Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Chapter 7: Misteri

Olivia

Aku tak menyangka akan menerima undangan Noah, tersandung di pelukannya dan tidur bersamanya. Ya, sudah lama aku dan Eric tak melakukan hubungan seperti semalam. Kami bertemu setelah satu bulan berpisah. Dia melamarku dengan indah lalu, meninggalkanku di surga sendirian. Aku menutup rapat hatiku, tak mengizinkan siapapun. Namun, Noah telah mengambil hatiku sejak malam dimana dia memelukku erat, mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Dia datang seolah harapan yang membawa tujuan. Aku yang sudah hilang di jalanan akan kegelapan, dia datang membawa secerca cahaya berupa tujuan yang membawaku kembali kepada hidup. Meskipun aku sempat mencurigainya akan tetapi, suaranya jauh lebih menggoda. Aku tak yakin dia akan membunuhku?

Aku tetap berhati-hati dan mencari profil aslinya. Tak ada yang mencurigakan, semuanya baik dan sekarang dia sedang mencari bukti penjualan dan pembelian serta berada di gudang. Dia sempat menolak karena khawatir terhadapku. Tapi, ku rasa aku akan baik-baik saja. Meskipun Maxwell akan membunuhku, aku selalu menyiapkan pistol di dalam celanaku. Mereka tak akan bisa membunuhku semudah itu.

Mereka sudah membunuh adikku, Gabriel. Dan akupun akan mengejar mereka, tak akan ku biarkan mereka hidup. Aku akan membunuh siapa saja yang telah membunuh Gabriel. Aku sudah meminta papa untuk memberikan informasi jika mereka menemukan pembunuh Gabriel. Namun, sampai hari ini tak ada informasi apapun, mereka melanjutkan hidup seolah semuanya baik-baik saja.

Atau ku pikir mereka ingin berdamai karena Papa memiliki sejarah telah membunuh Andrian dan Nathan, dua sejoli anggota keluarga Maxwell yang mencintai adiknya dan istrinya sendiri. Aku yakin Maxwell masih hidup dan mereka sedang menghantui kami. Jika aku bertemu dengan pembunuhnya maka, tidak akan ku maafkan mereka.

"Selamat pagi, Olivia. Kau terlihat melamun saja akhir-akhir ini." Farya, asisten pribadiku membangunkan lamunanku. "Ada apa, Farya?" Aku mengangkat alisku sebelah sembari menatapnya serius, "Tuan Dave mengundang anda dalam makan siang di restoran Canovil. Dia menunggu jam 1 siang." Aku mengangguk pelan.

"Jika tidak ada yang penting, kepalaku sedikit sakit. Aku ingin beristirahat." Kepalaku tetiba terasa sakit. Sejak keluar dari rumah sakit, aku merasa tak sehat. Aku sudah tidur sesuai dengan jadwal dan teratur, memakan makanan sehat dan rutin. Aku bukan orang yang suka melewatkan makan seperti Bella. Aku juga olahraga pagi ditemani Noah, aku menyukai lebar bidang dadanya yang sangat mengangumkan.

"Anda sedang sakit kepala atau sedang bahagia?" Farya menatap wajahku, dia pasti melihat aku sedang tersenyum ketika mengingat bentuk tubuh Noah yang atletis dengan brewok di tipis. Hidungnya yang mancung dan memiliki tahi lalat kecil di sebelah kanannya. Aku sangat menyukai ketampanannya.

"Yah, sedikit sakit kepala.." kataku spontan merubah raut wajahku, "Nyonya Celine mengadakan rapat jam 10 pagi." Aku mengerang keras karena jika Mama sudah mengadakan rapat maka, sampai besok pun tidak akan selesai. Dia melakukan evaluasi terhadap pekerjaan kami dan aku benci itu. Dia juga sering mengalihkan kasusnya kepada orang lain atau meminta orang lain menerima kasus yang seharusnya dia tangani.

Dia sangat menyebalkan! Dia akan menyempatkan waktunya untuk berada di kampus atau di kantor papa. Yah, wajar saja seperempat saham perusahaan adalah miliknya, dia cukup sibuk dengan banyak pekerjaan. Aku menelpon Lily untuk bertemu besok sebelum menghadiri rapat. Aku tidak tau mengapa setiap pagi aku merasa tetiba pusing. Aku ingin tetap sehat sehingga aku perlu menghubungi dokter sebelum pingsan.

Setelah rapat yang panjang. Aku menemui Dave tepat jam 1 siang, aku terlambat 15 menit dan Dave sudah duduk sendirian menunggu kedatanganku. Aku menghampirinya lalu, duduk di depannya. Dia tampak serius ketika aku datang terlambat. Dia melambaikan tangan kepada pelayan dan memesan makanan dan minuman untukku tanpa bertanya aku ingin makan apa.

"Kok gak tanya dulu?" Dia menutup menu restoran dan mengembalikannya kepada pelayan.

"Kebanyakan wanita jika ditanya kamu mau makan, jawabnya terserah. Jadi, aku gak perlu basa-basi sama wanita." Aku menatapnya sinis, "Ya udah, terserah." ucapku.

"Kan, dahlah ribet punya adik satu ini."

"Adik kamu gak cuma satu, Dave. Kamu mau ketemu ada apa?" tanyaku penasaran.

"Kenapa kamu meminta Luigi untuk memeriksa penjualan dan pembelian? Aku melihat dia mencari dokumen di gudang. Aku agak tersinggung karena dia tak meminta izin. Pembelian dan penjualan adalah sektorku, Olivia. Kau harus mendapatkan izin untuk memeriksa dokumen." Dia menatapku serius sembari meneguk tehnya.

"Ketahuilah posisimu. Kau sedang tidak menjabat jadi, aku berharap lain kali kau meminta izin terlebih dahulu." Dia menambahkan.

"Akan aku lakukan." jawabku singkat. Aku tak tahan menghadapinya setelah apa yang dia ucapkan. Semalam aku meminta Luigi dan siang ini dia sudah memperingatkanku.

"Bagaimana kabarmu? Kau terlihat pucat hari ini?" Aku mengangkat daguku, "Aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu?" tanyaku kembali.

"Aku merasa lebih baik setelah Alessa kembali sehat. Kakaknya baru saja melahirkan dan dia berada di Melbourne kemaren, dia masih belum kembali." jawabnya sembari meneguk teh.

Aku tak begitu tertarik berbicara dengannya. Dia merendahkan aku, saudaraku sendiri merendahkan aku. Dia mengingatkan tentang posisiku yang bukan siapa-siapa di perusahaan. Aku memang menolak jabatan yang Papa tawarkan dan memilih bekerja sebagai pengacara untuk membantunya. Dia memang benar, aku memang sedang tidak menjabat jadi, meminta izin kepadanya begitu penting.

"Makanannya sudah datang, mengapa tidak menyentuhnya?" Aku tak menghiraukannya karena kepalaku tetiba sakit sekali. Aku tak tau apa yang terjadi akan tetapi, aku merasa sangat tidak baik. "Olivia, kau baik-baik saja?" pandanganku mulai kabur dan aku tak tau apa yang terjadi setelahnya. Aku mendengar teriakan Dave memanggil namaku sebelum kesadaranku sepenuhnya hilang.

Aku tak suka berada di rumah sakit dan aku terbangun disini sesuai dengan yang ku pikirkan. Aku memegangi kepalaku yang masih terasa sakit. Aku memegang perutku juga tetiba terasa nyeri. Aku sama sekali tak mendapatkan penjelasan dari dokter sebelumnya. Mereka mengatakan aku sempat tertembak dan mungkin aku mengalami masa koma selama tiga hari. Tapi, mereka mengatakan aku hanya tertidur.

Kepalaku rasanya hampir pecah, aku tak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Sejak tertembak di kapal dan keluar dari rumah sakit, aku sering sekali mengalami sakit kepala tanpa alasan yang jelas. Apa mungkin efek dari racun masih ada di tubuhku? Tapi, mana mungkin? Dokter sudah pasti membersihkannya. Aku mencoba kabur dari sini dengan mencabut infus yang melekat di tanganku.

"Ahhh sakit sekali!!!" teriakku lirih sembari membuang infusnya. Aku mencoba berdiri dan keluar dari ruangan ini. Aku memakai jasku dan mengambil tasku lalu, keluar. Untungnya, Noah tidak bekerja jadi, tidak ada yang menjagaku hari ini. Astaga!!! kepalaku rasanya sakit sekali. Aku tidak suka bau rumah sakit, baunya begitu menyengat dan aku tak ingin di rawat. Dave benar-benar berlebihan.

"Olivia! Apa yang kau lakukan!" Noah menangkapku yang hampir terjatuh karena pandanganku mulai kabur. Dokter dan sekelompok susternya hadir membawa kursi roda. Astaga! mengapa mereka harus menangkapku lagi. Mereka membawaku ke ruang yang sama, mengganti bajuku lalu, menyuntikkan kembali infusnya. "Ahhh! pelan-pelan!!" kataku sembari meringis kesakitan.

"Kau tidak diizinkan untuk pulang, Nona Olivia Ivanova Carter yang terhormat." Suara itu terdengar tak asing. Aku membuka mataku dan melihat Oma ada di hadapanku. Aku menjerit berteriak di dalam hati karena harus bertemu dengannya. "Kenapa kau mencoba untuk kabur? Ruangan ini sudah diberi pewangi agar baunya tak seperti bau obat dan kamar lainnya. Sekarang istirahatlah dan setelah kau pulih kau bisa kembali." Dia tersenyum sembari membelai wajahku.

Aku tak suka sikap manisnya, aku tidak suka ditahan di tempat ini. Aku tak terbiasa! Aku tak bisa. Meski ruangan berbau bunga sekebun sekalipun aku tidak peduli, aku tak ingin dirawat disini. Aku lebih suka perawatan jalan oleh karena itu, aku membuat janji dengan Lily. Namun, entah mengapa aku harus pingsan tadi siang tepat sebelum aku menyentuh makanannya. Sekarang aku merasa lapar dan nenekku yang sangat perhatian dan mengatur pasti akan memberiku makanan rumah sakit.

Aku menangis bahkan sebelum makan malam tiba, "Ada apa Olivia? Mengapa kau menangis?" Aku benci harus berpura-pura. Aku sudah cukup lelah dan tetiba mendengar ucapan Dave yang mengingatkan aku bahwa aku bukanlah siapa-siapa. Aku berpikir mengapa kakakku sendiri harus memperingatkan aku. Apakah aku ini tidak berharga? Apakah aku harus memiliki jabatan untuk memeriksa data di gudang?

Oma pasti tidak akan pergi. Dia akan tetap disini dan mengawasiku. Seharusnya aku tidak melewati lorong itu. "Olivia, kamu ngomong ada apa?" Dia terus bertanya sementara aku mencoba mengusap air mataku dan berhenti menangis. Entah mengapa aku begitu tersinggung dengan ucapan Dave padahal memang benar adanya. Dia sangat profesional sekali, aku bukan Bella yang tidak tau tentang bisnis gelap keluarga ini. Aku tau dan dia seharusnya percaya kepadaku.

"Oma keluar aja, aku mau istirahat." kataku.

"Kamu harus makan dulu sebelum tidur. Biar kamu punya tenaga, Dave bilang kamu belum sempat makan sejak tadi siang." Dia membuka makanan yang disajikan oleh perawat. Melihatnya saja aku sudah merasa tidak berselera untuk makan. "Olivia tidak akan menyukainya. Dia hanya butuh istirahat dan Mama harus mengizinkan dia untuk istirahat."

"Dan biarkan aku yang mengurusnya." Aku menghela napas lega karena Mama akhirnya datang untuk menyelamatkan aku dari Oma Natalie. "Baiklah, Celine. Jaga dia baik-baik. Aku akan pulang." Dia menaruh kembali makanannya di atas meja. Dia mencium keningku lalu, keluar dari ruanganku.

"Farya mengatakan kau sudah membuat janji dengan dokter Lily. Apa yang terjadi?" Mama duduk di kursi yang ada di sampingku. "Aku tidak tau, kepalaku suka merasa sakit tiba-tiba tanpa sebab yang jelas. Aku hanya ingin memeriksa apakah semua baik-baik saja atau tidak." jawabku.

"Lalu?" Dia mengernyitkan dahinya, "Lalu, ya aku bertemu Dave dan kami berbicara lalu, tetiba kepalaku terasa lebih sakit dan pandanganku kabur tetiba. Kesadaranku hilang dan aku berakhir disini seperti biasa. Apa lagi?" Dia hanya mengangguk mengerti.

"Dave ngomong apa ke kamu kalau boleh Mama tau?" Aku tak menjawabnya dan mengganti dengan pertanyaan lain, "Mengapa dokter Lily tidak mengatakan kepadaku aku sedang sakit apa?" Aku menatapnya serius.

"Kamu akan baik-baik saja, sayang. Kamu hanya perlu istirahat. Seharusnya kamu tidak bekerja dulu setelah kembali dari rumah sakit. Kamu harus istirahat lebih banyak agar tubuh kamu benar-benar pulih." Aku tersenyum merespon jawabannya yang terdengar sangat tidak nyambung dengan pertanyaanku.

"Aku tidak akan beristirahat tanpa tau bahwa penyakitku beresiko atau tidak dan tanpa kejelasan seperti ini." tegasku.

"Ya udah kamu makan ini dulu." Mama membawa rantang makanan. Masakan rumah tercium lebih enak dan lezat daripada masakan rumah sakit. "Mama masak sendiri, kah?"

"Iya, kamu gak pulang tadi pagi. Ini diangetin sih tadi. Gimana enak gak?" Aku mengangguk sembari mengunyah makanannya. Kalau soal masakan mama mah gak usah ditanya sudah pasti rasanya enak. Mama suka masak sejak masih muda.

"Tangan kamu juga kenapa diperban?" Oh sejak tadi pagi baru Mama yang nanya kenapa tangan aku diperban. "Gapapa. Nanti juga baikan." jawabku singkat. Aku tak ingin Mama tau kalau aku belajar memasak dengan Noah di hotelnya.

"Malam ini Mama gak bisa nemenin kamu karena Mama mau istirahat. Ada Noah di depan, kamu tinggal panggil dia atau Farya nanti kesini buat temenin kamu." Mama mencium keningku dan dia belum sempat mendengar apa yang Dave katakan kepadaku.

"Hi, maaf tadi aku gak sempet jemput kamu." Noah menghampiriku dan mencium telapak tanganku. "Kamu dimana aja tadi siang?" tanyaku kepadanya. Aku sempat mengirim chat kepadanya untuk menjemputku karena aku tak tertarik berbicara dengan Dave.

"Dave tidak mengizinkan Luigi untuk memeriksa berkasnya. Luigi harus meminta izinnya terlebih dahulu. Dia mengatakan tak ingin dibantu jadi, aku bergegas menjemput kamu."

"Oh...Kapan kamu datang kemari?" tanyaku lagi.

"Aku baru saja datang ketika kau mencoba melarikan diri. Ada urusan yang harus aku selesaikan." jawabnya. "Urusan apa?" tanyaku penasaran.

"Itu tidak penting, Olivia. Aku hanya keluar sebentar dan berbicara dengan seorang teman. Lalu, aku bergegas kemari." jawabnya mencoba menyakinkan aku. Aku percaya kepadanya untuk sementara. Aku tak tau dia berbohong atau jujur.

"Tidurlah..." Dia memelukku dan membelai rambutku. "Bisakah kau membaca RM ku, aku butuh tau apa yang terjadi kepadaku." Bisikku kepadanya. "Apa dokter tidak mengatakan kau sedang sakit apa?" Aku menggelengkan kepala pasrah.

"Kau bisa bertanya kepada dokter pribadimu mungkin dia akan menjawab." Dia menyarankan. Aku menggelengkan kepala, "Tidak, Lily tidak akan mengatakannya karena dia sudah melaporkan hasilnya kepada Mama dan Papa." jawabku.

"Aku tak yakin dia mau terbuka. Aku benar-benar ingin tau apa yang terjadi denganku." Aku mulai memelas dengannya agar dia mau melakukan sesuatu untukku. "Baiklah, sayang. Aku akan mencarinya besok. Dimana file itu disimpan?"

"Kalau tidak salah RM spesialis dalam ada di ruang bawah tangga dekat poliklinik spesialis dalam. Tangga kiri poliklinik, ada ruangan disana. Kau bisa memeriksanya nanti jam pagi." Dia mengangguk patuh dan lanjut membelai rambutku sampai aku tertidur.

Aku tidak suka jika harus terbangun karena perawat harus menyuntikkan obat tidur padahal aku sudah tertidur nyenyak. Noah masih ada di sofa sebelah dan mengawasiku. Dia tampak pusing karena aku terlalu memintanya melakukan banyak hal.

To be continued...

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel