Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

2. Enak Banget Siswa SMA

Pagi telah tiba …

Gorden di depan rumah sudah aku buka, dan terlihat pula warna warni kupu kupu yang terbang ke sana dan ke mari. Tanpa henti dan jemu, aku sangat suka melihatnya dan tak bergerak sama sekali. Sejak pertama melihat hewan itu, rasanya aku ingin menangkap dan membawa pulang. Di dalam toples yang tersedia ini, bisa di jadikan sebagai tempat terbaik untuk aku mengoleksinya.

Tak berapa lama kak Ratih pun bangun, aku yang sekarang sedang bergeming kemudian ingin pamit pulang. Karena dia hanya meminta agar aku menemani malam ini saja, tidak lebih. Kalau anak kuliahan bisa bebas kapan saja masuk ke kampus. Namun, aku masih SMA, jadi tak mungkin bisa mengikuti jejaknya.

“Kak aku pamit pulang dulu ya, karena mau siap siap mandi dan berangkat sekolah,” teriakku pada kak Ratih, dia pun mengangguk.

“Iya dek, terima kasih ya udah temani kakak malam ini. Kalau kamu mau main ke sini, kamu tinggal ketuk pintu aja. Karena kakak agak males pergi ke kampusnya hari ini,” papar kak Ratih padaku.

“Oke deh kalau begitu, aku balik dulu dan mau mandi ….” Di sepanjang jalan aku tidak berpikir apa pun, karena yang kamu jalani seperti ini terus terusan.

Setibanya di dalam kamar mandi, aku menyalakan air yang ternyata tidak ke luar. Lalu aku sangat bingung dan hendak bertanya siapa, soalnya kalau kak Ratih mengalami ini juga dia tidak bertanya pada siapa pun. Kak Ratih numpang mandi di tempatku biasanya, dan sekarang aku hendak melakukan hal yang sama.

Semoga saja kak Ratih masih ada air tersedia di dalam bak, dan agar tidak terlambat kalau pergi ke sekolah nantinya. Seraya memasuki ruangan kak Ratih, dia sedang menyapu di depan sana. Aku pun celingukan dan menutup badan dengan menggunakan handuk saja, jujur ini pertama kali aku lakukan karena dalam keadaan yang mendesak sekali.

“Kak, aku mau numpang mandi bisa? Soalnya air di tempat aku gak ada, kayaknya rusak deh shower nya,” ucapku pada kak Ratih.

“Astaga … masuk aja ke dalam dek, kayaknya ada deh air tapi gak tahu juga ya soalnya kakak pun belum da ke kamar mandi,” papar kak Ratih, lalu aku masuk ke dalam ruangan sepetak itu.

Ternyata apa yang aku lihat juga sama, tidak ada air yang mampu membuat aku untuk mandi. Padahal sudah menjelang siang, ini adalah pertama kali kami mengalami ini. Lalu aku ke luar dan menemui lagi kak Ratih yang sedang bersenandung dengan lagu pop Korea nya.

“Eh, kenapa ke luar lagi dek? Katanya mau mandi? Kenapa gak mandi kamu?” tanya kak Ratih.

“Gimana mau mandi kak, kalau airnya gak ada. Gimana ini ya, bentar lagi aku masuk sekolah loh,” kataku sangat gelisah, karena hari ini ada ujian matematika.

“Coba numpang mandi aja tempat ibu kos, siapa tahu dia ada air kan? Biasanya dia pakai air pam, dan kamar mandi nya juga ada dua, ke sana aja lah coba,” ujar kak Ratih, aku pun mengangguk.

“Terima kasih ya kak,” kataku menjawab, dan dengan berlari sangat kencang, aku pun menuju tempat sejurus.

Berjarak beberapa meter ke depan saja, akhirnya aku pun sampai di depan pintu rumah ibu kos. Dia adalah bu maya, wanita yang baik hati dan tidak sombong. Namun, kalau sudah marah ya lumayan galak juga sih. Aku bergeming dan berjalan masuk ke teras samping, kebetulan kalau bu maya ada di sana sedang menyapu.

Namun, di garasi ada mobil yang tidak pernah aku lihat. Sepertinya dia beli mobil baru, aku pun kepo. Tak berapa lama bu maya datang dengan membawa sapu ijuk, menuju aku dan mengernyit setelahnya.

“Kamu kenapa di situ Nayla? Kok gak pakai baju, kamu mau ngapain?” tanya bu maya terkejut melihat aku.

Seraya menelan ludah, aku pun menjawab. “Bu, aku boleh gak numpang mandi. Soalnya air gak nyala di tempat kami, kak Ratih juga begitu.”

“Ya ampun … itu udah rusak dari tadi malam, ku kira udah di perbaiki gimana sih ini tukang mesin. Ya udah kamu mandi ke dalam ya Ratih, kalau kamar mandi yang kiri itu punya Bapak jangan ke situ ya,” ucapnya, aku pun mengangguk seraya membawa tempat sabun.

Seraya memasuki ruangan, akhirnya aku di hadapkan dua pintu yang sangat menjebak. Kalau aku ke kanan, katanya itu adalah kamar mandi yang boleh di pakai. Namun, di sana tidak ada pintu kamar mandi yang terbuka. Kalau ke kiri, di sana kebetulan ada kamar mandi yang tak terkunci. Alhasil aku menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan kalau tidak ada siapa pun.

Om Hendro yang aku tahu tidak ada di rumah sudah beberapa bulan, jadi tidak mungkin kalau dia tiba tiba nongol saja di sini. Aku pun memilih kamar mandi yang terbuka itu, seraya memasukinya akhirnya air pun terlihat sangat banyak dan jernih. Ini adalah kamar mandi paling bagus yang pernah aku temui, dan terletak di rumah bu maya.

Setelah beberapa menit mandi, kini aku telah selesai dan siap untuk ke luar. Dari pintu utama aku bergerak, ketika terbuka lebar ternyata di sana ada om Hendro. Saking terkejutnya, jantung ini seperti hendak lepas.

“Astaga, om kenapa gak bilang kalau ada di situ?” tanyaku sangat hati hati.

Namun, dia tidak menjawab sama sekali dan hanya memerhatikan aku dari ujung kaki sampai ujung kepala. Entah apa yang dia lihat, karena aku masih memakai handuk yang di lipat ke setengah badan. Om Hendro pun bergeming, aku juga ikut diam memerhatikan wajah lelaki itu dengan sangat polosnya.

Tak berapa lama aku pun bergerak dan hendak kabur, barulah om Hendro membuyarkan lamunan. Dia pun mengambil handuknya yang tadi jatuh, lalu dia letakkan di bahunya. Aku menatap kedua matanya, om Hendro sudah hampir empat bulan pergi dan ketika kembali wajahnya seperti anak lajang.

“Ka kamu kamu ngapain ada di sini Nayla?” tanyanya padaku, dengan nada suara tersengal patah patah.

“I ini … ini om, aku numpang mandi. Soalnya air di kosan mati, jadi tadi aku udah izin sama bu maya dan katanya mandi di sini,” jelasku terbata bata, dan om Hendro pun menyentuh dagunya yang telah tumbuh janggut tipis.

Kumisnya juga tipis, mirip dengan guru olahraga di sekolah, tiba tiba bayangan aku langsung jauh. Karena jujur saja aku jarang bertemu dengan ol Hendro, paling dapat di hitung hari karena katanya dia bekerja di luar pulau gitu.

“Om, kalau gitu Nayla pergi dulu ya. Soalnya mau sekolah, takut telat kalau pergi lama lama,” paparku, dan om Hendro pun mengangguk.

Dengan sangat kencang aku pergi, berlari dari samping rumah. Tampak di sana kalau bu maya sedang berdiri memegang ponsel, aku rasa dia sedang menghubungi montir tukang masin.

“Udah siap mandi nya Nayla?” teriaknya sangat menggema di telingaku.

“Udah kok bu, terima kasih ya …,” jawabku berteriak juga.

Kini tibalah aku di depan ruang kos, tak berapa lama pintu kamar kosan kak Ratih tertutup rapat. Aku tahu kalau dia sedang dilema, karena pacarnya yang sudah lama berpacaran mendadak menikah karena telah membuat hamil wanita lain. Sampai sekarang dia syok, dan itu adalah alasan aku tidak berani pacaran sampai sekarang. Bahkan sekadar kenal pun tidak, kemudian aku masuk ke dalam ruangan.

Sambil bersenandung, aku gerak cepat untuk memakai seragam cokelat. Baju pramuka yang aku pakai pun belum sempat di setrika, tanpa berdandan yang sangat rinci aku keluar dari kosan dan menunggu di tepi jalan. Namun, angkutan umum tak kunjung datang. Sementara kalau mau naik ojek aku tidak punya uang, jadi aku menunggu saja.

Berjarak sepuluh menit, angkutan pun tidak datang juga. Karena memang aku yang terlambat beberapa menit di sini, dan dari luar ujung rumah bu maya mobil melintas ke arah sini. Aku menatap secara saksama, itu adalah mobil milik om Hendro yang sepertinya baru dia beli.

Tak berapa lama mobil itu berhenti di hadapan aku, dan dengan jantung yang berdetak kencang aku menoleh kanan serta kiri berpura pura tak melihat. Kaca mobil tersebut terbuka, sekarang wajah om Hendro ke luar dari dalam sana menatap aku lagi sangat tajam. Pangkasan om Hendro sama seperti anak muda di sekolah, modis dan masa kini.

Dia terlihat lebih muda setelah empat bulan ke luar kota, aku pun memegang ponsel dan tidak mau menatap ke arahnya. Lalu dia pun memanggil aku, “kamu gak mau ikut Nay? Sini pergi sama om aja, biar om antar sampai sekolah.”

Aku mendengkus, “Eng enggak ah om, aku naik angkutan aja soalnya bentar lagi datang juga kan.”

“Mana ada jam segini angkatan Nay, buruan kalau mau pergi sama om. Lagian satu jalan ke sana kok, sebelum terlambat loh.”

“Ah enggak deh om, aku mau naik angkot aja soalnya udah janji sama teman di dalam sana,” paparku menjelaskan.

“Yakin kamu gak mau ikut?” tanya om Hendro lagi.

“Enggak deh, karena takut di bilang gak setia kawan.” Aku beralasan, dan menarik napas panjang.

“Ya udah kalau gak mau, om pergi dulu ya Nay. Kamu hati hati kalau di jalan jangan ke pinggir banget, entar banyak kendaraan lewat,” paparnya memberikan nasihat.

“Iya om, terima kasih,” jawabku lagi.

Om Hendro pun pergi dengan sangat kencang, tak berapa lama setelahnya angkot pun datang. Padahal aku berbohong kalau sedang di tunggu sahabat, padahal di dalam sini aku tak ada yang kenal satu pun anak dari mana saja. Akhirnya angkutan pun datang, dan saking padatnya aku sampai duduk di bangku tempel. Namun, ini sudah sering terjadi.

Sebagai anak yang tidak pernah manja pada mama dan ayah, aku sudah biasa mengalami ini semua. Hanya saja kadang kalau terlalu padat, mobil ini menimbulkan bau keringat dan aroma ketiak anak laki maupun perempuan, itu saja yang membuat aku tidak kuat.

‘Syukur lah kalau pagi ternyata gak ada bau badan, coba aja kalau siang udah pingsan aku,’ kataku dalam hati.

Bersambung …

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel