Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

4. Sakit, Besar Banget

“Kita udah sampai sekarang … ini adalah rumah aku,” ucap Farhan, dan kami masuk dari pintu paling depan.

Aku celingukan ke kanan dan ke kiri, karena keadaan rumah yang sangat temaram dan di tambah lagi banyak benda benda tidak pernah terlihat sebelumnya. Perasaan ini jadi ragu kalau di dalam sana adalah kediaman Farhan, jujur saja ini adalah pertama kalinya aku datang ke rumah kawan sekolah. Biasanya tidak pernah, dan kalau pun ada yang ngajak pergi paling juga ke malu dan lain sebagainya.

Namun, karena Farhan sudah berjanji akan memberikan aku uang tidak masalah lah, namanya juga berusaha. Tidak mudah udah mendapatkan uang untuk saat ini, apalagi kalau dalam keadaan mendesak. Ketika aku turun dari atas motor, kami pun berjalan kembali ke arah teras rumah, akan tetapi bentuknya sedikit menyerupai villa. Tetapi perbedaannya dengan vila adalah, bangunan tersebut tidak berada di daerah perbukitan yang yang sangat tentram.

Setibanya di ambang pintu aku pun langsung menyentuh permukaan dasar kayu itu, terdapat banyak sekali bunga di samping kanan dan kiri rumah ini. Sekarang aku mulai yakin kalau ternyata yang kami datangi bukan vila, sejak pertama kali berada di sini aku sudah bertanya tanya dalam hati, akan semua kejanggalan tersebut.

Akan tetapi mama aku selalu berkata untuk tidak berpikir aneh sebelum tahu yang sebenarnya, dan itu adalah nasihat kata orang tua. Kemudian aku menatap Farhan tengah mengetuk pintu rumahnya, tetapi tidak ada yang buka. Padahal sebelumnya dia sudah bilang kalau di rumahnya ada pembantu, seorang wanita yang menemani nya setiap hari.

“Kamu yakin kalau ini rumah kamu far? Kok, aku dari tadi gak lihat ada penjaga satpam dan pembantu ya? Karena kamu bilang kalau rumah ini ada yang menjaga kan?” tanyaku bertubi-tubi.

“Ada kok pembantu aku, penjaga rumah juga ada. Kamu gak percaya sama aku kalau kita gak sendirian di rumah ini?” Farhan malah bertanya balik sama aku, niat hatinya hendak meyakinkan.

“Ya bukan gak percaya ya far, karena kan aku anak cewek kamu ajak datang ke rumah malam malam, apa gak ada yang bertanya nanti kalau kita di dalam?” tanyaku lagi, dan Farhan malah cengengesan saja.

“Gak perlu khawatir kalau siap itu Nayla, rumah ini udah aku tempati lebih dari sepuluh tahun, mana mungkin kan aku hidup sendirian selama 10 tahun, ada ada aja kamu,” paparnya lagi, aku meredahkan ketakutan itu.

“Okelah, kalau begitu kenapa gak ada yang buka pintu ya dari tadi. Atau jangan jangan pembantu kamu udah tidur kali,” ungkapku begitu sana, dan Farhan pun mengambil ponselnya.

“Aku nyalakan senter dulu ya, kayaknya mati lampu deh. Yuk masuk aja yuk, karena aku gak tahu kan stop kontaknya di mana, rumah ini selalu saja di matikan lampunya. Padahal kalau dari depan udah serem,” kata Farhan, kami pun masuk ke dalam rumah.

Di sepanjang perjalanan menuju ruang tengah, aku tidak henti hentinya menoleh kanan dan kiri. Karena tidak ada siapa pun si sini, bahkan benda tidak terlihat satu pun. Posisi sekarang ada di belakang Farhan, dalam keadaan hujan kami pulang sedikit terlambat karena singgah di beberapa tempat.

Akhirnya Farhan berhenti di salah satu sudut rumah, dia jinjit dan menyalakan lampu. Aku yang menatap ke sebelah kanan, tidak sengaja menatap sosok mengerikan di hadapan mata.

Ceklek!

“Hantu … Farhan … itu siapa, hantu Farhan …,” kataku berteriak sambil memeluk lelaki di samping.

“Astaga … kamu coba lihat sekali lagi ini siapa,” katanya, kemudian aku pun membuka mata perlahan.

“Gak lau ah, itu hantu atau apa ya. Aku mau pulang aja kalau gitu, takut banget …,” kataku sambil menutup mata.

“Enggak loh, ini bi eem pembantu kami di rumah,” kata Farhan meyakinkan.

Seraya membuka mata secara perlahan, akhirnya aku melihat wanita berambut panjang itu. Ternyata dia bukan hantu, melainkan wanita memakai baju serba putih tengah berdiri di hadapanku, dan dia pun sangat heran ketika di kata katain sebagai hantu.

“Ini siapa den, kamu ngajak pacar kamu ke rumah ya?” tanya sang pembantu.

“Enggak kok bu, aku bukan pacarnya tapi teman,” jelasku sangat spontan.

“Ah bohong, den Farhan gak pernah ajak sahabat nya ke sini. Pasti kamu pacarnya kan, ngaku aja deh,” papar bi eem.

“Iya bi, ini adalah pacar aku. Udah ya sekarang bibi siapin makan malam karena aku mau makan, lapar banget nih,” jelas Farhan, dan sekarang Farhan menarik lengan aku.

Bi eem pergi ke dalam dapur, sementara Farhan mengajak aku ke dalam ruang kamar pribadinya. Ini adalah pertama kalinya aku datang ke rumah teman sekolah, dan langsung masuk ke dalam ruang yang penuh dengan gitar dan ada juga meja belajar. Ternyata ini isi dari ruangan anak laki laki, banyak sekali foto foto artis Korea dan lainnya.

Kemudian aku duduk di samping kanan, memerhatikan Farhan yang membuka baju dan mengganti pakaiannya. Namun, dia tidak mendi dan hanya memakai celana pendek sebagai dalaman di seragamnya. Lalu dia berjalan mendekati aku, menatap serius seperti orang yang sudah kenal lama dan dekat.

“Kalau kamu ketemu bi eem bilang aja pacar aku ya. Karena kalau bukan pacar aku, dia gak akan izinkan siapa pun datang ke sini,” katanya, lalu aku mengangguk.

“Iya far, aku paham kok. Tapi kamu gak bakal yang aneh aneh kan sama kamu?” tanyaku lagi, memastikan kesungguhan Farhan.

“Ya enggak lah, mana mungkin aku yang aneh aneh. Sekarang kamu temani aku ya, karena beginilah hidup aku tanpa orang tua. Mereka sibuk dengan kerjanya di luar negeri, sampai sampai gak memberikan perhatian,” papar Farhan, kisah hidupnya sama seperti aku.

Hanya saja, kalau aku masih bisa pulang kampung dan bertemu. Mereka tidak di luar negeri, akan tetapi hidup sendirian itu jauh lebih nyaman menurut aku, walau pun kendala nya kurang uang dan pemasukan itu sudah pasti. Tak berapa lama, Farhan pun mengambil gitarnya dan mulai bernyanyi.

“Kamu gak mau nyanyi sama aku?” tanya Farhan.

“Enggak ah, aku di sini aja lihat kamu,” jawabku seraya memerhatikan dari bangku belajar miliknya, berjarak karena aku tidak mau kalau sampai salah dalam melangkah.

“Ya udah aku nyanyi buat kamu ya Nayla, tapi kamu jangan ngejek karena suara aku cempreng banget tau.”

“He He He … gak apa apa kok far,” kataku lagi.

Farhan bernyanyi lagu tentang kisah masa lalu, bahkan sampai menyentuh hatiku yang pernah suka pada seorang pria tetapi dia malah milik orang lain. Sejak saat itu aku bertekad tidak mau lagi kenal pada siapa pun, walau ladang iri juga melihat sahabat bahagia memiliki pasangan.

Untuk aaat ini aku hanya fokus sekolah, menggapai cita cita dan membahagiakan kedua orang tua karena telah lulus sekolah, itu saja selebihnya tidak ada. Selepas bernyanyi, tiba tiba perutku lapar sekali. Namun, Farhan sepertinya tidak peka setalah kedinginan di jalan tak mau ajak aku makan malam.

Namun, baru saja hati ini mengomel dia meletakkan gitarnya di atas dipan. “Oh iya, aku sampai lupa. Kita belum makan, yuk lah makan dulu Nayla. Aku gak mau kalau kamu sakit perut, ayo pergi.”

“He He He … tahu aja kalau aku lagi lapar, ya udah ayo lah,” kataku, kamu berjalan menuju ke dapur, tepat di meja paling belakang ruang ada banyak mangkuk yang tersedia.

Sementara aku menoleh ke samping, bi eem telah tidur di atas dipan dan lupa mengunci pintu. Farhan datang dan langsung menutup pintunya, lalu dia berjalan bersama aku lagi menuju dapur.

“Bi eem itu udah seperti mama aku di sini, sejak kecil aku tinggal sama dia. Makanya kami sangat akrab bagai anak dan mama,” ucap Farhan, dan aku mengangguk setelah mendengarnya.

“Oh, ya, jadi kamu gak pernah ajak sahabat laki laki ke rumah kamu?” tanyaku penasaran.

“Dulu pernah, tapi di marahin sama bi eem. Jadinya sekarang gak boleh lagi bawa siapa pun, he he He … maklumlah udah tua, jadi agak emosian,” ledek ku.

“Ih kamu berdosa banget tau.” Sambil berkata, aku melayangkan tangan ke kepala Farhan, dia menarik lengan aku dan langsung menatap.

Aku pun menatap wajahnya yang sangat polos itu, kedua matanya ke kanan dan ke kiri dalam memerhatikan. Tak berapa lama, Farhan pun mendekatkan wajahnya dan menutup mata, aku melakukan hal yang sama. Ternyata ada yang mendarat di bibir ini, terasa sangat lembut dan menjadi sedikit berbeda.

Dalam posisi terdiam, aku pun tetap berada dalam posisi yang sama. Kemudian Farhan pun menggunakan tangannya untuk menyentuh sesuatu, karena merasa sangat aneh aku langsung membuka mata dan ternyata tangan Farhan telah berada di balik bajuku.

“Ferhan, kamu kenapa seperti itu?” tanyaku.

“Nayla, malam ini kamu mau kan temani aku. Plis, karena aku ingin banget, udah lama gak pernah kesampaian. Mau ya,” katanya merengek.

“Emangnya kamu mau ngapain Farhan?” tanyaku lagi, kali ini sangat gemetar dan takut.

“Ya gitu, masa kamu gak tahu sih. Ya, ini udah naik banget, mau ya Nay. Entar apa pun yang kamu mau aku kasih deh, karena aku butuh juga kan udah 17 tahun tapi belum pernah sekali pun,” katanya merayu lagi.

“Tapi aku gak mau, kamu bukan tipe aku Farhan. Kamu kenapa seperti ini sih?”

“Udahlah, apakah aku harus dengan cara lain agar kamu bisa. Sekarang ikut aku, ayo sebelum bi eem bangun.” Farhan menarik lengan aku sangat keras.

“Farhan stop, kamu apa apaan sih. Gak lucu tau, awas aku mau pulang aja,” teriakku sangat ketakutan.

“Entar kalau udah siap aku antarkan kamu kok, ya Nay masa kamu gak kasihan sama aku. Sayang … mau ya sayang, Plis ….”

“Ta tapi … tapi …”

“Aku janji lambat kok, ya sayang. Gimana?” tawarnya lagi.

Bersambung …

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel