Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Chapter 5: New Evidence

Olivia

Aku tak terkejut semua orang akan memintaku untuk melupakan Eric. Sementara, aku masih mencari siapa yang membunuh Eric dan mana mungkin aku bisa melupakannya. Dan Mama benar bahwa aku tak bisa terjebak pada satu situasi dimana aku terus mengingat Eric. Aku memutuskan untuk tidak bekerja sendiri dan meminta Noah untuk mencari tau siapa yang membunuh Eric. Aku ingin tau apa yang terjadi malam itu.

Sepanjang perjalanan aku terus berpikir bagaimana caranya melupakan Eric. Apakah sebuah kenangan bisa hilang begitu saja tanpa sebuah pengganti? Aku rasa hati ini tak akan sembuh jika aku tak menemukan pria lain untuk dicintai. Masalahnya, aku tak siap untuk jatuh cinta sekarang. Ya, aku juga tak tau pria seperti apa yang harus ku cintai.

Aku pernah menjadi gadis yang beruntung karena dicintai oleh Eric. Pria tampan yang banyak wanita dambakan. Meskipun begitu, dia adalah tipe pria setia dan supportive. Dia selalu ada di sampingku, menjadi sandaran ketika aku lelah. Dia mencintaiku akan tetapi, dia selalu mengatakan tak siap melamarku karena trauma. Yah, aku memahami perasaannya dan membiarkan waktu menyembuhkan. Sampai akhirnya, dia melamarku dan harus tewas dalam kejadian mengerikan malam itu.

Aku terpaku di kursi kerjaku, tak tau harus melakukan apa. Aku merasa sedikit pusing dan bingung, aku terus memijat pelipis kepalaku. Aku tak pernah merasa seperti ini sebelumnya, apa karena aku tak tidur semalam? Tapi, sekarang merasa mengantuk pun tidak. aku mengabaikan rasa sakitku dan meminum painkiller untuk meredakan sakit kepalaku.

"Selamat pagi, Olivia. Senang melihat kamu kembali. Bagaimana keadaan kamu?" Cara masuk ke dalam ruanganku tanpa mengetuk pintu. Aku tersenyum tipis menyambut kedatangannya yang terlihat ceria.

"Gak tau, kepalaku rasanya sakit sekali." Keluhku kepadanya, "Due to stress, Eric udah tidur tenang disana. Sekarang waktunya kamu melanjutkan hidup dan mencari pasangan baru. Gimana kalau malam ini kita ke club, aku mau kenalin kamu sama seseorang." Cara memijat kepalaku dan mencoba menghiburku.

Mungkin dia benar, sejak tadi pagi aku terus memikirkan Eric. Terus berandai jika saja dia tak mati, meninggalkan aku di surga dunia sendirian maka, aku tak akan sendirian. Hatiku mungkin tak akan hancur dan hidupku juga akan tertata lebih baik. Namun, aku tak bisa terus berharap akan sesuatu yang tak mungkin. Dia sudah pergi, aku hanya perlu menerima dan merelakannya. Lalu, melanjutkan hidup tanpa melihat kilas balik ketika aku bersamanya.

"Aku tau, Cara. Aku tau, aku tak bisa merenungi kepergiannya atau mengharapkannya kembali. Itu tak mungkin..." Cara memelukku erat sementara, aku mengusap air mataku yang perlahan menetes. Aku tak menangis seperti kemaren. Aku mencoba untuk mengikhlaskan semuanya meskipun itu sulit.

Aku menerima ajakan Cara untuk pergi ke club malam ini. Sebetulnya, aku tak punya waktu akan tetapi, aku sudah setuju untuk bergabung dengannya. Aku menganggu diriku dengan membaca kasus, menganalisis kasus beserta pasalnya. Noah memeriksa ruanganku secara berkala. Dia khawatir ada penyusup yang tetiba masuk dan menyerangku. Aku bisa melihat tingkahnya yang aneh. Aku tertarik melihat senyumnya yang manis. Dia bahkan memesan makan siang untukku ketika aku tak sempat.

Dia beberapa kali menawarkan bahunya untuk jadi sandaran kala aku masih membutuhkan seseorang untuk bersandar. Aku menolaknya karena Cara sudah cukup membuatku merasa lega pagi ini. Sekilas dia mirip dengan Eric akan tetapi, rambut janggutnya jauh lebih sedikit. Dia memiliki hidung mancung dan tubuh atletis. Mata coklatnya berkilauan, aku masih mengingat ketika dia menatapku dalam malam itu di club. Jantungku berdetak tak menentu.

Aku tau aku hanya sekedar tertarik, aku tak bermaksud apa-apa. Dia beberapa kali memujiku dan aku pantas pula memujinya penampilannya yang lebih terlihat seperti boss besar daripada seorang pengawal. Namun, dia menjalankan tugasnya tanpa mengeluh sedikitpun. Dia menerima semuanya dan mencoba menghibur hati yang tak bisa ku sembuhkan malam itu. Ku pikir aku tak membutuhkan kehadirannya akan tetapi, aku merasa aman ketika berada dalam pelukannya semalam.

"Nona Olivia... Aku ingin tau mengapa Nona meminta saya untuk menyelidiki siapa yang membunuh Eric?" Dia menatapku bimbang.

"Panggil saja aku Olivia ketika kita sedang berdua, Noah. Aku lebih suka ketika kau memanggilku dengan namaku..." Dia tersenyum menyeringai mendengar perintahku. Aku menyukai senyumnya yang berbeda, terlukis indah. Entah mengapa aku menyukai wajah tampannya.

"Baiklah, Olivia. Aku juga lebih senang memanggilmu hanya dengan namamu."

"Kau pastikan saja menemukan siapa yang telah membunuh Eric. Aku hanya ingin tau mengapa mereka membunuh Eric..." Dia mengangguk paham dan mengatakan sesuatu akan tetapi, dering ponselku membuatku sedikit tak fokus.

"Halo, tante Sheena..." Jawabku pada telpon tante Sheena yang tetiba memanggilku. "Bisakah kamu datang malam ini ke rumah tante. Ada yang mau tante bicarakan sama kamu." Aku menatap kosong ke depan, tak siap jika harus mengingat tentang Eric. Di rumahnya, tempat dimana dia tumbuh dan menyempatkan hidupnya. Aku tak ingin mengingatnya lagi.

"Olivia? Kamu bisa, kan?" Tante Sheena mengulangi pertanyaannya karena aku tak menjawab sebelumnya. "Bisa tante, aku akan datang sekarang." Jawabku.

"Tante tunggu, ya." Dia pamit lalu, mengakhiri telponnya. Aku menaruh kembali ponselku ke dalam tas dan meminta Noah untuk memutar balik arahnya dan menuju rumah keluarga Ford.

"Noah, apa yang sempat kamu katakan? Aku tidak mendengarnya karena mengangkat telpon?" Tanyaku lagi.

"Apakah aku harus melaporkan penembakan Eric ke polisi?" Aku tertawa kecil, "Tidak, tidak perlu. Aku tak pernah percaya dengan mereka. Aku hanya perlu tau siapa yang sudah membunuhnya dan apa alasannya saja. Tak lebih tak kurang. Setelah itu, aku akan melupakannya." Dia terdiam sejenak dan fokus dengan setir mobilnya.

"Kau tidak akan melupakannya karena semakin dalam kau menyelam mencari kebenaran, hatimu akan lebih tersakiti. Kau sebaiknya membiarkan hatimu penasaran dan melupakannya." Aku menghela napas panjang sembari melihat ke sisi kanan jalan yang sedikit ramai, merenung sejenak.

"Ya, kau benar. Tapi, aku ingin tau untuk menjawab rasa penasaranku. Masalah aku sakit hati atau tidak itu urusan nanti." Jawabku.

"Baiklah, jika itu yang kau inginkan. Aku akan menemukan bukti dan orangnya." Jawabnya tegas, "Dan jangan terkejut jika kau menemukan siapa yang telah membunuhnya." Aku mengerutkan dahiku dan bertanya-tanya apakah dia tau kebenarannya?

"Apa kau sudah tau semua kebenarannya?" Tanyaku penasaran karena raut wajahnya cukup mencurigakan. "Tidak, Olivia. Aku akan mencari kebenarannya untukmu. Jika aku tau, aku pasti akan memberitaumu..." Jawabnya cukup menyakinkan kali ini.

Aku harap dia menemukan orang yang membunuh Eric dan Gabriel. Dan Alessa, entah mengapa Brian menembaknya, Papa mengatakan bahwa Brian merupakan anggota Maxwell. Jika benar, mengapa dia harus menunggu 3 tahun hanya untuk melukai Alessa dan bukannya mencoba membunuhku secara langsung? Dia seharusnya membunuhku karena itu akan lebih mudah. Dia memiliki akses dan dia tau semua jadwalku.

Kecuali, jika dia jatuh cinta dan menyatakannya atau mungkin jika dia memiliki hubungan spesial denganku, dia akan menunda untuk membunuhku. Namun, Brian sama sekali tak memiliki hubungan spesial, kami bahkan jarang bicara. Dia adalah tipe pengawal yang tegas dan pendiam. Dia melaksanakan perintah dengan baik dan aku sama sekali tak pernah mencurigainya ketika dia menjadi pengawalku selama 3 tahun terakhir.

Aku memikirkan sebuah teori mungkin saja Brian diperintah oleh seseorang. Tapi, mengapa harus Alessa yang menjadi targetnya? Atau mungkin saja ketika itu tembakan Brian meleset mengenai Alessa. Apa dia tak punya strategi sebelum membunuh seseorang? Aku benar-benar penasaran dengan perbuatannya. Mengapa dia melukai Alessa? Mengapa Lewis menembaknya spontan tanpa mengajukan pertanyaan tentang latar belakang Brian melakukan semua ini?

Lamunanku terbangun meskipun masih melekat dalam kepalaku tentang teori Brian yang ku bangun. Noah membuka pintu mobilnya dan aku keluar untuk masuk ke dalam rumah Ford. Aku menghela napas panjang dan menguatkan diriku dari dalam. Aku melangkah perlahan dan mengetuk pintu rumah. Salah seorang pelayan membuka pintunya dan mempersilahkan aku masuk.

Aku duduk di sofa ruang tamu sembari menunggu kehadiran tante Sheena yang masih mandi. Aku menelpon Cara dan membatalkan pertemuannya karena pertemuan dengan tante Sheena ku rasa lebih penting daripada berpesta di club. Aku sedikit bosan minum dan mabuk serta melihat keramaian berpesta dan mengangkat tangan sementara, aku masih merasa kesepian tanpa kehadiran Eric.

Ya, meskipun sesekali aku merasa terlena dan bergabung dengan yang lain untuk berpesta akan tetapi, hari ini rasanya tak begitu menarik. Tante Sheena menghampiriku dan dia menata rambutnya yang terurai. Dia mengajakku ke ruangan kerjanya yang ada di lantai atas. Kami naik ke elevator bersama lalu, berjalan di lorong melihat pemandangan ruangan sama seperti di rumah Papaku. Aku tak terkejut, desain rumah ini hampir mirip desain rumah Papaku akan tetapi, rumah ini memiliki ruangan aula yang cukup besar di lantai 3.

"Kamu duduk aja dulu. Oh ya kamu mau makan apa? Sama minum apa? Maaf, tante lupa nawarin kamu.." Aku duduk di depan meja kerjanya sementara, dia sibuk mencari sebuah dokumen sembari menawari aku makan dan minum.

"Air putih aja, tan. Tadi, aku dah makan kok pas perjalanan kesini." Jawabku.

Setelah dia menemukan dokumen yang dia cari. Dia menuangkan air putih dari meja sebelah dan mengantarkannya kepadaku. Aku merasa sedikit merepotkannya. Aku meminumnya sedikit dan melihat dia yang masih sibuk membuka satu per satu kertas dokumennya sembari membacanya.

"Ini adalah gambar peluru Eric yang tidak mengandung racun. Peluru ini adalah senjata yang diperdagangkan keluarga Carter. Tante tau... Tante pernah salah akan tetapi, tak seharusnya mereka membunuh Eric dengan keji..." Tante Sheena menangis sembari menunjukkan foto peluru serta senjata yang ditemukan di tempat kejadian.

"Apa ada bukti lain? Kamera pengintai atau sejenisnya?" Tanyaku karena siapapun bisa memakai senjata ini yang diperdagangkan secara illegal ke luar maupun dalam negeri.

"Eric dibunuh di lorong, yah lorong kapal memang memiliki kamera pengintai akan tetapi, kamar pribadi tidak memiliki kamera pengintai..." Jelasnya sembari mengusap air matanya. Aku mengerutkan dahiku heran. "Maksud tante?"

"Eric di tembak melalui salah satu kamar yang letaknya tepat berada di depan kamarmu. Jadi, siapa yang menembak sama sekali tak terekam. Tante yakin bukan Maxwell yang membunuh Eric..." Ucapnya dramatis akan tetapi, dia tak menuduh secara langsung keluargaku yang telah membunuh Eric.

Perselingkuhan Papa dan tante Sheena terjadi 26 tahun yang lalu. Apa mungkin Mama masih memiliki dendam terhadap tante Sheena? Padahal selama ini mereka selalu tampil baik di hadapan publik. Aku tak yakin Mama masih menyimpan dendam terhadap kejadian 26 tahun yang lalu. Tapi, Mama juga mengatakan ketidaksetujuannya terhadap hubunganku dan Eric.

Mama bukanlah orang seperti Papa yang bilamana tak menyetujui hubungan seseorang maka, dia akan membunuh salah satu pasangannya. Mama juga sempat mengatakan terserah aku karena Eric telah menjadi pilihanku. Aku melihat video di kamera pengintai untuk melihat siapa yang telah membunuh Eric. Aku melihat tangan sedikit berotot dan tangannya memiliki kulit yang masih kencang, aku bahkan memperbesar ukurannya untuk melihat bentuk kulitnya yang masih belum mengerut sama sekali.

"Kulit pembunuh ini masih belum berkerut, artinya pembunuhnya masih muda. Dia juga memiliki tangan yang sedikit berotot. Lihatlah jari-jarinya yang kuat seperti milik seorang lelaki." Jelasku menunjukkan dengan detail kepada tante Sheena.

"Dia mungkin hanya pemain pembantu, masih ada dalangnya. Dia tak mungkin melakukannya sendirian." Ucap tante Sheena berkomentar. Dia sepertinya yakin bahwa keluargaku yang telah membunuh Eric. Aku tak suka bila keluargaku dituduh karena akan mencemarkan nama baik keluargaku. Aku tak suka jika nama baik keluargaku di cemarkan di depan umum bahkan jika itu benar mereka memang melakukan pembunuhan.

"Aku akan menyimpan barang bukti ini. Dan aku sudah meminta Noah untuk menyelidiki kasusnya lebih lanjut. Jika ada informasi terbaru, aku akan menelpon tante Sheena." Aku menyalin videonya ke ponselku serta mengambil beberapa gambar yang ada di dokumen tante Sheena.

Aku juga akan melihat pembelian serta penjualan senjata sejenis di kantor besok. Aku akan memeriksa setiap pembeli dan tanggal penjualan secara detail. Namun, jika pembunuhnya adalah salah satu anggota keluargaku maka, pencarianku akan sia-sia. Dan aku akan menghadiri sidang besok jadi, aku akan meminta Noah untuk memeriksa gudang persenjataan serta transaksi penjualan dan pembelian.

Aku tak sepenuhnya percaya kepadanya sehingga, aku meminta detektif keluarga, Luigi untuk menemaninya. "Apakah kamu yakin pergi bekerja sendirian besok?" Dia bertanya dengan nada khawatir.

"Noah, aku belajar bela diri selama bertahun-tahun. Aku tau bagaimana caranya menggunakan senjata api. Jadi, kau tidak perlu khawatir. Aku akan baik-baik saja." Kataku.

"Baiklah," ucapnya pasrah.

Malam ini cukup membuatku sibuk. Papa meminta untuk bertemu di ruang kerjanya. Dia mengatakan ada hal yang penting. Namun, aku meminta untuk bertemu besok malam saja karena aku sudah setuju dengan permintaan seseorang. Untungnya, Papa tak buru-buru untuk bertemu. Aku suka menikmati pemandangan malam sepi nan gelap serta menenangkan. Sepanjang perjalanan Noah bercerita tentang banyak hal.

Salah satunya, dia mengagumiku dan merasa berbeda ketika berada di dekatku. Dia ingin lebih dekat dan merasakan sesuatu yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Aku tak bisa menolak, mana mungkin? Dia terlalu tampan dan menawan untuk ku tolak. Caranya mencium bibirku membuatku merasa berbeda seolah aku tak pernah merasakan hal ini sebelumnya.

To be continued....

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel