Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Lantang di Luar, Sunyi di Dalam

Dari dalam masjid, suara azannya sendiri masih terngiang-ngiang di kepalanya, bergema dalam ruang kesadaran yang paling privat. Itu adalah suara yang lain, bukan suara yang didengar orang lain. Di telinganya, setiap "Hayya 'alash sholah" dan "Hayya 'alal falah" terasa seperti sebuah pemeriksaan diri yang panjang. Setiap nada, setiap getaran pita suaranya, dianalisis ulang dengan kejam. Apakah ada kesombongan di sana? Apakah ada keinginan untuk dianggap merdu? Apakah niatnya sempat goyah ketika bayangan itu melintas di jendela?

Suara itu—yang bagi orang lain terdengar lantang, jelas, dan dihiasi dengan maqam Bayyati yang indah dan menyentuh—baginya adalah sebuah topeng. Sebuah performa yang hampir sempurna. Dan itu yang paling menyakitkan. Dia tahu seni mengolah suara, tahu teknik pernafasan diafragma yang membuat suaranya tetap stabil dan bulat, tahu kapan harus menaikkan nada untuk menciptakan efek emosional. Pengetahuan itu, yang seharusnya menjadi alat untuk memuliakan Allah, justru menjadi sumber keraguannya. Apakah ini seni untuk-Mu, Ya Allah, atau seni untuk pujian manusia?

Beberapa santriwati junior mendatanginya usai salat, mata mereka berbinar-binar. “Kak Safira, suara Kakak merdu sekali. Bikin hati jadi adem,” ujar salah seorang dari mereka. “Iya, jadi lebih khusyuk salatnya,” tambah yang lain.

Safira memaksakan senyum, dadanya sesak. “Alhamdulillah. Itu semua karunia Allah,” jawabnya, sebuah kalimat standar yang dia lancarkan tanpa benar-benar merasakannya dalam hati. Dia merasa seperti seorang penipu. Mereka memuji kemurnian yang mereka duga, tapi mereka tidak melihat lumpur keraguan yang mengotori sumbernya.

Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya yang paling aku takuti atas kamu adalah syirik kecil.” Para sahabat bertanya, “Apakah syirik kecil itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Yaitu riya’. Allah ‘azza wa jalla berfirman pada hari pembalasan, ‘Pergilah kepada orang-orang yang kamu tunjuki amalmu di dunia, lalu lihatlah apakah kamu mendapat balasan dari mereka?’” (H.R. Ahmad).

“Pergilah kepada orang-orang yang kamu tunjuki amalmu…” Kalimat itu menghantamnya seperti pukulan. Bayangkan, di akhirat nanti, amal yang ternoda riya’ akan ditolak oleh Allah dan disuruh untuk meminta balasan kepada orang yang dia tunjuki amalnya. Orang-orang yang dia harapkan pujiannya. Itu adalah kehinaan yang paling akhir. Dan Safira takut, amal-amal indahnya, termasuk azannya yang merdu, akan bernasib seperti itu. Dia beramal untuk Allah, tetapi juga, diam-diam, untuk dilihat manusia.

Najla menyambutnya dengan pelukan. “Wah, hari ini suaramu especially powerful, Fira! Aku lihat bahkan Ustazah Fatimah sampai mengusap air mata.” Najla adalah sebongkah keyakinan padat. Baginya, beramal itu ya beramal. Niatnya sudah ikhlas sejak dalam hati, lalu dieksekusi. Dia tidak pernah membedah-dbedah niatnya sampai ke tingkat sel seperti yang dilakukan Safira.

“Alhamdulillah,” Safira kembali mengucapkan, kali ini suaranya hampir seperti bisikan. Dia tidak sanggup menatap mata Najla yang jernih dan penuh kebanggaan untuknya. Keterusterangan Najla justru menjadi cermin yang menyoroti kekacauan batinnya sendiri.

“Apa kamu nggak lihat, tadi Fahmi dan teman-temannya juga berhenti sebentar di luar mendengarkan lho sebelum lanjut ke masjid mereka?” bisik Najla dengan mata berbinar, menjabak tumpukan perasaan bersalah Safira.

Safira membeku. Darahnya seolah berhenti mengalir. Dia mendengar. Fahmi mendengar. Itu adalah kabar yang sekaligus membuatnya berdebar-debar dan ingin menangis. Keinginan terpendamnya terpenuhi, tetapi itu justru menjadi bukti bagi dirinya sendiri bahwa ada niat lain yang menggerogoti kesucian azannya.

“Nggak… nggak lihat,” jawab Safira, suaranya serak. “Ayo, kita bereskan mukena.”

Dia berbalik, menghindari pandangan Najla. Kekosongan yang dia rasakan tadi semakin menjadi. Seolah ada jurang yang menganga antara apa yang orang lain lihat dan dengar—seorang Safira yang khusyuk dan berbakat—dengan apa yang ada di dalam dirinya—seorang gadis yang kebingungan, penuh keraguan, dan takut akan kemunafikan.

Dia merenungkan ayat, “Dan janganlah kamu menujukan pandanganmu kepada kenikmatan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan dari mereka (orang kafir), dan janganlah kamu bersedih hati terhadap mereka dan berendah hatilah kamu terhadap orang-orang yang beriman,” (Q.S. Al-Hijr: 88). Tapi baginya, godaannya bukan pada kenikmatan hidup orang kafir, tapi pada “kenikmatan” untuk diakui, dipuji, dan—yang paling berbahaya—diperhatikan oleh seorang lelaki shaleh yang justru seharusnya menjadi pendorongnya untuk lebih dekat pada Allah, bukan menjadi sumber riya’.

Ini adalah fase psikologis yang rumit dalam pendewasaan dirinya. Dia sedang berusaha membangun hubungannya dengan Tuhannya tanpa campur tangan atau validasi dari makhluk. Tapi sebagai manusia, terutama remaja yang masih membentuk identitasnya, pujian dan pengakuan adalah oksigen bagi jiwanya. Dia terjepit antara kebutuhan psikologis alami dan tuntutan spiritual untuk melampauinya.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah pernah berkata tentang penyakit hati yang halus seperti riya’, “Ia lebih samar daripada jejak semut hitam di batu hitam pada malam yang gelap.” Safira merasa seperti sedang berusaha melihat semut hitam itu dalam kegelapan, matanya sakit, dan dia takut jika dia tidak menemukannya, itu artinya dia telah terjerumus.

Kekosongan itu adalah rasa lapar spiritual. Lapar untuk sebuah kepastian bahwa amalnya diterima. Lapar untuk keyakinan bahwa niatnya bersih. Tapi seperti orang yang lapar, kadang dia mengambil “makanan” yang salah—yaitu pujian manusia—untuk mengisi kekosongan itu, yang justru membuatnya semakin lapar dan sakit.

Dia teringat kisah seorang ulama salaf yang bersembunyi untuk beramal, takut ketahuan. Jika ada yang memujinya, dia akan berkata, “Engkau tidak tahu siapa sebenarnya diriku. Jiwaku telah memperlihatkan kepadaku apa yang tidak diperlihatkan kepadamu.” Safira merasakan hal yang sama. Orang-orang memuji lapisan luarnya, tetapi mereka tidak melihat pertempuran dahsyat yang terjadi di dalam.

Dalam perjalanan pulang ke asrama, setiap senyuman, setiap anggukan, setiap pujian yang dilontarkan kepadanya terasa seperti jarum kecil yang menancap di hatinya. Dia ingin berteriak, “Jangan puji aku! Aku tidak sebaik itu! Kalian tidak tahu isi hatiku!”

Tapi dia diam. Dia tersenyum lemah. Dia mengucapkan terima kasih. Dia terjebak dalam penjara kesalehan yang dibangun oleh persepsi orang lain. Dan dia terlalu takut untuk keluar, karena keluar berarti mengakui bahwa dia mungkin tidak sesaleh yang orang pikirkan. Itulah beban menjadi “santri teladan”. Citra itu menjadi monster yang menuntutnya untuk sempurna, sementara dia sendiri tahu betapa tidak sempurnanya dirinya.

Di sudut quiet-nya, dalam kesunyian jiwanya, dia berdoa dengan air mata yang tidak lagi bisa ditahannya, “Ya Allah, jika suara ini adalah ujian untukku, maka cukupkanlah ujian itu. Jika pujian mereka akan menjerumuskanku ke dalam neraka, maka butakanlah pendengaran mereka terhadap suaraku. Aku tidak kuat, Ya Rabb. Aku ingin hanya untuk-Mu. Aku ingin kembali kepada-Mu dengan hati yang bersih. Bantulah aku…”

Doa itu adalah jeritan dari kekosongan yang dalam. Jeritan seorang remaja yang sedang berjuang keras untuk menjadi dewasa secara spiritual, menghadapi kenyataan bahwa iman bukan hanya tentang melakukan hal-hal baik, tetapi tentang memerangi keinginan-keinginan tersembunyi yang paling gelap dalam dirinya sendiri. Perjalanannya masih sangat panjang.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel