Pustaka
Bahasa Indonesia

Budak Sex Bapak Kos

73.0K · Ongoing
Dilan Kisaran
44
Bab
4.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

WARNING !!! Mengandung adegan dewasa 21++ bagi yang belum sunat dilarang mampir, bisa buat kalian ingin setiap saat. Cerita ini berawal ketika aku tak mampu bayar uang kost, sudah berjalan tiga bulan. Namun, ada sebuah insiden yang membuat semua tagihan itu lunas. Yaitu harus menjadi budak untuk bapak kost, setiap bulan aku harus setor kenikmatan padanya beberapa kali.

MetropolitanBillionaireDewasaPerselingkuhanPlot TwistGentlemanLembutGenitModern

1. Birahi Bapak Kos

“Parah sih ini, sempit banget Nayla,” ucap om Hendro saat berada di dalam kosan bersama dengan aku.

“Om, pelan dong perih banget ini … emm …,” kataku dengan nada suara sangat terengah engah.

“Iya sayang, kamu harus kuat biar bisa imbangi om,” katanya lagi sambil merayu, menarik rambutku dan mendekap di bantal berukuran sepetak.

“Om …,” teriakku lagi, dan suara kami menggema di dalam ruangan yang semakin penuh, hingga larut malam tidak kunjung selesai. Bahkan aku sampai tak mampu bernapas normal, oknumnya adalah lelaki beranak dua sebagai pemilik kos putri.

***

Perkenalkan, nama aku adalah Nayla muazahra. Sekarang aku duduk di bangku sekolah menengah atas di salah satu sekolah ternama Jakarta. Kesehariannya, kegiatan adalah seperti biasa anak anak pada umumnya. Belajar, sekolah, dan kadang kami lari sore bersama sahabat dan yang lainnya. Kalau soal pergaulan, aku adalah anak yang kurang bergaul sehingga tak pernah membawa teman satu pun ke dalam kosan.

Bahkan sahabat perempuan pun aku tak pernah berikan effort pada mereka untuk menginap dan singgah, seperti larangan yang sudah di tuliskan oleh pemilik kosan ini. Dia berpesan kalau kosan hanya boleh di huni oleh wanita baik baik, tidak suka merokok apa lagi sampai membuat sekitar wilayah merasa terganggu.

Jujur saja aku datang dari kampung, ingin sekolah ke kota agar dapat merubah sirkel menjadi lebih baik. Tahu sendiri kalau tinggal di kampung, segala sesuatunya akan di omongi, mereka seolah tak punya topik lain untuk membahas masalah orang. Dan di sekolah aku terkenal sangat pendiam, tetapi dapat rangking umum terus oleh karena itu ayah dan ibuku sampai memberikan izin untuk melanjut sekolah ke kota.

Meraka tidak pernah ke kosan aku, hanya kalau setiap hari besar biasanya aku yang pulang. Itu pun tergantung kalau ayah telah mengirimkan uang, dia pemilik rumah makan yang cukup ramai di kampung, sehingga anaknya selalu di berikan uang lebih untuk biaya. Bahkan untuk jajan, dan yang lainnya. Walau pun kadang uangnya kurang, hidup di kota sangat serba mahal.

Pagi itu, aku sedang berjalan di tepi trotoar. Pulang sekolah setalah tadi naik angkatan umum, kini aku masuk ke dalam gerbang kosan dan tidak hanya aku yang ada di sini. Banyak sekali dari mereka datang untuk menyewa tempat tersebut, karena lokasinya damai dan tenang. Tempatnya bersih, serta tak banyak kendaraan melintas.

Rutinitas setiap hari aku selalu memanjakan diri di rumah, bersebelahan dengan seorang wanita yang berasal dari anak kuliahan. Dia adalah kak Ratih, orangnya asyik kalau di ajak untuk curhat. Namun, belakangan ini dia sering galau karena pacarnya menikah dengan wanita lain. Maka dari itu, kami jarang bertemu dan dia juga sudah semester akhir sampai sampai gak ada waktu luang untuk berkomunikasi.

“Udah pulang kamu Nayla?” tanya ibu kos, terlihat dengan sangat santainya istri om Hendro sedang menyiram bunga.

“Iya bu, baru aja pulang. Ini pun udah kelamaan, karena banyak kegiatan. Maklumlah, namanya juga mau ujian,” jawabku, dan ibu kos pun mengangguk.

“Nayla, kamu mau makanan enggak? Ini Ibu ada makanan loh, tapi tadi si kakak gak makan. Kamu mau martabak?” tanyanya, aku pun mengangguk dan langsung berlari menemuinya.

Sifatku yang masih terlalu kek anak kan akan membuat Ibu kos senang mencagil, kalau bahasa Indonesianya yaitu suka bercanda. Saat masuk ke dalam rumah nya, aku tidak pernah bosan karena sangat mewah. Semuanya serba ada, bahkan mobilnya ada di depan sana. Langkah demi langkah pun membawaku menuju ruang dapur, dan tampak di samping sebuah akuarium.

Ibu kos datang membawa makanan, dia sangat baik sama seperti ibu aku di rumah. Wajahnya pun sama, tapi dia adalah pekerja keras juga bahkan sampai tidak bisa merawat diri. Aku pun menarik napas dan menatap mantap ke arah akuarium itu, banyak ikan ikan di sana tengah berenang. Bahkan membuat sejuk, andai saja ada akuarium di dalam kosan, pasti akan aku rawat ikannya sampai besar.

“Nay,” ucap ibu kos, membuat aku terkejut dan langsung menatap wajahnya.

“Eh, Ibu ngagetin aja,” jawabku, seraya menatap wajah wanita paruh baya itu.

“Nay, kalau kamu bertemu kak Ratih tolong berikan ini untuk dia juga ya, agar kakak kamu gak setres kali saka mantannya,” ledek ibu kos, aku tersenyum semringah.

“Wah, ini martabak Mesir ya bu?” tanyaku penasaran.

“Iya, udah bawa sana.”

“Terima kasih ya bu …,” teriakku seraya berlari dari rumahnya.

Tanpa memakai sepatu lagi, aku pegang sambil menenteng martabak ke dalam kosan. Ternyata kak Ratih belum pulang, aku segera masuk dan meletakkan makanan di samping meja belajar. Kemudian kegiatan selanjutnya adalah mandi, dan bersih bersih kosan yang sangat sudah lebih dengan debu ini.

Seraya memasuki kamar mandi, aku bersenandung tanpa henti. Seraya menggosok gigi dan tak lupa agar selalu bersyukur apa pun yang aku jalani hari ini, sekarang aku sudah kelas dua belas, akan tetapi belum berani pacaran. Karena kata mama kalau belum kuliah jangan sampai pacaran dulu, itu adalah nasihat darinya.

Setalah selesai mandi, aku segera berpakaian dan kalau di kosan biasanya aku berpakaian pendek saja. Tidak ada anak cowok sama sekali, jadi kami hampir rata rata begitu di sini. Kosan pun sudah bersih, aku langsung berjalan menuju ke teras dan menyapunya. Tak berapa lama kak Ratih pulang, dia berjalan memeluk buku dan mungkin tugas kuliahnya.

Kini dia sampai di samping kanan, membuka sepatu dan tidak mau menyapa sama sekali. Berbeda dengan kak Ratih yang aku kenal, karena sekarang jauh terlihat sangat berbeda. Aku pun menoleh wajahnya dari kanan ke kiri, serta dari atas di bawah.

“Kamu kenapa Nayla?” tanyanya sangat heran, aku pun menggelengkan kepala.

“Bukan kakak yang bertanya, harusnya Nayla yang nanya kakak kenapa ya?” tanyaku balik, dan kak Ratih pun diam di atas bangkunya.

“Biasanya Nayla, banyak banget tugas Kakak. Mana lagi lapar banget lagi, belum masak ke mana lah ini mau cari makan,” katanya, kemudian aku menahan kak Ratih dan masuk ke dalam rumah.

Sekembalinya lagi, aku langsung menuju ke teras depan kapan kak Ratih. Dia terheran menatap aku sedang membawa makan banyak, dan kedua matanya tercengang sampai tak mampu berkedip.

“Ini dari mama dik?” tanya kak Ratih.

“Ini di kasih sama ibu kos, katanya kita bagi dua. Ya udah sekarang makan dulu,” ajakku, dan kak Ratih pun masuk ke dalam rumah.

“Sebentar ya Nayla, jamu jangan makan dulu kakak mau ngambil sesuatu …,” teriaknya.

Sambil menunggu aku membalas chat mama dan ayah di kampung, mereka selalu bertanya apakah uangnya sudah habis atau belum. Karena kebetulan sudah akhir bulan, akan tatapi mama dan ayah tidak langsung akan mengirim uangnya. Biasanya, tanpa bertanya sudah masuk saja notifikasi dari ponsel kalau uang sudah aku terima.

Ternyata ayah dan ibu menunggu sampai malam, dan dengan sangat sabar menunggu aku pun tak sabarnya menyantap martabak ini. Dari bentuknya saja sudah sangat enak, aromanya juga. Lalu, kak Ratih kembali dengan membawa nampan berisikan dua gelas susu putih.

“Aku datang … ini dia sahabat terbaik untuk makan martabak yang sangat enak,” katanya.

“Wah … kakak garcep banget sih, tau aja kalau ini adalah pasangan terbaik untuk makan martabak?” Aku semakin bahagia, memiliki sahabat yang sudah seperti kakak kandung.

Karena aku adalah anak pertama, jadi gak pernah merasakan yang namanya punya kakak atau abang. Yang ada hanya adik, itu pun membuat kesal semua. Kami sekarang menyantap martabak itu, bahkan sampai habis semuanya. Rasanya kalau sudah kenyang, beban pikiran pun hilang.

“Nayla, kamu malam ini di tempat kakak ya temani Kakak. Karena Kakak mau curhat sama kamu, bisa kan Nay?” tanya kak Ratih.

“Bisa kok kak, ya udah kalau gitu mandi duluan aja biar aku yang bersihin lantai kak Ratih,” jawabku, kami pun masuk ke dalam kosan.

Kak Ratih meletakkan beberapa dokumen kuliah, dan aku menatapnya sangat saksama. Ini adalah berkas yang sepertinya tidak terlalu sulit aku kerjakan, karena masih hampir sama dalam pengerjaannya. Namun, aku tidak mau mengerjakan begitu saja takut kalau salah dan kak Ratih marah.

Tepat di atas meja belajar, aku pun main ponsel. Menatap layar ponsel menunggu mama dan ayah membalas chat, akan tetapi sampai saat ini tidak di jawab dan hanya sekadar di baca saja. Kalau sudah kelas dua belas, pasti banyak yang akan di beli. Mulai dari praktik, ujian, bahkan sampai kegiatan mendadak.

Mudah murahan mama dan ayah segera mengirimkan uang SPP dan juga unti bayar uang kosan, kebetulan aku belum bayar yang bulan kemarin karena terpakai untuk uang praktik di sekolah. Namun, ibu kos tidak pernah menagihnya. Mungkin baru telat satu bulan saja, salam aku berada di sini belum ada masalah.

“Kakak udah siap nih, Nay aku mau cerita nih sama kamu. Kalau cowok yang ini kira kira baik gak ya orangnya?” tanya kak Ratih padaku, dari wajah saja aku dapat menilai kalau cowok itu baik.

“Kayaknya baik sih, tapi aku lebih suka yang pertama kak, soalnya Baby face banget. Ala ala Korea gimana gitu. Tapi belakangan ini aku suka sama cowo yang rada-rada lebih tua dariku sih, biar bisa menjaga,” paparku sangat jujur.

“Kok, kamu gak mau sama yang seumuran sih Nay?” tanya kak Ratih.

“Gimana ya kak, kalau yang seumuran itu hanya membuat sakit hati aja. Jadi buat apa pacaran kalau ujung ujung nya sakit hati kan?”

“Kamu gak lagi nyinyir aku kan Nay?” tanya kak Ratih.

“Ha ha ha … ternyata tepat sasaran ya kan? Bercanda bercanda, aku gak nyindir kok kak. Gimana ya, kalau lihat Pak polisi depan gang itu aja aku senang banget loh sekarang. Walau dia beda usia sama aku, tapi gak tau kenapa gitu.”

“Hmm … gitu ya, kalau aku sih yang penting baik hati aja sih. Karena trauma, udah pernah di sakiti sampai tak berdaya,” papar kak Ratih.

“Entar aku kenalkan sama sahabat aku deh, kalau kakak mau sih. Soalnya teman aku ada yang minta carikan cewek ke aku, gimana kak?”

Bersambung …