pun caranya aku harus dapat uang, bayar SPP dan bayar kosan. Sudah lama sekali aku tidak bayar, takutnya akan di usir oleh bu maya. Sekarang aku menunggu angkutan umum di samping trotoar, dan tidak ada yang melintas.
Lalu seorang pria datang menaiki motor ninja, dia adalah salah satu siswa di sini akan tetapi beda kelas walau pun sama sama kelas dua belas. Dia adalah anak IPS, dan berhenti setwlah melihat aku berdiri sendirian.
“Sendirian aja Nay, kamu mau pulang atau gimana?” tanyanya, aku pun menolehnya sedikit saja habis itu kembali menatap jalanan.
“Iya aku mau pulang, kamu kenapa di depan aku?” tanyaku, dan lelaki itu mengernyit setelahnya.
“Kalau kamu gak keberatan aku mau kok antar kamu pulang, kalau udah jam segini gak ada angkot. Apalagi sekarang mau hujan, mau gak kalau aku antar?” tawarnya lagi, aku pun menarik napas.
Seraya berpikir sejenak, aku pun tidak mau ambil risiko karena tidak percaya pada lelaki. “Enggak ah, aku mau naik angkot aja. Lagian sebentar lagi juga akan datang,” kataku memaparkan.
“Yakin? Kamu gak tahu kan, kalau Susi itu di culik di depan sini. Dia kemarin sampai gak bisa pulang tau, kalau kamu gak pulang sama aku bisa kena seperti dia deh,” kata Farhan.
Seketika aku malah takut dan gemetar, memang Farhan sangat baik kata sahabat dan yang lainnya. Dia juga sangat aktif pada kegiatan di berbagai organisasi. Tidak mungkin kalu dia akan macam macam, kemudian aku pun terdiam seribu bahasa.
“Udah naik, aku itu tulus bantu kamu. Udah kayak melihat hantu aja deh,” katanya, sambil menarik lengan kananku.
Akhirnya aku mau dan naik ke motornya, setelah naik di atas ternyata kami langsung jalan. Di sepanjang perjalanan aku hanya menatap samping kanan dan kiri, perjalanan kami tidak ramai karena harus melintasi perkebunan.
“Kamu kenapa Nay, aku lihat seperti orang bingung gitu?” tanya Farhan.
“Iya nih, aku bingung banget karena butuh uang. Ayah dan mama belum kirim, padahal aku udah nunggak SPP tiga bulan, dan kosan juga tiga bulan,” jawabku panjang kali lebar.
“Haduh … gawat banget itu Nay, aku mau sih bantu kamu. Tapi ada syaratnya,” ucap Farhan.
“Apa syaratnya Farhan, kamu bener bisa bantu aku?” tanyaku lagi, dengan nada suara penasaran.
Dia mengangguk seraya fokus menyetir. “Bisa kok, tapi kamu jangan pernah bilang sama siapa siapa ya?”
“Iya, aku gak bilang siapa siapa kok. Emangnya kamu mau bawa aku ke mana far?” tanyaku lagi.
“Kamu ikut aku ke rumah, karena uangnya ada di rumah. Kalau di sini aku gak bawa, dompet aku ketinggalan,” paparnya.
“Ya Udahlah kalau begitu aku ikut aja yang penting kamu bener mau bantu aku, kalau kamu gak mau bantu siapa lagi coba,” kataku memuji.
“Farhan gitu loh, sebentar lagi aku sampai ke rumah kok. Tapi kalau ada pembantu aku bilang aja kita mau kerja kelompok ya, karena dia kepo banget kalau ada cewek datang ke rumah,” katanya lagi.
“Sip … kalau soal itu kamu gak perlu takut far. Aku bisa kok bilang sama pembantu kamu,” paparku lagi, dalam hati sudah sangat senang.
Bersambung …
