Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Chapter 6: One Night

Noah

Tak terlintas di pikiranku bahwa mengundangnya ke hotelku adalah suatu hal yang bersifat pribadi. Aku merasa senang karena dia menerimanya tanpa syarat. Padahal ayahnya sempat menelponnya beberapa menit sebelum dia kemari bersamaku. Aku sengaja mengajaknya di hotel ini, salah satu hotel yang dikelola perusahaanku.

"Aku tak menyangka Maxwell masih hidup sampai sekarang," celetuknya sembari berjalan di lorong hotel lantai 12. "Aku bukan Maxwell, Olivia." Dia berhenti dan menoleh ke arahku. "Yah, tentu saja, aku tidak mengatakannya kau adalah Maxwell. Aku hanya memuji hotelnya saja. Dan aku harap tidak mati konyol disini walaupun aku akan menerimanya..." Dia tersenyum menyeringai menatapku.

"Kau tau apa tugasku disini, kan?"

"Ya, tugasmu adalah melindungiku akan tetapi, selain itu kau harus menjadi yang lain, Noah." Aku membuka pintu kamar yang sudah ku pesan dan dia tersandung di pelukanku. Aku menatapnya dalam dan merasakan detak jantungku berdegup kencang. Aku melepaskannya pelan, "Apa kau baik-baik saja?" tanyaku khawatir.

Dia mengedipkan matanya berkali-kali, "Ya, aku baik-baik saja. Aku tak pernah masuk ke hotel bersama dengan seorang pria," Dia meletakkan tasnya di atas sofa lalu, duduk dengan santai.

"Aku tau hubungan kita hanya sebatas pekerjaan. Namun, jika aku meminta kau untuk menjadi kekasihku, apakah kau bersedia?" Aku menunduk di hadapannya, memohon. Tak apa, aku melakukannya demi tugasku.

"Aku tidak tau, Noah. Eric baru saja meninggal dan aku tak berniat untuk memiliki kekasih baru. Apakah kau tidak berpikir ini terlalu cepat untuk jatuh cinta?" Dia memegang salah satu telapak tanganku dan aku bisa melihat mata hijaunya menatapku dalam.

"Tidak ada yang terlalu cepat untuk cinta. Tapi, aku tidak memaksamu. Jika kau tidak menjadi kekasihku pun aku masih selalu ada disini untukmu, Olivia."

"Aku butuh waktu untuk itu dan aku harus memikirkan kemungkinan jika kita berhubungan nanti. Papa pasti tidak akan suka jika aku memiliki hubungan dengan pria dibawahku. Aku harus menikah dengan pria yang setara denganku." katanya menjelaskan. Aku tak masalah, aku bukan pria dibawahnya jika dia tau faktanya. Namun, dia tak perlu tau itu sekarang. Aku hanya ingin mendapatkan hatinya, membuatnya percaya kepadaku.

Selebihnya aku tak butuh, aku pun tak ingin jatuh cinta padanya. Aku selalu menyakinkan diriku bahwa aku tak mencintainya. Namun, setiap kali mataku menatapnya, aku selalu merasakan hal yang berbeda. Ketika aku berada di dekatnya, memeluknya aku merasa jiwaku telah terikat kepadanya. Ya, mungkin hatiku yang terlalu berharap lebih atau memang perasaanku kepadanya memang natural. Aku harap tidak karena jatuh cinta di tengah pekerjaan adalah suatu hal yang berbahaya.

Olivia hanya menerima undanganku untuk makan malam di hotel ini. Awalnya percakapan kami begitu menyenangkan. Aku menceritakan tentang candaan yang pernah ku dengar. Aku tak menceritakan tentang diriku dan latar belakangku selain, dia tidak bertanya. Dia tak tertarik untuk mendengar itu, untung saja. Setelah aku memintanya menjadi kekasihku, raut wajahnya berubah seketika. Apa dia terbayang oleh kenangan bersama Eric? Namun, dia sempat mengatakan bahwa dia tak pernah memasuki hotel bersama lelaki.

Aku meminta hidangan makan malam disajikan di balkon. Olivia sudah duduk di depan meja melingkar yang ada di balkon sembari menatap ke arah langit malam yang cerah. Aku menghampirinya dan duduk di depannya, "Ini adalah masakan terbaik di hotel ini," Dia menatapku terkejut, "Noah, kau melakukan ini hanya untuk makan malam. Apa keluargamu tidak butuh uangmu?" Dia mengangkat alisnya sebelah sembari menikmati minumannya.

Botol anggur merah telah tiba, pelayan menyajikannya beserta dua gelas. "Aku lebih suka liquour dibanding anggur merah saja." Dia tertawa kecil meremehkan anggur merah yang mengandung sedikit alkohol, "Baiklah, sesuai dengan yang mulia inginkan," Aku menelpon pelayan dapur untuk membawakan sebotol liquour ke kamar ini.

"Noah, jelas kau bukan orang biasa. Kau bisa menelpon pelayan dengan ponsel pribadimu. Siapa kau?" Dia memotong daging dengan pisau dan menatapku serius, "Noah adalah namaku, Yang Mulia." Aku meletakkan ponselku ke dalam saku setelah memesan liquor.

Olivia tertawa kecil, aku melihat tangannya merogoh ke dalam tasnya. Dia menodongkan pistol tepat ke arah kepalaku. "Aku memang rela mati tapi, tidak sekarang. Kau terlalu cepat." katanya mengancamku. Aku bahkan tak berniat membunuhnya sekarang.

"Kau yang terlalu cepat berasumsi, Olivia. Jika kau merasa tidak aman? Mengapa kau menerima undanganku, hmm?" Aku mencoba beranjak dari kursi, "Jangan bergerak atau ku tarik pelatuknya." Dia mengancamku dan aku terus bergerak tanpa menghiraukan ultimatumnya.

"Kau tidak akan berani, Yang Mulia. Aku bisa merasakan detak jantungmu ketika kau terjatuh di pelukanku..." Aku memasangkan sebuah kalung di lehernya. Aku mengambil pistolnya perlahan dari genggamannya dan memasukkannya kembali ke dalam tasnya.

"Apa kau bisa membohongi perasaanmu sendiri?" Aku berbisik di telinganya, "Tidak, aku hanya merasa tak ingin..." Aku memutar tubuhnya, membuatnya berdiri menghadap ke arahku. Aku menarik kepalanya pelan dan mencium bibirnya. Aku melumatnya dan tak ku sangka dia membuka mulutnya dan mengizinkan lidahku menjelajah lebih dalam.

"Apa kau masih merasa tak ingin?" Kedua telapak tanganku meraba punggungnya. Aku menggendongnya lalu, menidurkannya di atas ranjang. Aku ingin melucutinya karena dia sudah patuh terhadapku akan tetapi, aku mendengar suara ketukan pintu dari depan. "Noah, kau harus memencet skip pada iklannya." Dia tertawa kecil sembari duduk.

Aku membuka pintunya dan mengambil sebotol liquour lalu, ku taruh di atas meja. Aku menutup pintunya lalu, menguncinya. Aku membiarkan pintu balkon terbuka dan beberapa tirai jendela sudah tertutup dengan rapi. Aku mencium bibirnya sekali lagi, tanganku meraba mencari risleting dressnya. Aku menarik risletingnya dan melepaskan dress dari tubuhnya.

Dia membuka jasku lalu, membuka satu per satu kancing kamejaku. Aku tersenyum menatapnya sembari membuka bra-nya dengan pelan. Aku meremas kedua gunung kembarnya yang sudah mneyapa mataku. "Kau bergerak terlalu cepat, Noah." protesnya sembari melepaskan tanganku, dia membuka risleting celanaku lalu menariknya ke bawah. "Lihatlah dia sudah berdiri," Dia tersenyum melihat ke arah celana dalamku.

"Kau tidak akan mengizinkanku, hmm?" protesnya ketika aku menggendongnya dan membaringkannya di atas ranjang. Aku dengan pelan menarik lacy thongnya ke bawah dan terlihat kewanitaannya. "Sempurna." kataku setelah menaruh lacy thongnya di atas meja nakas lalu, mencium bibirnya. "Noah, apa kau punya cukup kekuatan untuk melakukan itu?" Dia tersenyum meremehkan kemampuanku yang membuatku semakin tergerak untuk menjelajahkan lidahku di atas clitnya. Aku melebarkan kedua pahanya, menarik celana dalamku. Aku mengulum batangku sebentar sebelum menyelam ke dalam liang senggamanya.

Aku menjelajahkan jariku di atas kewanitaannya dengan pelan. Aku bergerak sedikit lebih cepat sampai dia sedikit basah. Aku mengulum batangku lagi lalu, masuk ke dalamnya. Aku bergerak dengan tempo lambat namun, dia sudah mengerang memintaku bergerak lebih cepat. Aku bergerak lebih cepat sembari meremas kedua payudaranya, mencium bibirnya. Aku menarik tubuhnya dan membuatnya berdiri di atas kedua pahaku. Dia memelukku erat sementara, kedua tanganku memegang kedua pinggulnya erat.

Aku terus mendorong dari bawah sehingga tercipta ketegangan sampai dia bergetar dan mengerang lebih keras. Aku bergerak lebih cepat sampai mengeluarkan cairan kental putih di dalamnya. Aku tak bermaksud membuahi rahimnya akan tetapi, aku lupa memakai kondom. Aku menaruhnya di laci dan lupa memeriksanya. Aku menarik batangku keluar dan melumat bibirnya. Kami berdua cukup berkeringat.

"Yang Mulia, aku melupakan pelindungnya. Jadi, dia sudah mengalir ke dalam," Aku mendengar gelak tawanya tepat di telingaku, "Aku menelan pil pencegah kehamilan secara rutin karena aku dan Eric sering melakukannya di rumah pribadinya. Suaramu terdengar khawatir..." katanya sembari turun dari pangkuanku.

Dia membersihkan dirinya di kamar mandi, aku menyusulnya dan mandi bersamanya. Aku menciumnya dan dia sama sekali tak keberatan. Dia menyukainya dan sudah lama dia tak melakukan ini sejak pulang dari London. Dia bercerita tentang kematian tunangannya yang tragis. Aku tau semuanya tanpa dia perlu bercerita dan aku juga tau apa yang terjadi setelahnya. Aku tak ingin membongkarnya demi menjaga perasaannya.

Dia merapikan rambutnya dan mengeringkannya setelah kami selesai membersihkan diri. Aku memakai kaos dan celana serta menyiapkan setelan baju kerjaku jika tuan putri meminta di antar kembali ke rumah. Aku mendekat dan berdiri tepat di belakangnya, "Lalu, bagaimana dengan permintaanku? Apa kau masih perlu waktu untuk berpikir?" bisikku di telinganya.

Dia menaruh sisirnya dan menoleh ke arahku, "Sebenarnya aku tak ingin jatuh cinta lagi. Aku tak ingin mengulang masa lalu." Dia berhenti sejenak dan menghela napas dalam. "Namun, menemukanmu adalah obatnya. Kau tidak akan meninggalkanku kan?" Dia menatapku dalam.

"Tidak," jawabku singkat. Aku tak tau jawaban apa yang pasti.

"Aku harap kau menepati janjimu meskipun kau tidak berjanji. Aku sudah menerimanya dan jawabanmu adalah janji yang ku ambil sebagai syarat." Aku termenung sejenak memikirkan ucapannya.

"Anggap saja jawabanmu adalah janji. Dan janji itu adalah sebuah alasan mengapa aku menerimamu, Noah. Jika kau benar-benar menginginkan aku...apa alasanmu?" Aku menatapnya dalam dan mencoba memikirkan jawaban atas pertanyaanya.

"Aku mencintaimu, Olivia. Dengan tulus, sungguh-sungguh dan aku tidak berbohong. Jika jawabanku adalah janji. Maka, sekarang sebutlah sebagai kebenaran." Jawabku, air mataku hampir menetes. Aku tak bisa melihatnya seperti ini, berharap meskipun sebenarnya aku melakukan ini hanya demi tugasku.

Dia tersenyum tipis, "Baiklah, biarkan waktu yang menjawab apakah kita memang ditakdirkan untuk bersama." Dia kembali menatap ke arah kaca dan mengaplikasikan skin care di wajahnya. Dia membawa semua itu di tasnya.

Namun, aku sudah terlanjur mengatakannya, aku harus menyelesaikannya hari ini. Dan membuatnya percaya bahwa aku benar-benar mencintainya. Untungnya, dia menganggapku sebagai obat bagi hatinya yang terluka. Apa perasaannya terhadapku begitu tulus? Atau dia hanya tertarik meniduriku? Ah, sepertinya itu tak perlukan. Biarkan Olivia menjawab dirinya sendiri atas perasaanya. Aku mulai melakukan pekerjaanku sesuai dengan perintahnya.

Dia tertidur dengan nyenyak dan tak meminta pulang. Aku tidur dengannya dan bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan. Aku membangunkannya sesuai dengan alarm dan telpon dari asistennya bahwa hari ini dia memiliki pekerjaan. Dia datang ke dapur dengan piyama tidurnya dan menyapaku yang sedang memasak.

"Aku tak pernah melihat pria memasak kecuali dia adalah chef. Kau sangat berbakat sekali." Dia mendekat ke arahku dan melihat ke arah wajan dimana aku sedang memasak sayap ayam mentega. "Aku sering memasak sendiri ketika berada di rumah. Jika tidak memasak sendiri, lalu, siapa yang akan memasak untukku?"

"Aku akan mencoba memasak," katanya dengan nada senang dan penuh semangat. "Apa kau tidak pernah memasak sebelumnya?" Dia tertawa kecil, "Tidak, Mama tidak pernah mengizinkan aku untuk berada di dapur. Hidupku hanya tentang bekerja dan belajar. Aku tidak pernah tau urusan dapur...." Aku memegang tangannya untuk mengarahkan dia cara memasak ayam mentega yang benar.

"Jangan sampai gosong. Aku akan memeriksa kuenya." Aku memeriksa kue yang sudah ku masak. Hotel ini memang memiliki dapur sendiri seperti apartment. Ibuku sangat suka memasak dimana saja jadi, setiap bangunan kami memiliki dapur kecil serta ruang makan keluarga. Aku dan saudara-saudaraku sering menyempatkan waktu di dapur untuk mengobrol dan bercanda. Aku sangat merindukan mereka.

Hidup terasa tidak adil dan aku disini, terjebak bersama Olivia. Wanita yang seharusnya ku racuni dan ku singkirkan pagi ini ternyata menarik hatiku. Pesonanya, sepanjang aku terbangun, mataku tak bisa menghindar darinya. Aku terus memikirkan tentang semalam, tentang perasaannya dan perasaanku yang seolah telah mengikat. Aku tak bisa membunuhnya begitu saja. Aku tak mampu, aku terus melamun menatap datar. Sampai Olivia berteriak karena panas.

"Kamu kenapa?" Aku mendekat ke arahnya dan melihat tangannya yang terbakar karena tersentuh wajan panas. "Aku gak tau pindahinnya gimana jadi, aku sentuh aja wajannya. Eh panas ternyata." Aku tertawa kecil sembari memberikan salep di telapak tangannya yang terbakar.

"Kalau kamu mau pindahin wajannya itu pakai kain. Itu kan wajan besi semua gak ada anti panasnya. Besok aku suruh orang hotel ganti biar kamu gak perlu pakai kain." Kataku sembari membalut lukanya. Dia mengerang kesakitan namun, suaranya lebih terdengar menyenangkan semalam.

"Aku gak tau..." ucapnya lirih. "Gak apa-apa. Kamu taunya pasal-pasal aja sih." Kita berdua tertawa. "Maaf, ya ayamnya jatuh satu. Tapi, aku udah lap mejanya tadi. Aku niatnya mau cuci tapi, eh panas hehe." Aku tersenyum mengusap rambut kepalanya.

"Udahlah gak usah repot-repot. Nanti aku cuci sendiri."

"Gak boleh gitu. Kamu udah repot masak. Masak iya aku cuma liat dan makan aja." protesnya.

"Itu lebih baik daripada tangan kamu terbakar, sayang." Dia tersenyum dan wajahnya terlihat kemerahan setelah mendengar panggilanku.

Kami berdua menyiapkan hidangannya di meja. Olivia tampak senang dengan pengalaman pertamanya di dapur meskipun tangannya terbakar, dia tetap membantu menyiapkan hidangannya. Menikmati sarapan berdua sembari menatap pemandangan langit pagi yang indah, aku sangat menyukainya. Hidup terasa begitu tenang dan tugasku hanya satu sekarang, membuat hubungan ini menjadi lebih hidup.

Aku ingin melindungi Olivia, menjaganya bahkan dari diriku sendiri. Itu perlu dan akan ku lakukan mulai hari ini. "Tidak bisakah kau meninggalkan gadis itu sebentar. Kami perlu bicara." Aku mengangkat telpon dengan permintaan yang sama. Aku tidak merespon sampai aku memastikan Olivia benar-benar aman tanpa ancaman.

To be continued...

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel