Chapter 2: Insiden
Olivia
Kami masuk ke dalam kapal yang di desain seperti rumah. Mataku menyapu interior elegan keemasan yang ada di aula. Musik menggema di telingaku, terdapat dua kursi di pojok depan ruangan dimana Dave dan Alessa akan duduk. Aku berjalan melalui pintu sebelah melewati lorong dengan pemandangan kamar pintu. Aku terus berjalan sampai di ujung dimana aku melihat Eric berdiri memandang pemandangan laut yang indah.
Aku datang menghampirinya dan dia menatapku dengan tatapan khawatir. Aku tak mengerti apa yang dia pikirkan, dia hanya tersenyum menatapku tanpa mengatakan apapun. "Kau terlihat khawatir?" tebakku melihat raut wajahnya yang muram. Aku tak mengerti apakah gerakan air laut yang begitu tenang benar-benar membuatnya tertarik?
"Aku baik-baik saja, Olivia. Bagaimana denganmu? Kau telihat cantik pagi ini," katanya memuji penampilanku dengan dress warna hitam berkilauan, "Aku lebih baik setelah melihatmu. Kau tau aku merasa bahwa bersama denganmu aku tak pernah merasa sakit hati. Setiap kali aku terluka, kau selalu ada disana." Aku menyenderkan kepalaku ke lengannya. Dia menggenggam tanganku erat tanpa mengucapkan apapun.
Aku memintanya untuk masuk ke dalam karena disini cukup membosankan. Kami menyempatkan untuk berjalan di lantai atas dimana kami menemukan kolam renang, tempat duduk dengan meja yang sudah tersedia beberapa minuman keras. Terdapat kursi untuk berjemur dan pemandangan pulau dari atas sini terlihat jauh lebih menawan. Aku meminta asistenku, Lina untuk mengambil foto kami berdua.
Di setiap foto, Eric terlihat murung meskipun dia berusaha untuk bersikap tetap cool akan tetapi, raut wajah dan putaran bola matanya tak bisa menyembunyikan perasaannya. Aku meninggalkannya sejenak untuk melihat foto dan berbicara dengan Lina tentang acara pagi ini. Aula sudah siap dan acaranya akan dimulai dalam hitungan menit.
"Ayo kita turun, aku tak ingin melewatkan pesta pernikahan Dave dan Alessa." Aku menghampirinya yang masih merenung sembari memandangi kapal yang terus berlayar.
Dia hanya mengangguk patuh tanpa mengatakan satu katapun. Aku menggandengnya dan dia melepasnya, entah apa yang terjadi kini. Sikapnya begitu dingin kepadaku padahal kemaren dia bicara dan menemukan solusi lalu, mengapa sekarang dia berubah seperti ini. Aku tak pernah memaksanya untuk melamarku. Namun, dia yang mengatakan bahwa dia akan mempublikasikan hubungan ini jika sudah siap untuk melamarku. Hubungan kami sudah berjalan 2 tahun lebih dan aku tak mau menunggu ketidakpastian.
Setiap kali aku hadir di acara pesta pernikahan, pertunangan dan lain-lain, banyak yang menanyakan tentang pasanganku. Sekarang Dave sudah menikah dan pandangan mata akan tertuju kepadaku. Mereka akan bertanya kapan aku menyusul dan kapan aku akan menikah secara aku adalah anak ketiga. Ah! Aku harap aku masih seusia Bella sehingga pertanyaan tersebut tak dilontarkan kepadaku. Namun, apa boleh buat? Aku tak bisa menghindari gairah orang yang penasaran dan bertanya.
Eric duduk di lingkaran para lelaki dimana kakakku dan saudara-saudaranya, Garfield dan George. Gabriel juga duduk disana dan terlihat mendekat kepada Greta, adik Eric yang merupakan anak terakhir paman Alaric dan tante Sheena. Greta seusia adikku, Bella dan mereka juga berteman di kampus. Lewis menghampiriku dan menggandengku, dia membisikkan sebuah kalimat yang tak ku dengar. Aku mendengar satu kata yaitu dia memintaku untuk berhati-hati. Dia duduk di sebelah Anastasia sementara, aku duduk di sebelah Christoper, salah satu sahabat Lewis yang di undang.
Aku tak suka sikap Christoper yang banyak bicara dan mencoba untuk membuatku tertarik. Aku terus menatap ke arah Eric yang akhirnya tersenyum dengan lawakan Gabriel. Aku ingin sekali duduk di dekatnya akan tetapi, aku tak ingin semua orang mengira bahwa kami sedang memiliki hubungan spesial. Sebenarnya, aku ingin mengatakan kepada semua orang bahwa Eric adalah kekasihku dan aku bangga memilikinya. Namun, dia mencegahku setiap kali aku ingin memposting foto kami berdua.
Aku tidak tau alasan apa yang membuat dia tak ingin mempublikasikan hubungan ini. Aku tak pernah penasaran, hubungan kami cukup sehat, tak ada orang ketiga, kamipun jarang bertengkar dan fokus hidup masing-masing dan sering berkabar. Kami percaya satu sama lain. Dan dia tak pernah membahas tentang melamarku sejak tahun lalu meskipun aku ingat betul janji yang belum dia tepati tersebut.
"Ya memasuki acara istirahat, ada yang ingin membuat persembahan istimewa untuk nona Olivia Ivanova Carter, sang adik pengantin baru kita." Aku terkejut ketika MC menyebut namaku dan ada orang yang ingin mempersembahkan sesuatu kepadaku.
Aku melihat Eric berjalan menuju ke pusat acara yang berada di tengah-tengah. Sebut saja panggung akan tetapi, lokasinya tidak begitu tinggi dari dasar. Dia berjalan dengan gagah, dia memegang pengeras suara dan mengatakan dengan tegas bahwa dia ingin mempersembahkan sebuah lagu untukku. Semua orang bertepuk tangan.
Aku tersenyum tipis mendengar suaranya yang lembut, penuh dengan ketenangan. Dia menyanyikan sebuah lagu berjudul A thousand years dari Christina Perri. Suaranya begitu lembut dan terdengar nyaman di telingaku. Aku menikmatinya dan tak lupa meminta Lina untuk mengambil video ketika Eric tampil.
Setelah lagu yang dia senandungkan sudah usai. Dia tersenyum menatap ke semua orang, dia menundukkan kepalanya dan merogoh ke saku jasnya seolah mengambil sesuatu. Dia mengambil sebuah kotak kecil warna merah. Dia berjalan menghampiriku dan menunduk di hadapanku. Semua orang menyaksikan kami.
"Olivia Ivanova Carter, my lovely girfriend, my everything. I'm ready to be yours, will you marry me?" Pintanya tegas, aku tersenyum sebentar dan menganggukkan kepalaku yang bertanda bahwa aku menerima lamarannya. Semua orang yang ada di dalam ruangan bertepuk tangan.
Eric mencium keningku setelah aku menerima lamarannya. Semua orang bertepuk tangan termasuk Dave dan istrinya yang masih duduk di kursi penganten. Aku tak menyangka dia akan memberikan kejutan ini. Aku sama sekali tak berharap dia akan melamarku secepat ini padahal dia selalu mengatakan dia butuh waktu untuk melamarku dan bertemu ayahku yang merupakan pamannya sendiri.
Akhirnya, kami bisa duduk santai mendengar sang penyanyi muda, Keisya Levronka menyanyikan sebuah lagu galau. Aku menikmatinya karena ku sedang tak patah hati. Semua orang sudah tau kini tentang hubungan kami. Aku rasa orangtuaku pun akan setuju.
"Eric, semoga kamu tidak melakukan kesalahan yang sama," papa duduk di sampingnya dan terdengar memperingatkan. Namun, aku tak tau inti masalahnya apa hingga Eric tidak boleh mengulang kesalahannya.
"Aku tidak akan melakukan yang sama, paman Henry. Aku akan menjaga Olivia selamanya, dia akan menjadi istriku dan aku akan menjadi suaminya," Dia tersenyum menatap ke arahku ketika mengatakannya. Mama menghampiriku serta tante Sheena dan paman Alaric menyusul. Mereka mengucapkan selamat.
"Kapan kalian akan menikah? Aku tak sabar melihat kalian menikah," tante Sheena terlihat girang menunggu jawaban kami sementara, Mama tak mengucap sepatah katapun. Aku tak mengerti dia hanya mengucapkan selamat dengan nada datar, tak mengucapkan kalimat lain termasuk menanyakan apa rencana kami selanjutnya.
"Sekitar 3 bulan lagi, kami ingin menikah di bulan Januari. Namun, kami akan mempersiapkan semuanya mulai dari sekarang." jawab Eric lirih, "Kalian sudah berpacaran berapa lama?" Sekarang giliran paman Alaric yang bertanya.
"2 tahun lebih, om."
"Wah lumayan lama ya." Mama menatapku sinis, aku tak mengerti mengapa dia begitu terkejut dengan jawabanku lalu, menatapku seolah tak menyukai hubungan kami.
"Iya, kami sengaja tidak mempublikasikan hubungan kami demi kenyamanan dan privasi kami, Pa. Jadi, setelah aku siap untuk menikah dan terikat dengannya, semua orang berhak tau bahwa Olivia akan menjadi istriku," jelas Eric.
"Jika kalian bahagia dengan itu maka, itu tidak masalah bagiku. Aku akan dengan senang hati melihat kalian menikah setelah pernikahan Dave dan Alessa. Aku tak menyangka anak-anakku akan cepat menikah dan pergi dariku, hehehehe." Papa tertawa, meskipun aku tau ada kesedihan dalam hati karena kini anak-anaknya bukan hanya harus memperhatikan akan tetapi, pasangan dan keluarga kecilnya.
"Aku masih disini, Pa. Aku bukan anak Papa yah?" Bella tetiba memeluk ayahnya dari belakang.
"Oh Papa lupa anak Papa yang masih jomblo," Bella cemberut sembari duduk di samping Papa. Seperti biasa, dia pasti meminta uang lagi.
"Henry, I have things to do in the room."
"What?"
"Ada telpon dari kantor tetiba,"
"Celine! Bukankah kau tidak memerlukan hal itu?" Mama tidak menggubris pertanyaan papa dan beranjak dari kursi. Aku menyusulnya untuk menanyakan pendapatnya sementara tamu yang lain juga bubar karena acaranya sudah selesai.
Dia membuka pintu kamarnya dan aku menahannya, "Mama kenapa? Mama gak setuju kah sama hubungan aku dengan Eric?" tanyaku kepadanya. Dia hanya menatapku sinis dan memintaku masuk. "Duduk dulu, Olivia. Aku yakin kau tidak ingin mendengar cerita lengkapnya. Dan aku tak ingin bercerita."
"Aku ingin mendengarnya, Ma. Apapun itu, pasti ada alasannya." Dia duduk di kursi kerjanya dan membuka sebuah album. Album berwarna biru berisi foto. "Lihatlah foto ini, dimana aku dan ayahmu menikah. Lalu, kemudian entah apa yang membuatnya berpaling, dia akhirnya jatuh dipelukan Sheena, kakakku sekaligus ibunya Eric." Dia menutup albumnya setelah memperlihatkan foto Papa dengan tante Sheena berciuman.
"Maksud Mama? papa berselingkuh dengan tante Sheena?" Aku menyipitkan mataku penasaran.
"Ya, tepat sekali. Dan aku tak ingin jika kau menjadi menantu Sheena. Aku bahkan tak ingin berhubungan baik dengannya." Aku menarik napas dalam-dalam, "Aku mencintainya, Ma. Dan Mama tidak bisa mencegahku," tegasku.
Dia berdiri dan menepuk pundakku, "Jika memang Eric adalah pilihanmu dan kau memang mencintainya, silahkan Olivia. Mama hanya bisa berharap yang terbaik. Namun, apa yang sudah kau putuskan tidak akan mengubah masa lalu."
"Makasih Ma, aku tau Mama teringat dengan masa itu sehingga perasaan Mama jadi tercampur aduk," kataku memahami. Aku tau itu adalah hal yang sulit untuk melupakan apa yang sudah menyakiti hati. Dan dia adalah wanita yang hebat dan kuat, dia tetap bertahan di antara alasan untuk meninggalkan.
"Olivia, jika suatu hari nanti kamu terluka. Mama akan ada untuk kamu meskipun bukan Mama obat kamu." Aku menoleh ke arahnya dan tersenyum.
Aku keluar dari ruangannya dan ingin bergabung bersama yang lain untuk acara minum bersama. Garfield, Gabriel, George dan Lewis sudah menunggu di aula bersama dengan Dave dan istrinya. Aku melihat Lewis asik berbicara dengan salah seorang perempuan yang berpakaian hitam putih sama seperti pelayan yang lain. Sementara yang lain berpesta dan asik berdansa. Eric datang menghampiriku dan mengajakku berdansa.
Kami semua bersenang-senang di tengah musik dj yang menggema. Dunia malam gemerlap terasa milik kami. Kami terlena, terbuai oleh alunan musik yang semakin keras. Sampai akhirnya terdengar tembakan dan semua orang berhenti termasuk musiknya. Lewis mengeluarkan pistolnya dan menembak ke arah yang lain.
"Olivia pergi dari sini! Gabriel juga!" teriak Lewis yang sudah membunuh satu orang yang menembak Alessa. Alessa terkapar tak berdaya, perutnya terdapat darah. Sementara, Dave membawanya ke ruang pengobatan dan yang lain sudah bersembunyi.
"Eric, ayo kita pergi. Apa yang kau lakukan, mengapa mengeluarkan pistolmu?" protesku kepadanya. Aku tak ingin dia terluka. Lewis dengan santai menelpon seseorang untuk membereskan orang yang baru saja dia bunuh.
"Aku akan memeriksa ruangan lain bersama para pengawal, kau jaga adikku. Jangan sampai dia terluka!" perintah Lewis kepada Eric.
Eric mengajakku pergi ke tempat yang lebih aman. Dia memintaku untuk tetap berada di dalam kamar sementara dia akan ikut Lewis untuk mencari tau siapa yang sudah membuat kerusuhan ini. Aku menggenggam tangannya erat di depan pintu, aku merasa sedikit berat untuk melepasnya. Ketika aku melepas genggamannya dan menutup pintuku terdengar suara tembakan dari luar. Ku lihat Eric tertembak dan tergeletak, aku tak tau apakan dia masih bernyawa atau tidak akan tetapi, ada orang yang membiusku sehingga aku tak tau apa yang terjadi setelahnya.
Aku masih bersamanya, menggandeng tangannya menuju pelaminan. Dan aku terbangun karena melihat dia tertembak dan mati di atas altar. Aku bangun dan berharap semua itu hanya mimpi. Aku tidak tau dimana aku saat ini, aku mencium aroma wewangian sementara, tanganku terdapat aliran infus. Aku memijat pelipis kepalaku dan mencoba mengembalikan kesadaranku sepenuhnya. Aku berteriak memanggil perawat dan asistenku, Lina. Namun, hanya pengawal yang masuk ke ruanganku.
"Lina sedang tidak bisa datang karena dia ada pekerjaan di kantor. Apakah anda perlu sesuatu?" Dia bertanya dengan nada formal dan menggelegar. "Tidak, dimana dokternya? Aku ingin pulang dan melihat Eric." Aku ingin duduk akan tetapi, perutku terasa sangat sakit. Aku tak mengerti apa yang terjadi. Si pengawal mendekat dan terlihat khawatir.
"Aku akan memanggil dokter," Dia merogoh ponsel di sakunya dan menelpon seseorang yang ku rasa adalah dokter. Beberapa menit kemudian, dokter Lily datang dengan kedua perawatnya.
Dia memeriksa tekanan darahku, detak jantungku dan suhu tubuhku. Dia juga meminta salah satu perawatnya mengganti infusnya, "Tidak perlu, aku ingin pulang sekarang!" kataku memaksa.
"Nona Olivia anda tidak boleh pulang karena luka anda belum sembuh selain itu, tekanan darah anda masih rendah. Sebaiknya anda istirahat sampai keadaan anda benar-benar stabil. Tidak perlu khawatir tentang pekerjaan, itu adalah pesan nyonya Celine." jelasnya.
Pekerjaan? Aku mengatakan sedang ingin berlibur satu minggu yang lalu? Sementara pestanya baru saja kemaren? tepat 3 hari setelah aku meminta izin untuk berlibur? Aku tidak mengerti mengapa Mama mengirim pesan demikian? Apakah dia tidak bisa datang dan menjengukku? Batinku terus bertanya tanpa henti.
To be continued...
