
Ringkasan
Di dunia yang serba cepat, penuh distraksi, dan tekanan sosial, tiga hati muda berusaha memahami makna cinta, iman, dan harga diri.
Doa di Balik Pintu Mihrab
Senja di Peraduan Kata
Cahaya senja menyirami kompleks Pesantren Modern “Al-Ikhlas” laynya emas cair, menciptakan bayangan-bayangan panjang yang seakan turut mengaji bersama angin sore. Di langit, jingga dan ungu berkelana, lukisan Allah yang tak pernah sama setiap harinya. Senja di sini selalu terasa berbeda; bukan sekadar pergantian siang dan malam, tapi sebuah transisi sakral dimana hiruk-pikuk ilmu duniawi perlahan ditutup oleh gemuruh dzikir dan doa.
Suara gemericik air wudhu dari pancuran-pancuran marmer terdengar seperti musik pengiring bagi ratusan santriwati yang bergegas menuju masjid. Mereka bagai sungai yang mengalir tenang, berhiaskan jilbab-jilbab panjang warna pastel yang desirannya menciptakan symphony kesalehan. Wajah-wajah mereka, ada yang masih dipenuhi polosnya anak kampung, ada yang sudah dihiasi senyum kecerdasan kota, semuanya bersatu dalam satu tujuan: memakmurkan rumah-Nya.
Di tengah arus sungai itu, berjalan perlahan seorang gadis. Safira. Jilbab cornflower blue-nya sedikit tidak rapi, sehelai dua helai rambut hitamnya terlepas dan menari-nari ditiup angin, membingkai wajahnya yang oval dan masih menyisakan letih dari seharian menaklukkan rumus-rumus matematika dan kaidah-kaidah nahwu. Di pelukannya, erat, sebuah buku diary berwarna biru tua dengan gembok kecil terayun-ayun. Itilah “Peraduan Kata”-nya, satu-satunya tempat dimana ia bisa melepas semua topeng dan menjadi Safira yang paling jujur, yang paling rapuh.
Dia menyusuri koridor panjang yang dindingnya dipenuhi kaligrafi ayat-ayat Al-Qur’an. Tangannya yang halus menyentuh dinding dingin itu sejenak, seolah mencari kekuatan. Matanya, warna hazel yang biasanya berbinar penuh curiositas, kini tampak sayu, memandang jauh ke ujung koridor dimana pintu masjid terbuka.
“Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya,” (Q.S. Qaf: 16). Ayat itu terpampang tepat di sebelah pintu masuk. Safira membacanya dalam hati, seperti yang selalu dilakukannya setiap kali lewat. Tapi hari ini, ayat itu terasa seperti sebuah pengadilan, bukan penghiburan. Jika Allah lebih dekat dari urat lehernya, maka Dia pasti tahu segala isi hatinya yang berdesir-desir, segala kegelisahan yang bahkan ia sendiri sulit merangkainya dalam kata.
Desiran jilbab lain mendekat. “Fira, cepat! Azan hampir tiba. Kau yang jadi muadzah hari ini, bukan?” suara Najla, sahabat karibnya, penuh semangat. Wajah Najla selalu bersinar, keyakinannya begitu lurus dan tanpa keraguan, seperti pedang yang terhunus tajam.
Safira memaksakan senyum kecil. “Iya, Na. Aku langsung.”
Najla melirik diary di tangan Safira. “Masih setia sama ‘sahabat’-mu itu? Hati-hati, jangan sampai isinya lebih banyak daripada catatan kitab kuningmu,” candanya sambil menyenggok lengan Safira lembut sebelum berlari meninggalkannya.
Safira hanya bisa menghela napas. Najla tak akan pernah mengerti. Diary ini bukan sekadar tempat curhat. Ini adalah medan pertempurannya, tempat dimana ia berperang melawan nafsunya sendiri, melawan keraguan-keraguan yang menggerogoti ibadahnya.
Dia meneruskan langkah, memasuki ruang utama masjid. Wanita-wanita sudah mulai berkumpul, membentuk shaf-shaf yang rapi. Ustazah Nur, guru tahfiz-nya, memberinya anggukan kecil dan senyum bangga. Safira adalah santriwati andalan, suaranya yang merdu dan jernih seperti kristal membuatnya selalu dipilih untuk mengumandangkan azan, memimpin tadarus, atau melantunkan syair-syair Islami dalam acara-acara pesantren.
Pujian. Itu adalah sesuatu yang selalu ia dapatkan. “Suaramu seperti suara bidadari, Safira.” “Azanmu membuat ayamku ikut berkokok, Dik!” “Khusyu’ sekali tadarusmu.”
Setiap pujian itu seperti air yang menyirami bunganya, tapi juga seperti racun yang perlahan merusak akarnya. Dia mulai bertanya, untuk siapakah suara merdu ini sebenarnya? Untuk Allah, atau untuk telinga-telinga yang mendengarkan dan melontarkan pujian?
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya,” (H.R. Bukhari-Muslim). Hadits pertama yang dia hafalkan, yang dia pahami maknanya sejak kecil. Tapi kini, mempraktikkannya ternyata jauh lebih sulit daripada sekedar menghafal dan mengucapkannya.
Dia berjalan menuju mihrab, tempat dimana dia akan mengumandangkan panggilan Allah. Jantungnya berdebar tidak karuan. Ini bukan debaran karena gugup, tapi debaran karena takut. Takut niatnya tidak lagi jernih. Takut ada setitik saja keinginan untuk didengar, untuk dipuji, yang mengotori panggilan suci itu.
Dia membuka diary birunya, mencoretkan sesuatu dengan cepat sebelum azan dikumandangkan.
“Senja ini, suara azanku akan berkumandang lagi. Tapi bisakah Engkau membersihkan niatku, Ya Rabb? Aku ingin mereka mendengar-Mu melalui suaraku, bukan mendengar suaraku dan lupa pada-Mu. Aku ingin… ingin satu pasang telinga tertentu itu mendengar panggilan-Mu, bukan terpesona oleh nadanya. Tapi, apakah itu murni? Atau ini semua hanya permainan nafsuku? Astagfirullahal ‘adzim…”
Dia menutup diary, mengambil air wudhu dengan air yang dingin, berharap bisa mendinginkan pula kegelisahan hatinya. Air itu mengalir di tangannya, menyegarkan, mengingatkannya pada kesucian. Tapi bisakah air wudhu membersihkan hati yang mulai dikotori oleh keraguan dan keinginan duniawi?
Dia berdiri di depan mikrofon kecil di mihrab. Ratusan pasang mata tertuju padanya. Dia melihat Najla yang tersenyum memberi semangat. Dia melihat Ustazah Nur yang penuh harap. Dan di balik jendela kaca patri, tanpa disengaja, matanya menangkap bayangan seorang lelaki berlalu dengan sorban putihnya. Fahmi. Sang Hafidz. Calon pemimpin tadarus nanti.
Dadanya berdebar lebih kencang. Inikah yang aku takutkan?
Dia menarik napas dalam-dalam, memejamkan mata. Dalam hati, dia berdoa, “Ya Allah, jadikanlah mulutku ini hanya menyebut nama-Mu. Jadikanlah suaraku ini hanya untuk-Mu. Lapangkan dadaku. Dan jika ada debaran ini untuk selain-Mu, maka tenangkanlah.”
Kemudian, dengan suara yang sedikit bergetar di awal, namun semakin jelas dan menggema, dia mulai…
“Allahu Akbar! Allahu Akbar!”
Suaranya membelah senja, menyapu semua bisikan, semua keraguan untuk sesaat. Ia menyanyikan panggilan Ilahi dengan seluruh jiwa yang ia kumpulkan. Tapi di sudut hatinya yang paling dalam, sebuah pertanyaan kecil tetap bersembunyi, “Apakah dia mendengar? Apakah dia tahu ini suaraku?”
Dan saat azan selesai, dan ratusan kepala sujud bersamaan, satu tetes air mata panas mengalir di pipi Safira, tersembunyi di sajadanya. Air mata penyesalan karena mungkin, mungkin sekali, niatnya ternoda. Dan air mata ketakutan, karena betapa sulitnya menjadi ikhlas.
Dia bangkit, dan dengan langkah gontai, dia berjalan keluar masjid, meninggalkan gemuruh doa, menuju kamarnya. Diary biru itu dipeluknya lebih erat. Dia butuh bercerapa. Butuh melimpahkan semua perasaan yang tak bisa ia katakan pada siapapun, bahkan pada Najla.
Kamar asramanya yang sederhana terasa seperti istana sekaligus penjara. Di sinilah dia bebas, tapi di sinilah pula dia berhadapan dengan dirinya yang paling dalam, yang paling gelap.
Dia melepas jilbabnya, rambutnya yang hitam dan panjang terurai. Dia berdiri di depan cermin kecil di mejanya, memandangi gadis di balik kaca itu. Siapa kamu, Safira? Santriwati yang taat? Muadzah dengan suara merdu? Atau seorang gadis yang mulai terpesona oleh bayangan seorang lelaki dan mulai kehilangan kemurnian ibadahnya?
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat),” (Q.S. Al-Hasyr: 18). Ayat itu terngiang. Apa yang telah diperbuat untuk hari esok? Apakah amal yang ternoda masih akan berarti?
Dia membuka diarynya lagi, menulis dengan cepat, seolah takut kehilangan momen untuk jujur pada dirinya sendiri.
“Azanku selesai. Mereka tersenyum. Ustazah Nur mengacungkan jempol. Tapi aku menangis. Aku merasa seperti penipu. Seperti seorang yang menjual suara untuk pujian. Najla bilang suaraku hari ini sangat menyentuh. Tapi, sentuhan macam apa? Sentuhan untuk hati atau untuk perasaan?
Dan… dia. Aku melihatnya lewat. Apakah dia mendengar? Apakah dia tahu? Astagfirullah… kenapa aku masih memikirkannya? Kenapa aku membiarkan bayangannya mengganggu kekhusyu’anku? Ini salah. Ini semua salah.”
Dia menatap tulisan tangannya sendiri, coretan-coretan yang penuh dengan gejolak seorang remaja yang sedang berusaha menjadi dewasa, berusaha memahami kompleksitas iman dan nafsu.
Dia tahu teori-teorinya. Dia hafal ayat-ayat dan hadits tentang niat, tentang ikhlas, tentang menjauhi riya’. Tapi pengetahuan itu bagai pedang tajam yang tak bisa ia ayunkan untuk melindungi dirinya sendiri. Jiwa manusia, seperti firman Allah, memang tempatnya condong pada keburukan (inna an-nafsa laammaratun bissuu’), kecuali yang dirahmati Tuhannya.
Dia berdoa dalam hati, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, kemalasan, sifat pengecut, dan dari godaan dunia serta fitnah kubur.” Doa yang dia hafal, tapi hari ini terasa sangat personal, sangat mendesak.
Matanya berputar-putar di kamarnya, mencari sesuatu, sebuah penyaluran, sebuah cara untuk mengusir kegelisahan yang menggerogoti. Lalu, pandangannya tertuju pada sebuah kotak amal kayu sederhana yang tergeletak di atas mejanya. Itu adalah kotak amal untuk korban gempa di negeri seberang, yang pengumpulannya sudah ditutup seminggu yang lalu, tapi kotaknya belum sempat dikembalikan.
Sebuah ide liar, tidak terduga, muncul di kepalanya. Sebuah cara untuk bertanya tanpa harus membuka diri. Sebuah cara untuk melemparkan kegelisahannya ke alam semesta, berharap ada jawaban yang akan datang, tanpa tahu dari mana.
Dengan tangan yang masih sedikit gemetar, ia mengambil sehelai kertas dari buku catatan pelajarannya. Dia merenung sejenak, memikirkan kata-kata yang tepat. Bagaimana cara merangkai pergumulan batinnya yang begitu kompleks menjadi sebuah pertanyaan sederhana?
Akhirnya, dengan napas tertahan, dia menuliskan satu kalimat saja. Sebuah pertanyaan yang menjadi inti dari segala kegalauannya, kalimat yang mewakili perjuangannya sebagai seorang remaja yang beriman yang mulai merasakan gejolak cinta namun takut akan murka Tuhannya.
“Bagaimana caranya mencintai tanpa melanggar Tuhan?”
Dia melipat kertas itu kecil-kecil, erat, seolah menyembunyikan rahasia terbesarnya, dosa terbesarnya. Jantungnya berdebar kencang, darahnya berdesing di telinganya. Ini gila. Ini sangat tidak rasional. Tapi dia harus melakukan ini. Dia harus melepaskan beban ini dari pundaknya.
Dia berjalan keluar kamar, menuju koridor di dekat mihrab masjid, dimana kotak amal besar masih terpajang, menunggu untuk diambil oleh panitia. Koridor sudah sepi, semua orang masih berada di dalam masjid untuk menunaikan salat sunnah dan wiridan.
Dengan satu kali menengok ke kiri dan kanan, memastikan tidak ada yang melihat, dia menyelipkan kertas kecil yang berisi pertanyaan beraninya itu melalui celah kotak kayu, bersamaan dengan beberapa lembar uang kertas yang dia ambil dari sakunya sebagai kamuflase. Kertas itu jatuh dan menyatu dengan kepingan-kepingan rupiah dan recehan, entah akan dibawa ke mana takdir.
Dia berbalik dan pergi, kembali ke kamarnya. Dadanya masih berdebar, tapi ada perasaan lega yang aneh. Dia telah melemparkan pertanyaannya. Dia telah mempercayakan kegelisahannya pada sesuatu yang lain. Sekarang, tinggal menunggu. Apakah mungkin ada jawaban?
Dia tidak tahu bahwa lipatan kertas kecil itu bukan hanya sekedar pertanyaan. Itu adalah sebuah doa yang dikirimkan dengan diam. Itu adalah benih dari sebuah cerita yang akan mengubah hidupnya selamanya. Itu adalah langkah pertama Safira dalam perjalanan panjangnya untuk menemukan jawaban bukan hanya tentang cinta, tetapi tentang ikhlas, tentang dewasa, dan tentang menemukan Tuhannya dalam setiap detak jantungnya.
