Ruang Sunyi yang Menjadi Saksi
Pintu kayu kamar asramanya tertutup dengan sebuah bunyi klik yang lembut namun pasti, seolah memutuskan hubungannya dengan dunia luar. Segala suara dari koridor—obrolan santriwati, langkah kaki, gemerincing gelang—tiba-tiba meredam menjadi bisikan yang nyaris tak terdengar. Inilah ruangannya. Seluas mungkin delapan meter persegi, tetapi seluas itulah pula alam pikirannya bisa mengembara tanpa batas.
Kamar itu sederhana, bersih, dan berisi hanya yang esensial. Sebuah tempat tidur tunggal dengan sprei warna hijau muda—warna kesukaannya, warna surga dan ketenangan. Sebuah meja belajar dari kayu jati yang sudah berumur, penuh dengan coretan-coretan kecil dan noda tinta yang menjadi saksi bisu dari berjam-jam menghafal dan memahami. Di atasnya, sebuah lampu belajar dengan penerangan yang hangat, siap menemaninya hingga larut. Dan sebuah rak buku yang seolah menjadi tiang penyangga kamar itu, dipenuhi dengan kitab-kitab kuning berjilid kulit, buku pelajaran sekolah, dan sederet novel-novel yang menjadi pelariannya—dari Tere Liye hingga Habiburrahman El Shirazy.
Ini adalah ruang keramatnya. Sebuah mihrab pribadi dimana tidak ada yang menjadi imam selain hatinya, dan tidak ada yang menjadi makmum selain pikirannya yang paling jujur. Di sini, semua topeng kesalehan, semua senyum penuh tata krama, semua anggukan patuh yang dia peragakan di luar, bisa dilepas dengan letihan yang mendalam. Dinding-dinding putih ini adalah satu-satunya teman yang mengetahui jeritannya yang tak terdengar, air matanya yang tersembunyi, dan keraguannya yang paling dalam.
Dengan gerakan lambat yang penuh kelegaan, tangannya yang halus namun tegas—tangan seorang penghafal Quran yang telah membalik ribuan halaman—meraih ujung jilbab cornflower blue-nya. Dia melepasnya, sehelai demi sehelai kain itu terlepas dari kepalanya, mengungkapkan rambutnya yang hitam legam, panjang, dan terurai seperti sutra. Pelepasan jilbab ini bukanlah sebuah pembebasan dari kewajiban, melainkan sebuah pembebasan dari penilaian. Di ruang ini, di hadapan cermin kecil di mejanya, dia bukan lagi "Safira si Muadzah", "Safira santriwati teladan". Dia hanya Safira. Seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang sedang kebingungan, rentan, dan haus akan kepastian.
Dia menjatuhkan diri ke tempat tidurnya, tubuhnya tenggelam dalam kasur yang nyaman. Untuk pertama kalinya sejak azan berkumandang, sejak dia menerima senyuman dan pujian, sejak percakapan singkat dengan Najla, dia menghela napas panjang dan dalam. Sebuah helaan napas yang seolah ingin mengeluarkan semua beban tak terlihat yang telah menumpuk di pundaknya seharian. Beban untuk menjadi sempurna. Beban untuk memenuhi ekspektasi. Beban untuk menyembunyikan gejolak yang justru membuatnya merasa sangat manusiawi, sangat tidak suci.
Matanya menatap langit-langit kamar yang putih polos. Di sanalah layar imajinasinya memproyeksikan semua kejadian tadi. Dia melihat dirinya sendiri berdiri di mihrab, mulutnya terbuka mengumandangkan kalimat tauhid. Tapi bayangan itu buram, dan suaranya sendiri terdistorsi dalam ingatannya, seolah bukan dia yang melakukannya.
“Maka apakah orang yang dijadikan (setan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik...” (Q.S. Fathir: 8). Ayat itu menyelinap ke dalam pikirannya, membuatnya bergidik. Apakah dia sudah seperti itu? Apakah setan telah membungkus keraguannya dan keinginannya untuk dipuji menjadi sesuatu yang terlihat baik, sehingga dia meyakini bahwa semua pujian itu adalah hal yang wajar? Ini adalah ketakutan eksistensial yang menggerogoti para pemikir dan orang-orang yang menyadari kedalaman jiwa mereka.
Dia membalikkan badan, memandangi rak bukunya. Kitab-kitab itu seolah menatapnya balik, menuntut pertanggungjawaban. Apa gunanya menghafal ribuan ayat jika hati masih bisa dikhianati oleh sebuah pandangan? Apa gunanya memahami tata bahasa Arab jika niat dalam hati sendiri tidak bisa dia pahami dengan jelas?
Rasulullah SAW bersabda, “Hati itu ibarat sehelai bulu di padang pasir yang dibolak-balikan oleh angin.” (H.R. Ahmad). Hari ini, Safira merasakan kebenaran hadits itu secara langsung. Hatinya adalah bulu itu. Terombang-ambing antara keinginan untuk ikhlas dan keinginan untuk diakui, antara cinta pada Allah dan ketertarikan pada seorang hamba-Nya, antara keyakinan dan keraguan. Anginnya adalah setiap pujian, setiap pandangan, setiap bisikan setan yang begitu halus sehingga hampir tidak bisa dibedakan dari suara hatinya sendiri.
Dia bangkit dan berjalan ke meja belajarnya. Jari-jarinya menelusuri punggung buku-buku di raknya. Dari Bulughul Maram hingga Laskar Pelangi. Dua dunia yang harus dia diami secara bersamaan: dunia hukum-hukum yang pasti dan dunia perasaan yang chaos.
Dia mengambil diary biru tuanya. Buku ini adalah mushaf pribadinya, berisi ayat-ayat pengakuan dosa dan kegelisahan jiwanya. Dia membukanya, dan matanya jatuh pada sebuah entri dari beberapa bulan yang lalu, sebelum semua kegelisahan tentang Fahmi ini mulai membayang.
“Hari ini Ustazah bicara tentang niat. Dia bilang, niat itu seperti ruh bagi jasad. Amal tanpa niat yang benar adalah seperti jasad tanpa ruh—bergerak, tapi tak ada kehidupan di dalamnya. Aku ingin amal-amalku hidup, Ya Allah. Aku ingin mereka bernafas dengan nafas keikhlasan.”
Membaca tulisan lamanya sendiri terasa seperti tamparan. Dia berjanji pada dirinya sendiri, tetapi hari ini dia merasa telah mengkhianati janji itu.
Duduk di kursi kayunya, dia memandang keluar jendela kecil di samping mejanya. Dia bisa melihat sebagian atap masjid dan langit yang mulai berubah warna menjadi jingga keunguan. Keheningan kamarnya begitu nyaring. Dalam kesunyian itulah, semua suara batinnya yang selama ini ditahan akhirnya berbicara dengan lantang.
“Kamu munafik, Safira.” “Tidak, aku hanya manusia. Aku berjuang.” “Berjuang untuk siapa? Untuk Allah, atau untuk citramu?” “Aku tidak tahu... Astagfirullah, aku benar-benar tidak tahu.”
Dialog batin ini adalah sebuah siksaan sekaligus pemurnian. Dia sedang mengalami apa yang dalam psikologi perkembangan remaja disebut sebagai "krisis identitas". Dia tidak lagi hanya menerima nilai-nilai yang diajarkan (conventional morality), tetapi mulai mempertanyakan, menguji, dan berusaha memiliki nilai-nilai itu secara personal (post-conventional morality). Dia sedang dalam transisi dari menjadi seorang gadis yang taat karena diperintahkan, menjadi seorang wanita yang taat karena memilih untuk taat dengan kesadaran penuh. Dan proses ini menyakitkan.
Tiba-tiba, pandangannya tertuju pada sebuah buku kecil yang terselip di antara tumpukan kitab. Sampulnya sederhana, hijau tua. Sebuah buku yang dia dapatkan dari acara seminar bulan lalu, tetapi belum sempat dibaca. Judulnya tertulis sederhana: “Tazkiyatun Nafs: Mensucikan Jiwa” karya seorang ustadz yang tidak terlalu terkenal.
Sebuah desakan hati yang kuat mendorongnya untuk mengambil buku itu. Seolah-olah ada kekuatan yang membimbing tangannya. Dia membukanya secara acak, dan matanya langsung tertuju pada sebuah sub-bab di halaman itu.
“Bentuk-Bentuk Riya’ yang Halus.”
Dadanya berdebar kencang. Jari-jarinya gemetar sedikit. Ini seperti sebuah jawaban langsung dari langit untuk pertanyaannya hari ini.
Dia mulai membaca, dan setiap kalimatnya seperti pisau yang membedah jiwanya.
“...dan di antara riya’ yang halus adalah ketika seseorang beramal dengan khusyuk karena mengetahui ada orang yang melihatnya... atau ketika seseorang bersedih jika amal baiknya tidak diketahui orang lain... atau ketika seseorang merasa senang jika amalannya dipuji, dan merasa sedih jika tidak ada yang memuji...”
Safira merasa semakin terpojok. Itu adalah dia. Itu adalah tepat apa yang dia alami hari ini.
Lalu, matanya menangkap sebuah paragraf yang hampir membuatnya menangis.
“Lalu, bagaimana membedakan antara perasaan senang secara alami karena dipuji dengan riya’? Perasaan senang secara alami adalah sesuatu yang manusiawi dan cepat berlalu. Ia tidak mempengaruhi niat awal amalnya. Sedangkan riya’ akan membuatmu mengubah amalmu, menunjukkannya, atau bahkan berharap pujian sebelum amal itu dilakukan. Riya’ adalah penyakit yang aktif menggerogoti, bukan hanya perasaan pasif.”
Dia membacanya berulang-ulang. Apakah dia mengubah azannya? Tidak. Apakah dia sengaja menunjukkannya? Juga tidak. Tapi dia berharap pujian? Dia berharap didengar? Itu yang masih menjadi pertanyaan.
Ini adalah proses pendewasaan yang menyakitkan: menyadari bahwa kesucian hati adalah sebuah peperangan yang tidak pernah berakhir, bukan sebuah keadaan yang sekali dicapai lalu selesai.
Dia menutup buku itu, memegangnya erat-erat. Ruang sunyi ini sekali lagi menjadi saksi dari sebuah pertempuran besar dalam dirinya. Saksi dari seorang remaja yang berusaha menjadi dewasa, bukan hanya dalam usia, tetapi dalam iman dan integritas.
Kegelapan mulai menyelimuti luar, dan kamarnya hanya diterangi oleh lampu mejanya yang hangat. Dalam kesendirian ini, dia merasa sangat kecil, sangat tidak berdaya. Tapi juga, untuk pertama kalinya hari ini, dia merasa jujur. Dia tidak berpura-pura di hadapan dinding-dinding ini.
Dia mengambil diarynya lagi dan mulai menulis. Kali ini, tulisannya lebih tenang, lebih reflektif. Dia tidak lagi menyalahkan diri sendiri dengan keras, tetapi mengakui kelemahannya dan bertekad untuk berjuang.
“Ya Allah, aku lemah. Aku tidak bisa membersihkan hatiku sendiri. Butuh pertolongan-Mu. Bantulah aku untuk ikhlas. Jadikan setiap suara yang keluar dari mulutku, setiap huruf yang kubaca dari Kitab-Mu, setiap langkah kakiku menuju masjid-Mu, hanya untuk-Mu. Jika ada niat lain, cabutlah ia. Jika ada keinginan untuk dilihat selain oleh-Mu, matikanlah ia. Aku ingin datang kepada-Mu dengan hati yang selamat.”
Doa ini adalah sebuah klimaks dari segmen ini. Sebuah pengakuan ketidakberdayaan dan sekaligus sebuah deklarasi ketergantungan mutlak pada Sang Pencipta.
Dia menutup diarynya, meletakkannya di dekat bantalnya. Kamarnya masih sunyi, tetapi sekarang sunyi itu terasa menemani, bukan menghakimi. Dia telah melewati sebuah episode peperangan batin dan keluar dengan sebuah komitmen baru untuk lebih waspada, lebih mendalami ilmunya, dan lebih bersandar pada Allah.
Akan tetapi, perjalanannya belum selesai. Sebelum dia berdiri untuk berangkat ke masjid untuk salat Isya, matanya sekali lagi jatuh pada buku hijau “Tazkiyatun Nafs” itu. Sebuah ide muncul. Sebuah ide yang berbahaya, tapi mungkin juga sebuah ide yang akan memberinya jawaban.
Dia membuka buku itu lagi ke halaman terakhir, dimana terdapat biografi singkat penulisnya. Dan di sana, tercetak sebuah alamat email dan sebuah akun media sosial untuk bertanya seputar masalah agama.
Jantungnya berdebar-debar. Sebuah pintu lain terbuka. Sebuah cara lain untuk mencari jawaban tanpa harus membuka identitasnya.
Safira menatap layar ponselnya yang telah dia ambil dari laci. Jempolnya melayang di atas tuts, ragu-ragu. Haruskah dia? Apakah ini adalah jalan keluar yang diberikan Allah, atau justru sebuah godaan baru untuk mencari-cari pembenaran? Dia memasukkan alamat email itu, dan mulai mengetik: “Assalamu’alaikum Ustadz, saya ingin bertanya tentang sebuah perasaan...” Namun, sebelum dia menyelesaikan kalimatnya, sebuah notifikasi dari Najla tiba-tiba muncul di bagian atas layar, membuatnya kaget.
“Fira, kamu lagi dimana? Cepetan ke masjid! Fahmi lagi cariin orang untuk bagi-bagi tugas jadi moderator seminar minggu depan! Ini kesempatan kita!”
Pesan itu terasa seperti sebuah tamparan realitas. Dunia luar, dengan segala godaan dan kesempatannya, menerobos masuk ke dalam ruang sunyinya yang baru saja tenang. Apa yang akan dia lakukan? Melanjutkan email yang mungkin adalah bagian dari pencarian jati dirinya, atau berlari menuju kesempatan yang di dalam hatinya, dia tahu, mungkin akan membawanya kembali pada lingkaran keraguan yang sama?
Dia terduduk diam, terjepit di antara dua pilihan, sementara waktu untuk salat Isya semakin mendesak.
