
Ringkasan
Olivia Carter mencintai Eric lelaki yang harus mati tertembak dan meninggalkannya di surga dunia sendirian. Dia menarik diri dari dunia cinta dan menutup hatinya rapat, tak memberikan kesempatan kepada siapapun untuk mendapatkan cintanya. Namun, dia terpaksa membuka hatinya untuk pria tampan yang Henry tugaskan menjadi pengawal pribadinya. Noah Maxwell, pria yang menyamar sebagai pengawal Olivia menambatkan hatinya kepada sang gadis. Dia melupakan visi dan misi hidupnya hanya demi jatuh cinta, mempertahankan ambisi akan perasaannya. Suatu ketika dia harus kembali kepada dunia aslinya, meninggalkan Olivia dengan cinta dan harapan serta janji yang telah memudar. Dan ketika dia kembali, semua tak sama seperti dulu. 18+ for explicit content.
Chapter 1: Engagement
Olivia
Aku sangat membenci acara pernikahan ini. Dan aku harus hadir sebagai bridesmaid Alessa, calon istri kakakku, Dave. Aku ingin lari dari keramaian ini dan bertemu Eric karena sejak aku kembali dari London, aku sama sekali belum melihatnya. Aku sangat merindukannya, kami memang sengaja tidak mempublikasikan hubungan kami karena aku ingin hal ini menjadi kejutan bagi sahabat-sahabat terdekat kami.
Namun, sejak rencana pernikahan ini dan aku harus terlibat, aku tak bisa menemui Eric tepat setelah kepulanganku dari London. Aku harus hadir dalam serangkaian acara pernikahan Dave dan aku tak menyukainya. Meskipun aku senang akhirnya dia memutuskan untuk menikah dengan Alessa. Pesta pernikahan ini akan berlangsung sehari saja sementara pesta khusus akan dilaksanakan di kapal pesiar
Ku dengar mereka mengadakan rapat di kapal pesiar sekaligus merayakan pernikahan Dave dan Alessa Stanton. Aku tak ingin terlibat dalam bisnis gila ayahku yang semua orang tau. Aku tak ingin karena itu terlalu berbahaya meskipun mereka memperkenalkan aku dengan kegiatan penyelundupan, penjualan barang illegal dan perdagangan pelacur. Aku hanya belajar hukum dan membantu mereka jika terjadi sebuah kasus.
Ya, itulah tugasku dan aku menyukainya. Aku belajar menembak sejak aku masih kecil, hanya saja aku tak sering membawa senjata kemana-mana. Aku menyimpannya di suatu tempat rahasia dan jarang ku gunakan. Papa tidak pernah memintaku untuk membunuh seseorang, dia sangat menyayangiku sejak aku lahir dan itu wajar karena aku adalah putri pertamanya setelah kedua putranya, Lewis dan Dave.
Lewis sudah menikah 2 tahun yang lalu dan istrinya kini sedang hamil anak kedua. Sementara, Dave baru saja menikah. Dan semua orang mengira aku masih sendiri walaupun sebenarnya aku memiliki seorang kekasih yang ku rahasiakan. Aku tersenyum menatap ke arah Eric yang baru saja datang. Sayangnya, aku tak bisa memeluknya, kami sudah berjanji untuk tetap merahasiakan hubungan ini sampai dia siap untuk melamarku.
"Hey, sudah lama sekali. Aku sudah sangat bosan," kataku kepadanya yang menghampiriku dan mengajakku berdansa, "Kita akan keluar sebentar lagi dari ruangan ini, aku juga merasa sedikit bosan." Dia meraih tanganku dan menaruhnya di pundaknya lalu, dia memutar tubuhku dan mata kami saling bertatapan. Aku begitu mencintainya, merindukannya dan penantian ini sudah lama berakhir.
Aku berada di London selama seminggu saja meskipun begitu butuh waktu 3 minggu sampai aku bertemu dengannya hari ini. Kami sibuk bekerja dan belajar sehingga aku tak memaksanya untuk meluangkan waktu. "Apa yang kau lakukan di tempat itu, hmm? Apa kau sedang liburan?" Aku tertawa kecil mendengar pertanyaannya, "Tidak, jika aku hanya liburan aku akan membatalkan pesawatnya hanya demi bersamamu, Eric." Dia membelai wajahku dengan mesra di tengah-tengah pasangan dansa yang lain.
"Aku mencintaimu, Olivia. Aku sangat merindukanmu," Dia berhenti ketika musik sudah berhenti dan tepuk tangan para tamu membuatku tersadar. Eric seketika menjauh karena dia tak ingin banyak orang yang membicarakannya.
"Aku pikir ada hubunga spesial di antara kalian berdua. Aku bisa melihat dari caranya menatap matamu, Olivia." Seren mendekat dan berbisik kepadaku yang baru saja selesai berdansa dengan Eric. Seren adalah sahabatku dan dia juga tak tau tentang hubunganku dengan Eric.
"Kau sebaiknya memperhatikan kekasihmu daripada dia lari dicuri wanita disini, Seren." matanya seketika menatap ke arah Will yang sedang berbincang dengan sekelompok wanita.
Aku rasa ini adalah waktu yang tepat untuk memberikan Dave dan Alessa hadiah. Aku sengaja meletakkannya dalam sebuah kotak beserta dengan surat dan sejumlah uang serta buku khusus untuk pernikahan. Aku tersenyum menyeringai menatapnya karena ada hadiah spesial yang sengaja aku siapkan untuk mereka berdua di dalam kotak itu.
"Gelap dan misterius sama seperti pemberinya," komentar Dave sembari meletakkan hadiahnya di samping kursinya.
"Terima kasih, Olivia." ucap Alessa dengan senyum manisnya, "Sama-sama. Semoga pernikahan kalian selalu bahagia," ucapku tersenyum. Aku kembali ke keramaian para tamu di tengah aula. Mereka sedang menikmati persembahan lagu dari penyanyi terkenal yang sudah Dave undang secara langsung.
Beberapa tamu ada yang berdiri dan berdansa di depan sementara yang lain duduk di kursi yang telah disediakan beserta meja dengan aneka makanan yang aku tak minat untuk mencobanya. Aku hendak duduk di samping Eric yang sedang berbicara dengan kakakku akan tetapi, Mama tetiba memanggilku ke kursinya yang penuh dengan jajaran orang penting. Aku tak suka berbincang dengan mereka yang hanya mementingkan ambisi dan target.
Namun, aku tak bisa menolak panggilan Mama. Jadi, aku memutuskan untuk berbalik badan dan menghampirinya yang sedang bersulam bersama Papa dan orang penting di lingkaran mejanya, "Olivia, come and sit down next to me," Papa menawarkan aku untuk duduk di kursi kosong yang ada di sebelahnya. Aku menggelengkan kepala karena aku tak tertarik untuk duduk dan berbincang akan tetapi, bola mata Papa melotot sehingga aku tak bisa menolak perintahnya. Sialan!
"Ini adalah putriku, Olivia. Dia merupakan anak ketiga dan akan bekerja untuk memimpin salah satu anak perusahaan Carter." Aku melotot terkejut, bukankan seharusnya Lewis dan Dave yang mendapat tugas itu? Lagipula, aku tak tertarik dan tak tau bagaimana menjalankan sebuah bisnis.
Aku mencoba untuk bersikap tenang dan mencerna setiap ucapan papa, "Yayasan Pendidikan saja, Henry. Olivia tak akan menyukai dunia yang dia tak pernah lahir di dalamnya," ucap Mama sembari meneguk segelas whiskey dengan santai.
"Ya, aku melupakan bagian itu. Jadi, kau akan mengajar menggantikan ibumu dan mereka adalah partner kerjamu di kampus." Aku memandangi ke arah mereka yang wajahnya sudah mulai berkeriput, aku rasa tak ada yang seusia denganku. Akhirnya, aku mendapatkan kabar bahagia. Mengajar adalah impianku sejak dulu dan aku tak perlu waktu lama untuk itu.
Aku merasa butuh diculik sehingga aku menghubungi Gabriel. Aku tak suka berada dalam lingkaran jajaran para tetua. Aku ingin berpesta bersama dengan yang lain terutama Eric. Gabriel adalah adik kesayanganku, dia selalu ada disaat aku membutuhkannya. Dia pun tak tau tentang Eric. Aku hanya mengatakan bosan berada disini dan aku ingin dia beralasan untuk mengajakku pergi dari lingkaran ini.
"Papa, hi. Papa tau ada salah satu temen aku yang dianiaya dan dia butuh kak Oliv untuk konsultasi sekaligus meminta bantuan hukum. Bolehkan ku culik tuan Putri sebentar?" pinta Gabriel lirih, meskipun begitu aku masih bisa mendengar suaranya.
"Kau selalu datang dan menginterupsi, Gabriel. Baiklah, dia boleh pergi." ucap Papa mengizinkan. "Jangan lupa uangnya, yah." Aku menepuk keras pundaknya karena dia selalu memintaku uang setiap kali dia membantuku untuk melarikan diri.
"Kak Oliv! Aku bilangin ke papa sama mama kalau kakak sebenarnya udah punya pacar, kan?" Gabriel menggodaku dan aku tak bisa menebak apa yang ada di pikirannya. "Jangan bicara aneh-aneh Gabriel. Ini uangnya..." aku menyerahkan sejumlah uang yang ada di dompetku. Aku jarang sekali membawa cash. Aku selalu melakukan pembelian dengan kartu kredit maupun debit.
Aku meminta Gabriel menjauh dari hadapanku. Aku ingin menemui Eric yang sudah menungguku di luar gedung. Dia ingin membicarakan hal penting di cafe karena dia tak nyaman berbicara di tengah keramaian. Akupun tak ingin berbicara di tengah ruangan yang penuh dengan tamu dan suara. Mereka bisa berpikir aneh-aneh. Aku menuju ke pintu masuk dimana dia sudah menungguku disana.
"Aku ingin memberitau seluruh dunia bahwa kau adalah milikku, Olivia. Namun, aku tak siap untuk itu," katanya sembari berjalan keluar. "Kenapa kamu mengikuti kami?" tanyaku kepada salah satu pengawal mengikuti di belakangku. "Atas perintah ayah anda, nona. Saya tidak ingin anda sendirian." jawabnya dengan bahasa formal.
"Aku sedang tidak sendirian. Eric adalah sepupuku dan dia pasti akan menjagaku. Kami akan pergi sebentar jadi, kau tak perlu ikut."
"Baiklah," jawabnya patuh.
Aku dan Eric ingin berjalan menyusuri sepanjang jalan dimana kita selalu ngobrol bersama. Kami mengunjungi tempat-tempat yang menjadi tempat persembunyian kami ketika pacaran. Kami mengulangi saat dulu dan bersenang-senang. Untungnya, orangtuaku tak mencari, aku tak suka berada dalam acara pesta formal lebih lama. Dan sialnya, pesta di kapal pesiar akan jauh lebih formal karena hanya orang penting yang diundang.
"Aku masih tak mengerti mengapa kau mengatakan tentang memberitau hubungan kita di seluruh dunia?" Aku menatapnya yang sedang fokus menikmati makanannya. Dia mengangkat dagunya, "Aku tak ingin berkeluarga, Olivia. Aku tak siap, aku tak bisa. Aku tak ingin kau terluka." Jantungku terasa tertusuk oleh satu panah, masih berdetak akan tetapi, cepat seolah telah kehilangan waktu untuk berdetak.
"Apa maksudmu?" Aku masih mencoba mencerna kalimatnya, "Aku tak siap untuk berkeluarga, Olivia. Jadi, apa tidak sebaiknya kita berpisah?" Dia menatap mataku penuh dengan rasa bersalah. Aku mengerti sekarang mengapa dia tak melamarku selama 2 tahun terakhir. Dia selalu mengatakan ingin fokus terhadap karirnya padahal keluarga kami sudah pasti setuju.
"Aku tak ingin berpisah, Eric. Walau apapun yang terjadi, aku masih mencintaimu. Siap atau tidak siap itu adalah resiko, kan? Kau tidak bisa pergi begitu saja jika kau tak ingin menyakitiku!" tegasku kepadanya.
"Baiklah, berikan aku waktu...kau tidak akan menolaknya, kan?" Dia bertanya dengan nada khawatir. "Jangan berpikir semua perempuan sama seperti Anastasia." Aku tertawa kecil mengatakannya. Aku masih ingat ketika Anastasia menolak lamarannya dan memutuskan untuk menikah dengan kakakku, Lewis.
Sylvie Anastasia Grey telah mematahkan hatinya, memutus harapannya dan membuat dunianya sejenak hancur. Aku hadir tepat waktu, menjadi obat bagi hatinya yang terluka. Waktu itu aku hanya mencoba menjadi teman dan sepupu yang baik. Aku sendiri juga tak mengerti alasan dibalik pernikahan Anastasia dengan kakakku padahal Eric dan Ana sudah berpacaran kurang lebih selama 3 tahun. Sementara, Lewis hanya mengenal Anastasia ketika dia mengisi sebuah seminar di kampus.
Setelah sejenak berbicara dan berjalan bersama sampai tengah malam, kami kembali untuk menginap di salah satu hotel dekat dengan pelabuhan dimana kapal akan berangkat besok jam 9 pagi. Para tamu menginap disini untuk pesta besok. Aku ingin tidur sendiri akan tetapi, si bungsu kesayangan Mama Papa tidak bisa tidur sendiri.
"Kak Oliv, darimana aja?" Isabella sudah duduk dengan santai tanpa rasa berdosa di atas ranjangku. "Aku udah nungguin, kak. Mama tadi usir aku dari kamar dia..." ucapnya memelas. Aku tak suka melihat wajahnya memelas.
"Bella, kamu tuh udah dewasa loh masih aja minta ditemenin kalau tidur. Tidur sendiri lah kan kamar kamu nganggur. Oh ya udah!" pikirku karena aku punya ide untuk tidur di kamarnya saja. Aku mengunci pintunya dari depan dan dia berteriak. Aku meninggalkannya dan masuk ke kamar Bella untuk istirahat.
Keesokan paginya, aku terbangun dengan pemandangan laut dan langit yang cerah. Aku memakan sarapan yang telah disediakan. Lalu, mandi di bathtub sembari meminum anggur merah menikmati pemandangan ombak laut yang tenang. Aku bersiap dan tepat satu jam sebelum acara aku selesai bersiap lalu, keluar kamar untuk menuju ke kapal tanpa memperdulikan Bella.
"Olivia! kamu apain Isabel semalam!" Mama memarahiku di lobi sementara, Isabel bersembunyi di belakangnya dan air matanya mengalir. Astaga anak kecil ini! Padahal usianya sebentar lagi 19 tahun, astaga, masih seperti anak kecil saja.
"Mama kan tau aku gak suka tidur sama orang lain," jawabku polos, "But, you sleep with a stranger guy which stumble to your room, kan Olivia?" Aku hanya bisa tertawa mendengar ucapannya. "Ya udah kakak minta maaf ya, Bells. Semalem cuma bercanda kok. Kamu minta apa?" Seketika wajah si bocil berubah menjadi bahagia dan tersenyum.
"Gak banyak, dikasih nilai A aja di matkul yang kakak ajarin, yah." pintanya sembari memasang wajah memelas. Aku mengangguk santai dan Isabel cukup puas dengan jawabannya. Dia kembali ke kamarnya untuk bersiap.
"Kamu jangan menghancurkan malam Mama sama Papa dong! Malam ini kamu tidur sama dia. Dia gak mau tidur sendiri dan Mama juga gak mau dia tidur di tengah kami." protes Mama kesal. Papa memang rajin kalau melakukan hubungan seperti itu. Buktinya, Mama sampai melahirkan 5 anak, hahaha. "Semalam Isabel gedor-gedor pintu?" tanyaku sembari berjalan di lorong hotel menuju elevator.
"Pelayan yang menelpon Mama sampai akhirnya Mama izinkan adik kamu tidur bersama kami. Ah Olivia!" Dia melirik ke arahku sinis. Terlihat dengan jelas raut wajahnya yang sangat tidak puas dengan semalam.
"Semua orang membicarakan tentang kamu kemaren, Olivia. Mereka mengatakan bahwa wanita secantik dirimu masih saja single dan tak punya pasangan. Mereka tertawa dan mengatakan setidaknya ada lelaki yang tertarik meskipun tujuannya hanya mengincar harta."
"Terus kenapa Mama bilang itu ke aku?" Dia menoleh ke arahku, "Supaya kamu tau saja. Mama tidak peduli dengan kehidupan cinta kamu. Itu adalah privasi kamu lagipula, pernikahan bukan hal yang mudah. Kamu sudah menjadi yang terbaik dengan menyelesaikan studi master di usia 23 tahun. Kamu sudah bekerja, memiliki karir dan uang sendiri. Kamu tidak butuh lelaki." Aku menciumnya dan tersenyum. Aku setuju dengan ucapannya meskipun aku mencintai seorang lelaki yang tak memberiku kepastian.
Aku menatap ke arah kapal pesiar yang cukup besar dan mewah. Para pengawal berjaga di pintu depan untuk menyambut para tamu. Papa terlihat menyusul dari belakang dan berbicara dengan salah seorang pengawal yang sempat mengikutiku kemaren.
To be continued...
