Jerat antara Ikhlas dan Keinginan Diri
Inilah pergumulannya yang abadi, sebuah lingkaran setan yang mengitari pikirannya bagai pusaran air yang tak pernah henti. Setiap kebaikan yang dilakukannya, setiap amal yang dikerjakan, bahkan setiap niat yang belum terlaksana, semuanya disambut oleh sebuah pertanyaan yang sama, berulang seperti mantra kutukan: "Apakah ini ikhlas?"
Pertanyaan itu bukan lagi sebuah pemeriksaan diri yang sehat, melainkan sebuah siksaan batin yang menggerogoti setiap sukacita dari beribadah. Ibadah yang seharusnya menjadi sumber ketenangan, baginya berubah menjadi medan perang dimana dirinya sendiri adalah musuh yang paling sulit dikenali dan dikalahkan.
Dia merasa seperti berdiri di tepi jurang yang dalam dan gelap. Di satu sisi tebing, terdapat "amal yang tulus"—sebuah dataran tinggi yang dipenuhi cahaya, dimana setiap ibadah dilakukan dengan penuh kejernihan hati, murni hanya untuk Wajah Allah semata. Di seberang jurang, terdapat "riya' yang halus"—sebuah bayangan yang menipu, yang menyamar dengan sangat baik hingga hampir tidak bisa dibedakan dari keikhlasan. Dan Safira terjebak di tepinya, tidak bisa maju karena takut jatuh ke dalam jurang riya', dan tidak bisa mundur karena telah terlalu jauh melangkah dalam perjalanan spiritualnya.
Setiap kali dia mendengar pujian, "Suaramu merdu, Safira," atau "Kamu sangat rajin, jadi inspirasi," hatinya bukan lagi berbunga-bunga. Justru, bunga-bunga itu layu sebelum mekar, diinjak-injak oleh kaki-kaki berat keraguan. "Apakah aku melakukan ini untuk mendengar kalimat itu? Apakah tanpa pujian ini, aku akan tetap bersemangat?"
Dan yang paling membuatnya bersalah, yang paling sulit diakui bahkan dalam diarynya sendiri, adalah motivasi yang terselubung yang mulai sering menyertai niatnya: keinginan untuk diperhatikan oleh Fahmi.
Ini adalah level riya' yang lebih tinggi, lebih beracun, dan lebih sulit dideteksi. Bukan lagi ingin dipuji oleh banyak orang, tetapi ingin dilihat oleh satu pasang mata tertentu. Ini memberinya ilusi bahwa niatnya "lebih ikhlas" karena hanya untuk satu orang, padahal dalam pandangan Allah, mempersekutukan-Nya dengan satu makhluk sama buruknya dengan mempersekutukan-Nya dengan seribu makhluk.
Dia teringat akan kisah tiga orang yang pertama kali diadili di hari kiamat: syahid, penghafal Quran, dan orang yang bersedekah. Mereka semua datang dengan amal yang terlihat hebat di mata manusia, namun Allah berkata, "Kamu dusta! Kamu berbuat itu agar dikatakan pemberani, agar dikatakan qari' yang baik, agar dikatakan dermawan. Maka, ambillah pujian yang kamu cari di dunia itu." Dan mereka pun dilemparkan ke dalam neraka. (HR. Muslim).
Kisah itu membuatnya menggigil. Bagaimana jika nasibnya kelak seperti itu? Bagaimana jika azannya yang merdu, hafalannya yang lancar, semua hanya untuk didengar dan dilihat oleh Fahmi, bukan oleh Allah?
"Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari menyekutukan-Mu sedang aku mengetahuinya, dan aku memohon ampunan-Mu dari apa yang tidak aku ketahui," bisiknya, mengulang doa yang diajarkan Nabi SAW untuk memohon ampun dari syirik yang tidak disadari.
Keraguannya ini adalah bentuk dari al-wara' (kehati-hatian) yang berlebihan hingga menjadi paranoia spiritual. Para ulama membicarakan tentang pentingnya wara', tetapi juga memperingatkan agar tidak berlebihan hingga membuat kita berhenti beramal sama sekali. Imam Ahmad bin Hanbal pernah ditanya tentang seseorang yang tidak mau makan karena takut rezekinya haram. Beliau berkata, "Dia adalah orang bodoh. Apakah dia tidak mendengar firman Allah, 'Maka makanlah dari rezeki yang halal lagi baik'?" Artinya, selama kita berusaha mencari yang halal, kita harus yakin bahwa Allah akan memudahkannya.
Demikian pula dengan niat. Selama seseorang berusaha untuk ikhlas, maka dia harus yakin bahwa Allah akan menerima usahanya, dan tidak terus-menerus menyiksa diri dengan keraguan yang tak berujung.
Namun, mengetahui teori tidak serta merta menyembuhkan luka. Safira masih terjebak. Dia memandang cermin di hadapannya, memandangi gadis yang tampak shalehah di balik kaca. Siapa kamu sebenarnya? tanyanya dalam hati. Apakah topeng ini sudah melekat begitu erat hingga menjadi wajahmu?
Pergumulan ini adalah inti dari pendewasaan spiritualnya. Dia sedang dalam proses transitif dari iman yang taqlid (ikut-ikutan) menuju iman yang tahqiq (meyakini dengan penyelidikan dan pemahaman mendalam). Seorang anak kecil beribadah tanpa bertanya banyak. Seorang dewasa yang matang secara iman beribadah dengan menyadari semua kompleksitas dan godaan, namun tetap memilih untuk beribadah.
Dia mengambil air wudhu lagi, meski tidak ada salat yang wajib. Air yang dingin itu menenangkan urat-urat nadinya yang tegang. Dia duduk di atas sajadanya, tidak untuk salat, tetapi untuk muhasabah, introspeksi diri.
Dia mencoba sebuah teknik yang dia baca dari buku Tazkiyatun Nafs. Dia membayangkan dirinya sedang berada di padang mahsyar, sendirian, di hadapan Allah SWT. Lalu, dia membayangkan amal-amalnya dibawa ke hadapannya. Saat azannya dibawa, dia bertanya pada dirinya sendiri: "Untuk siapa kau lakukan ini?" Dalam visualisasi itu, dia berharap bisa jujur.
Tapi yang terjadi, yang muncul justru bayangan Fahmi yang sedang tersenyum mendengarnya. Dadanya sesak. Visualisasinya buyar.
Ini lebih sulit dari yang dia kira.
Dia menangis. Tangisan yang tidak melodramatis, tetapi tangisan kelelahan dari seorang pejuang yang kecapaian melawan musuh yang ada dalam dirinya sendiri. Tangisan seorang remaja yang harus berurusan dengan pertanyaan para nabi dan ulama di usianya yang masih sangat belia.
Dalam tangisnya, dia merangkak menuju rak buku dan mengambil Al-Qur'an. Dia tidak membukanya secara acak. Dia membuka surah Al-Kahfi, mencari sebuah ayat yang pernah memberikan ketenangan padanya. Dia menemukannya.
"Katakanlah (Muhammad): 'Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku bahwa Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Maka barang siapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah mempersekutukan dengan sesuatu apapun dalam beribadah kepada Tuhannya'." (QS. Al-Kahfi: 110).
Ayat ini seperti oase di gurun pasir jiwanya yang gersang. Nabi Muhammad SAW pun diperintahkan untuk mengatakan bahwa beliau adalah manusia biasa. Itu artinya, perjuangan melawan syirik dan riya' adalah perjuangan setiap manusia, termasuk para nabi. Yang membedakan adalah kesungguhan mereka dalam berjuang.
Kata kuncinya adalah: "mengharap pertemuan dengan Tuhannya". Inilah yang harus menjadi motivator utamanya. Bukan pujian, bukan perhatian Fahmi, tetapi harapan untuk bertemu dengan Allah, untuk melihat Wajah-Nya yang Maha Indah.
Dia menuliskan ayat ini di diarynya, menebalkan tulisan "mengharap pertemuan dengan Tuhannya". Ini harus menjadi anchor-nya, pegangan yang akan mengingatkannya setiap kali dia mulai goyah.
Dia merasa sedikit lebih lega. Jerat itu masih ada, tapi setidaknya sekarang dia memiliki sebuah pisau bernama "harapan akan pertemuan dengan Allah" untuk mulai memotongnya.
Dia memutuskan untuk melakukan sebuah strategi. Setiap kali akan beramal, dia akan berkata dalam hati: "Aku lakukan ini hanya untuk-Mu, Ya Allah, karena aku ingin bertemu dengan-Mu." Dan setiap kali bayangan Fahmi atau pujian orang lain menyelinap, dia akan segera mengingatkan dirinya dengan anchor tersebut.
Ini adalah sebuah permulaan. Sebuah langkah kecil menuju kebebasan spiritual.
Namun, tepat ketika dia mulai menemukan sedikit kejelasan, dunia luar memberikan sebuah kejutan. Sebuah ketukan pintu yang peling memecah konsentrasinya.
Cliffhanger: "Fira? Kamu di dalam?" suara Najla dari balik pintu. "Cepetan buka! Ada sesuatu yang harus aku kasih lihat. Kamu nggak akan percaya!" Nadanya mendesak dan penuh kegembiraan. Safira cepat-cepat menyembunyikan diarynya dan menyeka air matanya. Apa sekarang? Apakah dia siap untuk menyambut dunia luar dengan semua kegembiraan dan kesederhanaan Najla, sementara jiwanya masih berdarah-darah? Ataukah justru kedatangan Najla ini akan membawa sesuatu yang akan semakin menjeratnya dalam jerat antara ikhlas dan keinginan diri? Dia menarik napas dalam-dalam dan berjalan ke arah pintu, tidak tahu bahwa jawaban dari pergumulannya hari ini justru akan datang dari luar, melalui sahabatnya itu.
