Chapter 3: Pulang
Olivia
"Dimana Eric? Mengapa dia tidak datang dan tidak ada disini? Aku sedang sakit, dia seharusnya datang?" tanyaku kepada dokter Lily. Aku ingat dia tertembak malam itu akan tetapi, pertanyaanku demikian hanya ingin memastikan bahwa dia selamat dan baik-baik saja.
"Eh, saya tidak tau Nona. Dia tidak dirawat di rumah sakit ini." jawabnya. Dia pamit setelah menjawab pertanyaanku. Aku ingin menelpon seseorang akan tetapi, ponselku tidak ada di meja. Kepalaku masih sangat pusing dan aku tak tau apa yang sebenarnya terjadi. Lily tidak menjelaskan aku sakit apa sehingga perutku terluka, kepalaku sakit dan aku merasa sedikit kedinginan karena air conditionernya masih menyala.
"Kamu bisa matiin AC-nya gak?" pengawal itu dengan cepat mengambil remot AC dan mematikannya, mengganti dengan penghangat ruangan. "Siapa nama kamu?" tanyaku penasaran.
"Noah adalah namaku, anda bisa memanggil saya jika butuh sesuatu, nona Olivia." jawabnya tegas. Suaranya menggelegar seperti pria gentle di film-film. Aku rasa dia adalah pengawal pribadi yang Papa tugaskan untuk menjagaku. Aku sempat bertemu dia sebelum pergi ke pernikahan Dave.
"Bisa kau ambilkan ponselku, aku harus menghubungi seseorang?"
"Nyonya Celine sedang dalam perjalanan. Dia akan segera datang dan membawa ponsel anda." Aku mengangguk paham, "Anda sudah tertidur selama 3 hari dan membuat semua orang panik," Aku melotot menatapnya. Tidur 3 hari? Benarkah? Apa yang aku lewatkan jika aku sudah tertidur selama 3 hari? Aku semakin merasa panik, irama detak jantungku terasa cepat. Aku merasa tidak enak. Aku ingin segera tau apa yang terjadi.
"Mengapa aku tidur 3 hari? Apa yang sudah aku lewatkan?" tanyaku dengan nada khawatir, "Anda tidak perlu khawatir, Nona. Anda baik-baik saja." Dia mendekat dan mencoba menenangkan aku.
"Lalu, dimana Eric? Apakah dia baik-baik saja?" tanyaku lagi, aku sangat khawatir.
"Olivia!!!" Mama datang dengan toga hitam putihnya, aku rasa dia baru saja dari pengadilan dan langsung kemari. "Mama sangat khawatir dengan keadaan kamu. Apakah kamu merasa lebih baik?" Dia bertanya sementara, aku masih bingung dengan ucapan Noah.
"Noah mengatakan aku tertidur selama 3 hari? Apa yang terjadi?" Mama duduk dan menghela napas dalam, "Aileen, bawa toga ini. Apa kau sudah menghubungi Henry?" Dia menyerahkan toganya kepada asisten pribadinya.
"Waktu di kapal, kamu ditembak di bagian perut kamu. Pelurunya beracun dan kamu kehilangan banyak darah waktu itu."
"Apa yang terjadi selama aku tertidur?" Mama menyelipkan rambutnya ke belakang. Aku rasa dia tak ingin bercerita, matanya bisa menjelaskan. "Tidak ada," jawabnya terdengar ragu. Dia mencoba tersenyum dan membelai wajahku dengan kasih sayangnya.
"Dimana Eric dan yang lain? Apakah mereka terluka dalam insiden penembakan itu?" tanyaku penasaran. Dia menghembuskan napas kesal, "Olivia, tidurlah sayang. Suhu tubuh kamu semakin meningkat." katanya sembari memeriksa keningku.
"Aku akan tidur jika aku sudah mati. Aku masih hidup, bernapas dan melihat Mama yang ragu mengatakan yang sebenarnya. Aku masih hidup dan aku perlu tau apa yang sudah terjadi..." kataku mengulangi pertanyaan yang masih belum dia jawab.
"Olivia, kamu cuma perlu istirahat dan jika luka kamu sudah sembuh maka, kamu bisa kembali."
"It has been 3 days I laid in here. Can you tell me the truth, now?" Aku terus memaksanya untuk menceritakan apa yang terjadi.
"Eric dan Gabriel ditembak 3 kali di alat vital mereka. Gabriel di tembak di aula sementara Eric mati di hadapan kamarmu. Dan kau berada di dalam ketika tertembak, Noah menyelamatkanmu dan membawamu ke rumah sakit sendirian dengan kapal darurat. Alessa selamat karena pelurunya tidak beracun. Eric dan Gabriel meninggal ditempat, mereka dimakamkan satu hari setelahnya." Mama mencoba menahan air matanya yang hampir menetes.
Aku menangis sejadi-jadinya, berteriak tak terima mereka pergi begitu saja. Aku masih menangis sementara, Mama mencoba untuk memelukku dan menenangkan aku. Dia juga menangis dan mengatakan bahwa semua ini sudah takdir. Aku menangis tersedu-sedu di pelukannya, dadaku terasa sakit. Aku tak tau bagaimana rasa sakit ini akan tetapi, hatiku terasa hancur.
"Eric baru saja melamarku malam itu. Dia berjanji untuk menjagaku dan ada yang sudah menghancurkan janjinya..." ucapku terbata-bata, air mataku terus menetes. Aku tak bisa berhenti menangis. Hal ini terlalu menyakitkan.
"Mengapa mereka harus membunuh Gabriel dan Eric?" tanyaku.
"Sudahlah, Olivia. Sudah ku katakan kau tak perlu mendengarnya. Berhentilah menangis karena hidup terus berjalan. Aku dan Papamu pun sedih karena Gabriel harus menjadi korban akan tetapi, kami mencoba menerima dan merelakan semuanya. Kau pun harus karena hidup terus berlanjut. Jadilah perempuan yang kuat..." Dia mengusap air matanya lalu, mengusap air mataku. Dia memegang kedua pundakku, memintaku untuk menjadi perempuan yang kuat dan tegar. Aku tak bisa, aku tak sanggup merelakan kepergian tunanganku begitu saja.
"Mama akan menemani kamu disini sampai besok..." katanya sembari merapikan isi tasnya.
"Bisakah kita melihat makam Eric. Aku ingin melihatnya...." kataku, dengan sekuat tenaga untuk tidak meneteskan air mata. Meskipun aku tak akan sanggup untuk melihatnya.
Aku menangis lagi, menutup mataku dengan kedua telapak tanganku. Aku berharap tidak terbangun dari tidurku, terus bermimpi dan bersama dengan orang yang aku cintai. Malam itu adalah malam dimana aku bahagia dengan harapanku yang hampir terpenuhi. Kini aku hancur dengan kepergiannya. Dia sudah meninggalkan aku di surga dunia sendirian dengan kepingan hati yang menjadi abu.
Bidang hati dengan ruang kosong dan tandus, hati dengan luka dan tak berdarah. Aku menangis merenungi semua kisah yang tak bisa ku ulang kembali. Aku menangis mengingat wajahnya, aroma tubuhnya yang khas. Tak bisa ku lupakan semua itu dalam hitungan detik. Tak bisa ku relakan semua ini, aku tak tahan bila harus merindu setiap detik. Aku tak ingin hidup dalam kerinduan yang mendalam juga tak ingin bila harus hidup dalam kesepian.
"Bagaimana jika aku berharap aku akan bertemu dia lagi? Mungkin dia masih hidup..." kataku.
"Aku melihat dimana dia terkapar dengan darah mengalir di lantai. Dadanya berlubang dan ada 3 titik waktu itu. Dia di otopsi sebelum meninggal dan Sheena, bisa kau pikirkan bagaimana perasaannya berada di ruangan itu, melihat anak kandungnya terluka dan mati begitu saja?"
Aku mengusap air mataku, "Tante Sheena? apa dia sanggup membelah tubuh anaknya sendiri?"
"Sheena adalah dokter forensik selama bertahun-tahun. Dia berada di dalam untuk memastikan temannya melakukan tugasnya dengan baik. Dia tak mudah percaya terhadap orang lain, Olivia."
"Lupakan Eric. Memang itu adalah satu-satunya hal yang bisa kau lakukan. Jangan berharap dia akan kembali karena....dia tak akan kembali." ucap Mama lirih yang semakin menyakiti hatiku.
Aku tak bisa membendung air mataku, tak bisa. Aku terus menangis mengingat wajahnya, semua kenangan yang ada. Aku semakin menangis ketika mengingat dimana dia menggenggam tanganku sebelum aku menutup pintu kamarku. Jika aku tidak menutupnya, aku pasti bisa menyelamatkannya. Atau setidaknya aku tidak akan berada sendirian disini, merenungi semua yang telah terjadi dan menangisi akan hal yang tak bisa terulang kembali.
Namun, aku mencoba untuk hidup dan bertahan seperti pesan Mama bahwa hidup terus berlanjut. Dia memang benar tentang satu hal bahwa aku hanya bisa melupakan tentang Eric berserta kenangannya. Melupakan dan menyembuhkan hati di waktu yang sama juga bukan merupakan tugas yang mudah. Akhir-akhir ini aku tak sendiri, Anastasia sering datang dan menemaniku. Dia bahkan memelukku ketika aku menangis dan bersedih.
"Aku ingin cepat kembali dan melihat makam Eric dan Gabriel. Meskipun itu sulit..." ucapku lirih. Anastasia tersenyum, "Jika kau merelakan, memaafkan kesalahan mereka maka, mereka akan hidup tenang di surga sana." Aku mengusap air mataku yang terus menetes perlahan.
"Mengapa mereka tidak membawaku sekalian."
"Agar kau punya kesempatan, Olivia. Untuk membalaskan dendam mereka. Mereka sudah melukai kita semua dan mereka tak akan berhenti sampai disini saja." Alessa datang dan memotong kalimatku. Aku tak menyukai balas dendam karena itu tidak akan menyelesaikan masalah. Jika saja, aku bisa berdamai meskipun itu sakit maka, aku akan melakukannya.
"Aku tak suka mengotori tanganku untuk membunuh mereka," kataku, "Kau tidak perlu mengotori tanganmu untuk itu. Kau bisa meminta orang lain untuk melakukannya." jawab Alessa menyarankan akan tetapi, aku tak tertarik.
"Membunuh mereka tidak akan mengembalikan Gabriel dan Eric. Kau dan akupun terluka akan tetapi, kita hidup..."
"Untuk tersakiti, kau hanya akan menangisi kepergian Eric. Tapi, yakinlah kau pasti akan menemukan yang lain." Alessa memberikan sebuah kotak kecil berwarna biru, kotak tersebut memiliki ukiran batik biru. "Aku harus pergi sekarang. Dave sudah menungguku, aku menyukai hadiahmu."
"Safe flight, Alessa." ucap Anastasia sembari memeluk Alessa. Aku rasa dia akan pergi ke Finlandia untuk bulan madu. Dia benar, aku hanya hidup untuk tersakiti akan tetapi, aku tak ingin mengakhiri hidupku. Aku takut jika berakhir di tempat yang berbeda dengan Eric. Jika tempat kami berbeda maka, percuma aku mati.
Jika mereka membunuhku maka, aku tak punya masalah akan tetapi, aku tak akan membunuh diriku. Aku bisa saja sedih, kesepian dan terluka akan tetapi, jika aku mati, itu juga bukan solusinya. Aku melanjutkan hidup, menelan obat rutin, makan makanan bergizi setiap hari meskipun masakan rumah sakit tak seenak masakan rumah. Sesekali aku meminta Putri untuk membawakan masakannya kemari. Dia sudah mengasuh kami sejak kecil dan hanya dia yang masih bekerja sebagai kepala pelayan di rumah kami.
Lily akhirnya mengizinkanku untuk pulang setelah aku berada disini selama satu minggu. Aku kembali dan dijemput Papa dan para pengawal tampannya. Dia membuka pintu mobil untukku, menyambutku dengan senyuman. Dia memelukku dan aku masih bisa melihat matanya sendu setelah kematian Gabriel. Aku tak percaya dua orang yang aku sayangi secepat itu meninggalkan dunia ini.
"Apa ini ulah Maxwell?" tanyaku kepada Papa sembari menggulir ponselku mencari sesuatu. "Mereka tak memiliki penerus setelah kematian Nathan dan Andrian. Aku pikir mereka adalah musuh baru. Mengapa Maxwell harus menunggu 23 tahun untuk membalaskan dendam?" Aku membuka lebar mataku dan mencoba untuk fokus terhadap artikel yang aku baca.
Sepertinya, penulis berita bukan ahli dalam segala hal. Mereka hanya menginformasikan tanpa memberikan penjelasan terhadap berita yang mereka sampaikan. Berita hukum dikemas seperti berita tanpa menjelaskan lebih lanjut proses perkaranya dan putusannya. Aku harus mencari dan menganalisis sendiri untuk kasus-kasus seperti ini.
"Mengapa kau ingin melihat makam Gabriel? Aku tidak ingin mengingat adikmu. Aku dan Mamamu mencoba untuk melupakan dan merelakan kepergiannya." ucap Papa membangunkan aku yang sedang menyelam dan berpikir.
"Aku hanya ingin mendoakan. Aku sudah melihat semuanya, rekaman otopsi dan hasilnya. Jadi, aku tak perlu memastikan apakah mereka benar-benar mati atau tidak," Papa tersenyum lalu, mencium keningku.
"Kau adalah putriku yang paling kuat. Kau punya kekuatan untuk itu, Olivia. Jadi, aku harap kau benar-benar bisa melupakannya. Jika perlu, kau bisa menyusun strateginya." Dia menatap ke arahku dengan penuh harap.
"Aku tidak bisa,..."
"Aku tidak bisa karena balas dendam tidak akan menyelesaikan masalah," kataku lagi.
Papa terpaku, tak mengucapkan sepatah kata apapun setelah penolakanku. Dia tak pernah memaksa kehendaknya kepadaku. Jika dia ingin melakukan sesuatu, dia akan menyelesaikannya sendiri dengan melibatkan orang yang setuju untuk terlibat. Dia menyayangi semua anak-anaknya, kasih sayangnya terhadapku dan Bella bisa ku lihat. Aku melihatnya menangis waktu aku pura-pura tertidur. Aku mendengarnya berkata dan berharap agar dia saja yang terluka dan bukan aku.
Dia memperkenalkan aku terhadap bisnis gelap keluarga ini ketika aku berusia 17 tahun. Gabriel dan Bella tak pernah melihat betapa gelapnya keluarga kami. Lewis, Dave dan aku sudah terbiasa dengan suara tembakan dan bermain pistol. Kami sering berlatih menggunakan senjata dan bela diri. Papa ingin menyiapkan kami menjadi pewaris selanjutnya. Sebenarnya tidak adil juga Gabriel dan Bella tak tau tentang apa yang terjadi.
Namun, Papa tak ingin mereka terlibat apalagi Bella, putri kesayangannya. Dia tak akan membiarkan cinta keduanya itu terluka jika harus bergabung dengan organisasi gelap ini. Gabriel kini sudah pergi dengan tenang, aku menaburkan bunga di atas makamnya yang masih tanah. Makam Eric berada di dekat makam kakeknya, Antonio. Aku mencoba untuk tidak menangis menaburkan bunga di atas makamnya. Aku mencoba sekuat tenaga untuk membendung air mataku.
Aku berdiri menatap ke langit yang cerah dan melangkah kembali menghampiri Papa yang masih mendoakan Gabriel bersama dengan salah satu pengawalnya yang tampan. Setidaknya, para pengawal yang Papa pekerjakan bisa mencuci mataku dan membuatku semakin kuat menahan air mata ini untuk mengalir. Aku tau seharusnya aku menangis saja untuk meluapkan rasa sedih dan emosiku. Namun, aku tak ingin terlihat lemah di hadapan Papa meskipun dia siap untuk mendengarkan semua keluhanku.
Dia tak pernah komplen jika anak-anaknya mengeluh kepadanya. Dia adalah pria yang penyayang. Dan dibalik sikapnya yang penyayang, dia pernah selingkuh. Aku tak menyangka pria seperti dia tak bisa bertahan dengan satu wanita dan satu komitmen. Namun, dia sudah membayar semuanya. Dan dia tak melakukan kesalahan yang sama. Dia mengantarkanku pulang dan matahari semakin tenggelam seiring perjalanan kami menuju rumah.
Papa memintaku untuk berbicara di ruang pribadinya. Dan aku bertemu dengan Noah yang berdiri di sudut ruangan menatap ke ruangan elegan dengan interior coklat klasik dan rak buku di setiap sisi dindingnya.
"Noah, mulai sekarang kau akan menjadi pengawal pribadi Olivia." Aku melotot terkejut.
To be continued..
