Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Sebuah Diary Biru dan Kegelisahan yang Tercurah

Dia membuka diary birunya dengan gerakan yang sudah sangat akrab, seperti seorang ahli kitab yang membuka mushaf kesayangannya. Kulit buku yang sudah agak usang terasa lembut di ujung jarinya. Setiap halamannya adalah sebuah lapisan dari jiwanya, sebuah pemetaan dari pergolakan batin yang terus berlangsung sejak ia mulai menyadari kompleksitas menjadi manusia yang beriman.

Tulisan-tulisannya di halaman-halaman awal sangat rapi, teratur, penuh dengan harapan dan tekad seorang gadis remaja yang percaya bahwa kesalehan adalah garis lurus yang mudah diikuti. Namun, semakin ke bawah, semakin mendekati halaman-halaman terbaru, tulisan itu mulai berubah. Huruf-hurufnya tidak lagi serapi dulu. Terkadang besar dan dengan tekanan kuat yang hampir menembus kertas, terkadang kecil dan meringkuk di sudut halaman seperti ingin menyembunyikan diri. Ada coretan-coretan, kata-kata yang dihapus kasar, dan bercak-bercak kecil yang menggelembung—mungkin tetesan air mata yang tidak sengaja jatuh dan merusak tinta.

Hari ini, halamannya dimulai dengan tulisan yang masih cukup rapi, seolah-olah ia mencoba untuk mempertahankan kendali:

“Hari ini suaraku tidak goyah. Ustazah bilang merdu.”

Kalimat itu berdiri sendiri untuk beberapa baris, seolah-olah ia ragu untuk melanjutkan. Kemudian, dengan penuh pergumulan, ia menambahkan:

“Tapi...”

Kata ‘tapi’ itu dicoret dengan sangat kuat, berulang-akhir, dengan tinta yang begitu pekat hingga hampir merobek kertas. Itu adalah coretan amarah, coretan frustasi terhadap dirinya sendiri. Coretan yang mencoba membunuh keraguan yang muncul, tetapi justru mengukuhkan keberadaannya.

Di bawah coretan itu, dengan tulisan yang lebih kecil, lebih rapat, seolah-olah takut terbaca oleh siapa pun bahkan oleh dirinya sendiri, ia melanjutkan:

“Apakah mereka—apakah dia—mendengar kekusutanku? Apakah ini untuk-Nya, atau untuk pujian mereka?”

“Mereka” adalah semua orang yang mendengarnya. “Dia” adalah Fahmi. Dan “Nya” dengan huruf besar adalah Allah SWT.

Inilah inti dari kegelisahan eksistensial Safira. Ia terjepit dalam dilema abadi antara lillah (karena Allah) dan ghairillah (karena selain Allah). Sebuah pertarungan yang diungkapkan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya: “Sesungguhnya amal-amal itu tergantung pada niat-niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan apa yang dia niatkan,” (HR. Bukhari & Muslim). Niat adalah pembeda yang memisahkan ibadah dari rutinitas, jihad dari pembunuhan, sedekah dari pamer. Dan Safira merasa bahwa niatnya sendiri sedang mengkhianatinya.

Pikirannya menerawang pada sebuah ayat, “Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Allah, dengan mengikhlaskan ketaatan untuk-Nya,” (QS. Al-Bayyinah: 5). Ikhlas. Kata itu terasa begitu mudah diucapkan, tetapi begitu sulit untuk diwujudkan dalam setiap detak jantung dan setiap helaan napas.

Ia bukan tidak memahami teori-teori keikhlasan. Di rak bukunya terdapat kitab Madarijus Salikin karya Ibnul Qayyim, yang dengan detail membedah ratusan tingkat dan penyakit hati. Ia tahu bahwa riya’ ada yang kasar (jala) dan halus (khafi). Riya’ kasar adalah ketika seseorang secara terang-terangan pamer amal. Sedangkan riya’ halus adalah ketika seseorang merasa senang ketika mengetahui orang lain memuji amalnya, meskipun awalnya tidak bermaksud untuk dipuji.

Apakah yang ia rasakan termasuk yang kedua? Apakah kebahagiaan yang ia rasakan ketika Ustazah memujinya adalah bentuk dari ‘ujub (kagum pada diri sendiri) yang merupakan pintu gerbang menuju riya’?

Ia menulis lagi, dengan lebih dalam:

“Aku tahu, dalam sebuah hadits Qudsi, Allah berfirman: ‘Aku adalah sekutu yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa yang melakukan suatu amalan dengan mempersekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku tinggalkan dia dan sekutunya,’ (HR. Muslim).

“Apakah pujian mereka adalah ‘sekutu’ bagiku? Apakah keinginanku untuk didengar ‘dia’ adalah sekutu yang akan membuat Allah meninggalkanku? Aku takut, Ya Allah. Aku sangat takut. Ketakutan ini sendiri membuatku lelah. Apakah ini termasuk was-was dari setan? Atau ini adalah peringatan dari-Mu?”

Tulisan ini menunjukkan kedewasaan berpikirnya, tetapi juga beban yang ia pikul sebagai seorang remaja. Di usianya yang masih belia, ia sudah memikul pertanyaan-pertanyaan teologis dan psikologis yang berat. Ini adalah bagian dari proses pendewasaannya—sebuah rite of passage spiritual dimana ia tidak lagi menerima dogma secara mentah-mentat, tetapi mencoba untuk mencernanya, mempertanyakannya, dan pada akhirnya, memilikinya secara personal.

Diary biru ini adalah confidante-nya, satu-satunya tempat ia bisa menjadi lemah tanpa dihakimi. Dalam dunia nyata, ia adalah Safira yang kuat, santriwati teladan, muadzah dengan suara merdu. Tapi di sini, ia adalah Safira yang rapuh, yang mempertanyakan segalanya, yang haus akan kepastian dalam dunia yang penuh dengan syubhat (hal-hal samar).

Ia teringat akan kisah para salafus shaleh yang begitu takut akan riya’ hingga mereka menyembunyikan amal-amal mereka lebih daripada orang lain menyembunyikan dosa-dosa mereka. Seorang among them ada yang pingsan ketika dipuji. Apakah ia harus mencapai tingkat seperti itu? Apakah perasaan tidak nyaman ini adalah tanda bahwa ia berada di jalan yang benar?

Lalu, pikirannya kembali kepada Fahmi. Kenapa kehadirannya begitu mengganggu konsentrasinya? Apakah ini hanya sekadar ketertarikan fisik belaka, atau ada sesuatu yang lebih dalam? Apakah ini adalah ujian dari Allah untuk mengukur keikhlasannya?

Ia menuliskan sebuah doa, sebuah permohonan yang tulus dari lubuk hatinya yang paling dalam:

“Ya Allah, jika ketertarikan ini tidak baik untukku dan agamaku, maka cabutlah ia dari hatiku. Dan jika ia baik untukku, maka tetapkanlah hatiku padanya, dan jadikanlah ia jalan untuk semakin dekat kepada-Mu. Jangan biarkan syahwaku mengalahkan akalku, dan jangan biarkan cinta pada makhluk-Mu mengalahkan cintaku pada-Mu.”

Doa ini adalah doa yang diajarkan oleh para ulama ketika seseorang merasakan ketertarikan pada lawan jenis. Sebuah doa yang meminta filterisasi ilahi—jika itu buruk, dihilangkan; jika baik, diberkahi.

Menuliskan doa itu memberinya sedikit ketenangan. Ia merasa telah mengambil langkah proaktif dalam mengelola perasaannya, tidak hanya menjadi korban dari gejolak emosi.

Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama. Sebuah pikiran lain muncul. Bagaimana jika perasaan ini adalah ujian yang harus dihadapi, bukan dihindari? Bagaimana jika Allah sengaja menempatkan Fahmi dalam pandangannya untuk mengajarkannya sesuatu tentang cinta, keikhlasan, dan pengorbanan?

Ia membayangkan wajah Fahmi, senyumnya, caranya memimpin tadarus dengan penuh wibawa namun rendah hati. Ia bukanlah lelaki sembarangan. Ia adalah seorang hafidz, seseorang yang telah menghafalkan kitabullah. Mungkin, ketertarikannya bukan hanya fisik, tetapi juga spiritual. Mungkin, jiwanya secara tidak sadar tertarik pada cahaya iman yang dibawa oleh Fahmi.

Ini adalah pembenaran yang berbahaya, dan Safira menyadarinya. Setan bisa sangat halus dalam menipu, dengan membungkus syahwat dalam kemasan spiritualitas.

Dilema ini membuatnya kembali mencoret-coret diarynya. Sebuah gambar abstrak, garis-garis yang tidak karuan, mencerminkan kekacauan dalam pikirannya.

“Aku terjepit,” tulisnya finally, dengan huruf-huruf yang lunglai. “Antara keinginan untuk memendam semua perasaan ini dan membunuhnya karena takut riya’, dan keinginan untuk memahaminya sebagai sesuatu yang alami dan manusiawi. Antara takut pada dosa dan harapan akan berkah. Apa yang harus kulakukan?”

Pertanyaan itu menggantung di akhir halaman, tanpa jawaban. Ia menatapnya untuk waktu yang lama, seolah-olah mengharapkan tinta-tinta itu berbicara dan memberinya solusi.

Kemudian, dengan sebuah napas penuh penentuan, ia memutuskan untuk tidak membiarkan pertanyaannya menggantung begitu saja. Ia harus bertindak. Ia harus mencari jawaban.

Ia mengambil ponselnya lagi. Layarnya masih menyala, menunjukkan draft email yang belum terkirim kepada ustadz penulis buku Tazkiyatun Nafs. Ia menghapus draft yang setengah jadi itu. Itu bukan jalannya. Mengirim email kepada seorang ustadz yang tidak ia kenal merasa terlalu impersonal untuk masalah yang begitu personal dan mendalam.

Lalu, apa?

Matanya jatuh pada kotak amal kayu di sudut kamarnya. Kotak yang sudah tidak terpakai itu tiba-tiba terlihat seperti sebuah peti harta, sebuah tempat untuk menyimpan rahasia dan mendapatkan jawaban.

Sebuah ide gila muncul di kepalanya. Sebuah ide yang begitu nekad, begitu penuh risiko, tetapi terasa sangat right pada saat itu.

Cliffhanger: Dengan jantung berdebar kencang, Safira mengambil selembar kertas baru dari diary-nya. Ia tidak menulis untuk dirinya sendiri kali ini. Ia menulis dengan jelas dan rapi, sebuah pertanyaan yang ia bungkus dalam kerendahan hati dan kebingungan yang tulus. Ia melipat kertas itu empat kali, hingga menjadi sangat kecil. Kemudian, dengan langkah yang ditentukan oleh sebuah campuran antara keputusasaan dan harapan, ia berjalan keluar kamarnya menuju koridor utama dekat masjid, di mana kotak amal besar untuk pembangunan perpustakaan baru sedang dipajang. Dengan satu kali menengok ke sekeliling, ia menyelipkan kertas kecil itu melalui celah kotak, bersembunyi di antara lembaran-lembaran uang. Ia tidak tahu apakah ini adalah solusi atau hanya pelarian yang lain. Yang ia tahu, ia telah melemparkan kegelisahannya ke alam semesta, dan sekarang ia harus menunggu untuk melihat apakah alam semesta akan membalasnya. Siapa yang akan menemukan kertas itu? Dan apa yang akan terjadi kemudian?

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel