Chapter 4: New Job
Noah
Aku merasa hidupku sia-sia karena menunggu di pojok pintu untuk kedatangan Henry Carter dan putrinya. Olivia Ivanova Carter yang terkenal tegas dan judes. Olivia yang bekerja sebagai advokat sekaligus dosen, ku dengar dia tak pernah memberi ampun kepada mahasiswanya yang melakukan kesalahan. Aku sempat bertemu dengannya beberapa kali bahkan menyelamatkannya waktu itu.
Olivia memang tak pernah menyapa orang yang bekerja di rumah ini. Dia jarang terlihat di rumah ini tak seperti adiknya, Isabel yang selalu berkeliaran dan pulang malam sampai aku bosan mendengar Celine memarahi Isabel setiap hari. Aku pun tak suka menjadi pengawal Isabel. Aku selalu disalahkan karena mengantarkannya ke club dan membiarkannya mabuk. Tugas tambahanku adalah mencegahnya pergi ke club dan mabuk dan aku tak sanggup untuk itu.
Lagipula, bukan itu tujuanku yang sebenarnya. Sehingga, aku memutuskan untuk berpindah tugas. Syukurlah, Henry mengizinkanku dan tak curiga kepadaku. Jika dia ingin mempertemukan aku dengan Olivia maka, sudah ku pastikan aku akan menjadi pengawal pribadinya setelah kematian Brian. Aku sedikit bosan berada disini, kakiku juga terasa sedikit pegal karena terlalu lama berdiri disini.
Ku dengar tanda dari luar pintu bahwa Henry sudah datang, aku membuka pintunya. Dia dan putrinya yang berjalan anggun memasuki ruangan kerjanya. Henry terlihat sangat bangga dengan putri kesayangannya. Bagaimana tidak, Olivia memiliki kekuatan dalam bisnis gilanya. Olivia bisa dengan mudah membasmi tikus yang ada dalam organisasi ayahnya, dia begitu kuat sampai tak ada yang bisa menaklukan kekuatannya.
Beberapa orang sudah di kirim untuk mendekati dia dan memanipulasinya serta membunuhnya. Namun, tak ada yang berhasil, dia memang tak pernah mengotori tangannya dan Brian selalu melakukan perintahnya. Aku tak pernah tau kisah cintanya seperti apa sehingga dia tak tertarik dengan lelaki manapun. Aku penasaran dengan benteng apa yang menjaga hatinya hingga begitu kuat. Tak ku sangka dia juga ahli menggunakan senjata dan bela diri. Dia belajar dan tau tentang hukum sehingga semakin mudah bagi ayahnya untuk menyembunyikan bisnis gelapnya.
Ya, keluarga Carter terlihat seperti keluarga biasa tanpa dosa. Mereka adalah orang taat hukum dan membayar pajak secara rutin. Aku sendiri tak tau dimana mereka menyembunyikan uang illegalnya. Mereka sudah pasti memiliki gudang dan basement yang digunakan untuk menyimpan senjata, uang dan obat-obatan. Aku tak akan mencari yang itu dulu, aku hanya ingin menyelesaikan tugasku.
Aku rasa setelah kematian Gabriel dan Eric tidak ada yang mengancam kehidupan mereka. Siapa musuh mereka? Aku tak pernah mendengar mereka memiliki musuh lain selain keluarga Maxwell yang sudah dikabarkan tak punya keturunan. Tanpa adanya musuh Carter yang lain maka, tugasku akan jauh lebih mudah. Aku akan segera kembali akan tetapi, aku tak punya kekasih yang sedang menunggu. Jadi, akan ku nikmati hariku disini.
"Noah akan menjadi pengawal pribadimu mulai sekarang. Aku tak ingin siapapun melukaimu setelah kematian Brian," Aku mendekat ketika kedip mata Henry memberi tanda bahwa aku harus ada di depannya.
"Brian mati? bagaimana dia bisa mati?" tanya Olivia penasaran, "Dia tertembak dalam serangan malam itu." Olivia mengangkat alisnya seolah tak percaya, "Siapa pengawal kita yang mati?" Olivia mengajukan pertanyaan sekali lagi.
"Hanya Brian saja, yang lain hanya terluka karena ingin menangkap para penembak yang berjumlah 5 orang." Olivia duduk di hadapan ayahnya, "Aku sempat melihat dia di aula, menembak ke arah Alessa. Apa dia salah satu musuh kita?" Henry melirik ke arahku karena dia ingin aku diam saja.
"Ya, dia adalah anggota pasukan Maxwell. Aku rasa mereka masih hidup dan memiliki keturunan. Aku tak berharap ini terjadi akan tetapi, jika bisa bertemu dengan mereka aku ingin membuat sebuah perdamaian." ucap Henry dengan santai. Dia pikir perdaiaman bisa membayar apa yang sudah dia lakukan bertahun-tahun lalu.
Aku rasa dia sedang memiliki masalah akan tetapi, dia tak menjelaskannya secara detail kepada Olivia. Aku melihat tatapan matanya yang penuh dengan beban. Namun, dia tetap tersenyum untuk menghibur putrinya yang baru saja kehilangan Eric. Olivia tidak tau bahwa peluru Eric dan Alessa tidak beracun sementara, peluru yang menembak dirinya dan Gabriel adalah peluru yang sudah dicampur racun. Bukan Maxwell yang membunuh Eric, melainkan orang lain.
Dan aku tau siapa yang sudah membunuh Eric. Hanya saja Henry memintaku untuk merahasiakannya karena itu akan menyakiti Olivia. Dia juga meminta kepadaku agar menjaga Olivia kapanpun dan dimanapun. Dia juga ingin aku melaporkan kepada Henry siapa saja lelaki yang mendekati putrinya dan apa yang dia lakukan. Namun, aku tak akan melakukannya demi menghormati privasinya. Selama apa yang Olivia lakukan tidak berbahaya dan tidak membahayakan nyawanya maka, Henry tak perlu tau.
Dia ingin pergi ke club malam ini, dia tidak mengatakan keluh kesahnya. Dia hanya memintaku untuk mengantarkannya. Dia juga melarangku untuk masuk dan ingin aku tetap berada di dalam mobil ketika dia sedang berpesta. Namun, aku tak bisa menuruti perintahnya, aku tetap masuk dan duduk di salah satu kursi di dekat bar dimana aku tetap bisa mengawasinya. Dia tak berbicara dengan bartender, dia tak punya teman sekalipun. Kursi di depan bar cukup sepi, wajah Olivia terlihat sendu.
Dia sudah pasti sedang merindukan Eric atau mungkin sedang mengingat kenangan masa lalunya. Cukup sulit melupakan seseorang yang pernah dicintai. Aku pernah berada di fasenya dimana kekasihku meninggalkan aku. Aku tak ingin melihat wajah cantiknya terlihat bersedih, aku berjalan mendekat ke arahnya dan duduk di sampingnya. Dia menoleh ke arahku dan menatapku sinis dengan matanya yang menyipit.
"Banyak pria yang takluk akan pesonamu akan tetapi, sayangnya kau harus bersedih seperti ini. Lihatlah wajahmu yang cantik, dia tak pantas untuk mengerut dan sendu." Dia tertawa kecil.
"Noah, aku tidak memintamu untuk datang kemari apalagi menghiburku dengan pujian murahanmu itu." Dia merendahkan perkataanku. Aku dengan gesit memegang kedua pinggulnya erat, mendekatkan bibirku tepat di depan bibirnya. Dia terpaku, menatapku tajam.
"Kalau begitu kau butuh ini. Pria seperti Eric tidak akan melakukan hal semacam ini. Setidaknya, kau tidak akan mengingatnya ketika aku menatapmu seperti ini." kataku masih mencoba untuk menggodanya.
Dia melepaskan kedua tanganku, "Kau tidak akan bisa memaksaku. Ingatlah kau adalah pelayanku maka, jadilah seperti pelayan. Kau tidak akan bisa mendapatkan posisi seperti apa yang Eric dapatkan. Kau berbeda." tegasnya sembari menatap mataku tajam. Aku tersenyum menyeringai, "Perbedaan itulah yang akan membuatmu tertarik, Olivia Ivanova Carter," Dia turun dari kursi dan berjalan cepat mendekati pintu keluar.
Aku mengejarnya pelan dan menemukan dia sedang berada di tempat parkir mobil. Dia terlihat kebingungan, aku mendekat dan membuatnya terkejut, "Kau tidak akan menyetir sendiri karena kau bahkan tidak tau dimana mobilmu." Aku memencet tombol kunci untuk membuka pintunya. Olivia bergegas membuka pintu mobil tanpa bantuanku. Dia duduk di kursi belakang dan terlihat sibuk dengan ponselnya.
"Aku pernah mendengar sebuah kalimat jika seseorang sedang sakit hati maka, jangan memendam sendiri. Jika rasa sakit itu bisa diungkapkan maka, akan lebih baik." Aku mencoba merangkai sebuah kalimat yang seolah ku kutip dari seseorang. Aku ingin dia meluapkan isi hatinya karena dia tak bisa memendam perasaan itu sendiri.
"Jika kau ingin bercerita maka, aku akan siap mendengarkan. Kau tak perlu solusi, aku tau. Kau hanya perlu di dengarkan, maka telingaku siap mendengarkan suaramu, Nona Olivia." kataku menjelaskan makna dari kalimat yang sebelumnya ku ucapkan. Dia masih fokus dengan ponselnya.
"Tidak ada, Noah. Kerjakan pekerjaanmu dengan baik." perintahnya dengan nada ketus. "Aku sudah melakukannya, Nona. Dan aku sengaja menambahkannya agar kau punya tempat untuk meluapkan setiap perasaanmu." Dia terlihat meletakkan ponselnya dan menatapku melalui kaca mobilnya. Aku bisa melihat tatapannya yang serius meskipun dia terpaku tak mengatakan sepatah kata apapun.
"Mengapa kau ingin mendengarnya, Noah? Tak ada yang tertarik dengan kisah sedih seseorang, kecuali dirimu." Aku berhenti di pinggir jalan, tepat sebelahnya ada taman yang indah dengan lampu di sekeliling jalannya. "Aku akan mendengarkan apapun yang kau katakan." Aku menatap matanya melalui kaca mobil.
Dia tidak bercerita, tidak mengatakan apapun, dia hanya meneriakkan tangisannya. Meneteskan air mata dan menutupi matanya dengan kedua telapak tangannya. Aku membuka pintu mobil dan berganti posisi untuk duduk di sampingnya. Aku melebarkan tanganku dan dia memelukku tanpa paksaan apapun. Aku mengelus rambutnya, membelainya, tak apa jika dia membasahi jasku dengan air matanya. Aku tak mengerti mengapa aku begitu peduli padanya.
Tanpa sebab yang jelas, aku terus memeluknya, menepuk punggungnya dan mencoba menenangkannya. Dia masih menangis sejadi-jadinya, "Aku tau jika mata pun bisa berkomunikasi. Kau akan baik-baik saja meskipun hidup sulit dan kau harus berjalan sendirian." kataku sembari menepuk punggungnya. Aku bisa mendengar napasnya yang sesak karena menangis.
Ketika dia selesai, aku mengusap air matanya dengan tisue. Telapak tangan kirinya masih menggenggam tanganku, aku tak akan melepaskannya karena aku merasa nyaman. Sudah lama sekali aku tak merasakan perasaan yang sama. "Terima kasih, Noah. Aku sudah merasa lebih baik. Dan kau harus merahasiakan ini." Aku tersenyum menyeringai.
"Aku akan merahasiakannya, Olivia. Semua perasaan dan cerita tentangmu, tak ada yang bisa mendengarnya selain aku dan Tuhan."
"Aku menghargainya, kau bekerja dengan baik. Aku tidak menyangka ada orang yang mau menjadi wadah air mataku," Dia tertawa kecil. "Lain kali, jangan menahannya, kau bisa selalu meluapkan perasaanmu kepadaku. Dimanapun dan kapanpun kau mau."
"Baiklah, akan ku ingat. Sekarang kembalilah bekerja!" perintahnya sembari mengusap air matanya yang sedikit tersisa. Aku mengantarnya kembali ke rumah dan dia tak tidur. Dia berada di ruang kerjanya selama satu jam. Dia bersiap lalu, memintaku untuk mengantarnya ke kantor. Dia tak terlihat lelah sama sekali. Entah mengapa pagi ini aku menatapnya dengan perasaan iba. Aku merasa dia butuh sedikit istirahat, liburan setelah apa yang terjadi kepadanya.
Dia telah kehilangan seseorang, dia pun baru saja terluka. Dia sudah bekerja dan tak tidur. Dia mabuk semalam dan menangis setelahnya. Aku tak tau mengapa ingin sekali rasanya aku mengatakan dia butuh istirahat. Astaga! Apa yang aku pikirkan, sejak semalam aku terus memikirkannya. Aku tak boleh memikirkannya, aku harus tetap melaksanakan tugasku dengan profesional tanpa peduli perasaan dan kehidupan pribadinya.
Namun, menatap matanya saja aku tak bisa menghindari dirinya. Aku tetap pada gairahku dan melupakan tujuanku, "Nona Olivia, apa sebaiknya anda istirahat terlebih dahulu?" kataku sembari mengikut langkahnya menuju ruang makan. "Aku sudah tidur selama 3 hari di rumah sakit. Aku tak merasa mengantuk sejak semalam. Jika aku kelelahan, aku akan menelpon Lily untuk memeriksaku. Jangan khawatir." jawabnya ketus.
"Tapi, anda..." Aku mencoba untuk mencegahnya pergi akan tetapi, dia tak menggubris laranganku.
"Sudahlah, Noah. Itu bukan tugasmu untuk mengingatkan aku kapan aku harus istirahat dan kapan aku harus liburan." jawabnya sembari menuruni tangga dan mengangkat telpon dari asistennya.
Aku menunggunya di depan pintu ruang makan. Aku berdiri di sebelah Gustav, kepala pengawal sekaligus orang kepercayaan Henry. Olivia hanya fokus kepada ponselnya tanpa menyentuh makanannya. Aku masih melihat wajah sendunya, tatapannya yang tak bisa membohongi perasaanya.
"Ada banyak lelaki di dunia ini, tidak hanya Eric. Kau harus melupakannya." perintah Celine seolah melupakan dan menemukan orang baru adalah pekerjaan sederhana.
"Jika tak ada waktu dan timeline untuk itu, ya tentu saja akan ku lakukan saat ini juga. Waktu memperlambatnya. Waktu membuatku terjebak." ucap Olivia dengan nada ketus.
"Aku tak pernah melihatmu selemah ini. Kau tidak akan menangis karena kematian Eric. Aku tak pernah ingin kau menikah dengannya." Olivia yang tadinya hendak makan pun sontak meletakkan garpu dan pisaunya kembali. "AKU AKAN MELUPAKANNYA, TENTU SAJA. NAMUN, MENEMUKAN PRIA LAIN UNTUK DICINTAI BUKANLAH HAL YANG MUDAH!!!!" teriak Olivia sembari berdiri mengambil tasnya.
"Tapi, kau tidak bisa terjebak dalam satu situasi!" protes Celine. Dia benar-benar tak ingin melihat kesedihan anaknya atau dia ingin menjodohkan anaknya dengan pria lain.
"Mama tidak bisa memaksa aku untuk melupakan Eric dengan cepat. Aku tidak bisa membakar kenangan 2 tahun hanya dalam satu kedipan mata. Eric sudah mati dan kisah kita sudah selesai. Aku pasti akan menemukan orang lain tapi, tidak sekarang. Dan lagipula, apa Mama pernah mencoba menemukan pria lain untuk dicintai?" Dia berhenti sejenak dan menatap ibunya sinis.
"Tidak. Meskipun Papa sudah berselingkuh dan Mama punya alasan untuk meninggalkannya, Mama masih bertahan karena Mama tidak bisa menemukan pria lain untuk dicintai." Dia mengambil ponselnya lalu, pergi tanpa menghabiskan sarapannya.
"Olivia! Kau tidak akan pergi tanpa sarapan!" Olivia tak menggubris ibunya. Aku pernah mendengar kisah cinta Celine dan Henry. Yah, Celine tak pernah menemukan pria lain untuk dicintai. Dia terpaku pada satu situasi, mencintai Henry akan tetapi, aku baru saja mendengar dia melarang putrinya untuk tidak terjebak pada satu situasi.
Olivia sudah masuk ke dalam mobil. Aku hendak masuk akan tetapi, aku mendapatkan sebuah telpon penting. "Aku tidak bisa melakukannya sekarang," kataku menolak perintahnya.
"Kau harus melakukannya atau aku yang akan turun tangan." Dia mengulangi perintahnya dengan dibumbui sedikit ancaman. "Aku tidak bisa, Tuan. Aku tidak bisa, entah mengapa." Aku menutup telponnya ketika Olivia memintaku untuk mengantarkannya sekarang.
To be continued...
