Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bayangan Sang Hafidz di Balik Jendela

Pikirannya melayang, dan dunia sekelilingnya—kamar yang sunyi, diary yang terbuka, lampu belajar yang hangat—seketika memudar. Ia terhanyut dalam arus kenangan yang baru saja terjadi beberapa jam lalu, sebuah momen singkat yang terpatri begitu dalam di benaknya, seolah disinari oleh sorot lampu khusus.

Pagi tadi, usai mengumandangkan azan dengan gemetar dan harap, usai menerima pujian yang terasa seperti duri, Safira mencari pelarian. Dia menyelinap ke perpustakaan, bukan untuk membaca, tetapi untuk bersembunyi. Dia memilih meja paling belakang, dekat jendela besar yang menghadap ke lapangan basket pesantren putra. Di sanalah, di balik tirai jendela yang agak terbuka, dia menjadi penonton diam bagi sebuah dunia yang terasa begitu berbeda dengan dunianya yang penuh dengan keraguan dan introspeksi.

Dan kemudian, dia melihatnya.

Fahmi.

Dia tidak sendirian. Dia ditemani oleh beberapa teman seangkatannya, semuanya bersorban putih, membawa kitab dan buku catatan, sepertinya baru saja keluar dari kelas tahfiz. Tapi Fahmi berbeda. Di tengah kelompok itu, dialah yang paling mencolok. Bukan karena penampilannya yang memang lebih tampan, tetapi karena caranya membawa diri. Ada aura percaya diri yang memancar darinya, bukan jenis sombong yang mengganggu, melainkan keyakinan yang tenang, seperti batu karang yang tak tergoyahkan oleh ombak.

Cara berjalannya tegap namun santai, seolah dunia tidak memiliki beban yang mampu membuatnya membungkuk. Dia tersenyum pada sesuatu yang dikatakan seorang temannya, dan senyum itu—oh, senyum itu—bukan sekadar lekukan di bibir. Senyum itu mencapai matanya yang tajam namun berbinar, menciptakan kantung-kantung kecil di sudutnya, dan untuk sesaat, seolah menyinari sekelilingnya. Itu adalah senyum seorang yang damai dengan dirinya sendiri, seorang yang yakin akan jalannya, seorang yang tidak menghabiskan energinya untuk meragukan setiap nafas yang diambilnya.

Safira, dari balik jendela, merasa seperti melihat sebuah lukisan hidup. Sebuah kontras yang begitu sempurna, begitu menyiksa. Di satu sisi, ada Fahmi, dengan keyakinannya yang kokoh, senyumnya yang mudah, dan langkahnya yang pasti menuju lapangan basket—sebuah simbol dari keseimbangan antara dunia spiritual dan duniawi. Di sisi lain, ada dirinya, bersembunyi di balik jendela, dengan hati yang berdebar-debar bukan karena olahraga, tetapi karena kegelisahan eksistensial, dengan senyum yang dipaksakan, dan dengan langkah yang selalu dihantui oleh pertanyaan "apa niatku?"

Dia merasa kerdil. Dia merasa... palsu.

Dan di situlah bisikan setan itu mulai bekerja, menyelinap melalui celah-celah kelemahannya.

"Lihatlah dia. Begitu mudahnya. Begitu yakinnya. Tidak seperti kamu, yang selalu meragukan segalanya, bahkan meragukan keraguanmu sendiri. Apakah kamu pikir seseorang seperti dia akan tertarik pada seseorang yang serapuh dan serumit kamu? Dia membutuhkan seseorang yang sama kuatnya, sama yakinnya. Bukan seorang gadis yang bersembunyi di balik jendela dan menangis di diary."

Bisikan itu menusuk tepat di sasaran. Rasa tidak amannya. Ketakutannya untuk tidak cukup baik, tidak cukup shalehah, tidak cukup ikhlas.

Dengan tangan yang sedikit gemetar, hampir secara refleks, dia membuka diary birunya yang sudah terbuka di meja. Dia tidak menulis dengan rapi kali ini. Dia menulis dengan cepat, dengan tekanan yang kuat, seolah ingin mengeluarkan racun yang baru saja menyusup ke dalam pikirannya.

“Aku melihatnya tersenyum.” Dia berhenti sejenak, menatap kata-kata itu, merasakan getaran aneh di dadanya. Lalu, tanpa bisa menahan diri, dia meneruskan, menuruti bisikan keji itu: “Apakah ada sedikit kesombongan di sini, karena ingin dilihat oleh senyum itu?”

Begitu kata itu tertuang di kertas, sebuah rasa malu dan jijik yang mendalam menyergapnya. Astagfirullahal 'adzim...

Dia segera mencoret kalimat terakhir itu dengan kasar, hampir merobek kertas. Air mata mulai menitik di pelupuk matanya. Ini bukan lagi tentang Fahmi. Ini tentang dirinya sendiri. Ini tentang ketakutannya yang begitu besar hingga membuatnya memproyeksikan ketidakmurnian niatnya sendiri kepada orang lain. Ini adalah mekanisme pertahanan diri yang buruk—menuduh orang lain atas kelemahan yang ia rasakan dalam dirinya sendiri.

Dia menyadari sesuatu yang mengerikan: dia sedang menuduh Fahmi sombong, hanya karena dia sendiri merasa tidak aman dan tidak yakin.

Ini adalah penyakit hati yang lain, yang bahkan lebih berbahaya daripada riya': su'u adz-dzann (berprasangka buruk). Rasulullah SAW bersabda, “Hati-hatilah kalian dari prasangka, sesungguhnya prasangka itu adalah sedusta-dusta pembicaraan,” (HR. Bukhari-Muslim).

Dia telah berprasangka buruk terhadap Fahmi, menghakiminya tanpa bukti, hanya karena perasaannya sendiri yang kacau. Dia merasa makin rendah diri. Bukan hanya karena kekurangan yang ia rasakan, tetapi karena dosa baru yang baru saja ia lakukan dalam pikirannya.

Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Dia memandang keluar jendela kamarnya, menghadap kiblat. Dia perlu bantuan. Dia perlu mengingatkan dirinya sendiri tentang kebenaran.

Fahmi adalah seorang hafidz. Seseorang yang telah menghafalkan Al-Qur'an 30 juz. Itu adalah prestasi spiritual yang luar biasa, yang membutuhkan disiplin, kesabaran, dan tentu saja, niat yang tulus. Mustahil seseorang bisa melalui proses yang begitu melelahkan hanya dengan mengandalkan kesombongan. Pasti ada keikhlasan di sana, setidaknya sebagian.

Allah berfirman dalam surah Al-Qamar, “Dan sungguh, telah Kami mudahkan Al-Qur'an untuk peringatan. Adakah orang yang mau mengambil pelajaran?” (QS. Al-Qamar: 17). Kemudahan itu diberikan kepada mereka yang niatnya tulus. Safira yakin, Fahmi adalah di antara mereka.

Lalu, mengapa dia begitu mudah menyimpangkan pikirannya? Mengapa dia begitu cepat menuduhnya?

Jawabannya kembali kepada dirinya sendiri. Ini adalah cermin dari pertempuran internalnya. Ketika seseorang tidak aman dengan niatnya sendiri, dia akan menjadi mudah mencurigai niat orang lain. Ketika seseorang bergumul dengan kesombongan, dia akan melihat bayangan kesombongan itu di mana-mana, bahkan pada orang yang paling tulus sekalipun.

Ini adalah pelajaran yang pahit namun penting dalam pendewasaannya. Dewasa secara spiritual bukan hanya tentang mengendalikan tindakan, tetapi juga tentang memurnikan pikiran dan prasangka. Dewasa adalah ketika dia bisa melihat kebaikan pada orang lain tanpa merasa terancam, dan ketika dia bisa mengakui kelemahan sendiri tanpa harus merendahkan orang lain.

Dia membuka diarynya lagi. Di bawah coretan-coretan amarahnya, dia mulai menulis dengan lebih kalem, lebih reflektif. Tulisan ini adalah sebuah proses pemurnian.

“Astagfirullahal 'adzim... Aku meminta ampun kepada-Mu atas prasangka burukku. Ya Allah, ampuni aku. Aku yang lemah, aku yang tidak yakin, justru menuduh orang lain tidak tulus. Betapa hinanya diriku.”

“Ya Allah, anugerahkanlah kepadanya kebaikan dan tambahkanlah ilmu dan keikhlasannya. Janganlah Engkau hukum aku karena prasangka burukku itu. Dan anugerahkanlah kepadaku ketenangan hati dan keyakinan yang dia miliki. Bukan untuk menyamainya, tetapi untuk mendekatkan diri pada-Mu.”

Perubahan dalam doanya signifikan. Dia tidak lagi meminta untuk dihilangkan perasaannya, atau untuk "mendapatkan" Fahmi. Dia meminta untuk diteladani ketenangannya, untuk didekatkan pada Allah melalui prosesnya sendiri. Ini adalah langkah kecil menuju kedewasaan.

Dia menyadari bahwa ketertarikannya pada Fahmi, pada dasarnya, adalah ketertarikan pada kualitas spiritual yang dia miliki—keyakinan, ketenangan, dan kekuatan iman. Itu adalah hal-hal yang juga ia idam-idamkan untuk dirinya sendiri. Mungkin, ini adalah cara Allah menunjukkannya pada cita-cita spiritual yang harus diraihnya.

Dia menutup diarynya, merasa sedikit lebih tenang. Pertempuran hari ini belum usai, tetapi setidaknya dia telah memenangkan satu babak kecil—melawan prasangka buruknya sendiri.

Bayangan Fahmi tersenyum di lapangan basket itu masih ada di pikirannya, tetapi sekarang tidak lagi terasa seperti sebuah ancaman atau sebuah cermin yang menyoroti kelemahannya. Sekarang, itu terasa seperti sebuah reminder, sebuah tujuan tidak langsung. Bukan untuk memiliki lelaki itu, tetapi untuk memiliki kualitas-kualitas yang membuatnya begitu memesona—bukan secara fisik, tetapi secara spiritual.

Dia berjanji pada dirinya sendiri untuk berhenti mengobservasi Fahmi dari balik jendela. Itu hanya akan membuka pintu untuk lebih banyak prasangka dan gangguan. Sebaliknya, dia akan fokus pada perjalanannya sendiri. Dia akan menjadikan ketertarikannya sebagai motivasi untuk membersihkan hatinya, bukan sebagai sumber keraguan yang baru.

Namun, di sudut hatinya yang paling dalam, sebuah pertanyaan kecil masih tersisa: Bagaimana mungkin dia bisa fokus pada perjalanannya sendiri, jika setiap langkahnya, setiap salatnya, setiap azannya, masih saja terhubung dengan bayangan senyum itu? Bagaimana memutuskan ikatan yang sudah terikat, meski hanya dalam pikiran?

Pertanyaan itu menggantung, tanpa jawaban. Dan Safira tahu, itu adalah pertanyaan yang akan menghantuinya untuk waktu yang lama. Perjalanan untuk memurnikan niat adalah perjalanan seumur hidup, dan hari ini, dia baru saja menyadari betapa dalam dan berlikunya jalan itu.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel