Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bagian 9: Menyalakan Langit

Roro Jonggrang menatap horor ke luar jendela. Dadanya naik turun seiring dengan napasnya yang khawatir. Giginya menggigit bibir. Dia sangat berbeda dengan Roro Jonggrang yang aku lihat di ruang makan. Tak ada kepercayaan diri tinggi apalagi tatapan congkak. Di depanku kini berdiri seorang gadis biasa yang cemas tentang masa depannya.

Bibi Sumi berkata, "Putri, kita harus menghentikan mereka, bukan? Pembangunan itu tidak boleh selesai."

"Iya, candi-candi itu tidak boleh selesai dibangun," balas Roro Jonggrang. Dia menatapku lagi. Tubuhnya mendekat dan kedua tangannya berada di bahuku. Matanya bergerak gelisah ketika dia meminta, "Kamu pasti punya ramalan. Beritahu aku! Beritahu aku caranya! Aku akan lakukan apa saja, jadi...."

Suaranya berhenti. Dia berusaha bicara, tapi suaranya tercekat, hampir menangis.

"Beritahu aku," mohonnya.

Di belakangnya, Bibi Sumi memiliki tatapan kasihan. Dia menunduk, lalu mengangkat wajah. "Putri, bagaimana jika... Anda pergi dari sini, jauh dari sini," sarannya.

"Kita pernah mencobanya dan berakhir percuma."

"Itu karena kita pergi bersama. Jika Anda pergi seorang diri, saya yakin... saya khawatir...."

Keduanya tertunduk lesu. Bibi Sumi berlinang air mata. Setiap helaan napasnya, ia selalu berdiri di samping Roro Jonggrang, menjaganya. Dia akan terus khawatir bila tidak melihatnya. Ruang mewah ini menjadi sunyi sementara di luar gemuruh masih berlanjut. Malam masih panjang, tapi rasanya hidup mereka sebentar lagi selesai.

Roro Jonggrang melepaskanku. Dia mengusap sudut matanya. Pandangannya pergi jauh ke jendela. Dia bilang, "Candi-candi itu tidak boleh selesai dibangun. Aku tak bisa menghentikan Bandung Bondowoso, tapi aku bisa menghentikan pasukan gaibnya."

Aku membuka mata lebar-lebar. Tiba juga momen dia mendapat ide. Jantungku berdebar kencang.

"Tuan Putri, bagaimana kamu akan melakukannya?" Bibi Sumi bertanya dengan banyak rasa penasaran di hatinya.

Angin malam menerpa wajah Roro Jonggrang. Rambut kelamnya bergerak mengikuti godaan angin. Sorot matanya sangat yakin walau tersisa jejak ketakutan di sana. Hidungnya sedikit merah, bekas menangis. "Pasukan gaib hanya muncul di malam hari... seperti perang itu. Mereka takut pada matahari," katanya.

"Putri, apa Anda berencana untuk menarik matahari? Itu, itu tidak mungkin."

"Aku tahu. Matahari tidak bisa ditarik atau memaksa pagi datang lebih cepat, tapi aku bisa membuat seakan pagi telah datang."

Bibi Sumi melebarkan mata begitu juga dengan mulutnya. Tubuh tuanya terkejut mendengar pernyataan Roro Jonggrang. Semua orang tahu bahwa pagi datang sesuai jadwal dan tidak bisa dipaksa. Namun, tak ada yang pernah berpikir untuk membuat pagi seolah telah datang.

***

Rencana brilian Roro Jonggrang tidak langsung dilaksanakan. Dia menunggu malam lebih larut. Saat ini dia dan Bibi Sumi berdiskusi tentang cara menyelinap keluar istana tanpa diketahui penjaga. Aku duduk diam di atas lantai sementara mereka menggambar sesuatu di meja. Aku menguap.

"Putri, ada banyak prajurit yang berjaga di sini."

"Bagaimana dengan jalan di belakang ruang buku?"

"Pengawal pribadi raja sering berkeliaran di sana, memetik mangga."

Ini adalah hari pertama aku terlempar ke dimensi ini dan sudah mengalami banyak hal, ditangkap, diracuni, diancam, dan digigit. Luka di leherku sudah kering, tapi trauma dari kejadian itu belum sirna dari ingatanku. Anehnya pada saat itu, Bandung Bondowoso tampak sehat setelah minum darahku. Dia bukan vampir, lalu mengapa minum darah?

"Katakan padaku, bagaimana kamu bisa keluar dari ruang makan?"

Roro Jonggrang menunduk untuk menatapku. Tangannya menyangga dagu. Aku balas menatapnya dengan kelopak mata yang berat. "Saya disuruh keluar," jawabku.

"Dia yang menyuruhmu keluar." Roro Jonggrang terkekeh. "Dia menyuruhmu untuk memberitahuku bahwa dia sudah mati, lalu diam-diam membangun candi. Dia suka membuat kejutan, persis di waktu menyerang Boko saat malam."

"Putri, mengapa Anda tidak menerima lamarannya?" Begitu aku bertanya, dia memberikan lirikan tajam mengerikan. Aku menunduk, lalu melanjutkan, "Anda bisa membunuhnya setelah menikah, kemudian mendapatkan tahta secara resmi."

"Kamu berpikir begitu? Aku juga pernah berpikir begitu. Membunuhnya di malam pertama kedengarannya seru, tapi aku tidak sekuat itu," ucapnya sambil melihat kosong ke langit-langit, lalu kembali ke aku.

Kepalaku mengangguk.

"Putri, bagaimana jika kita menyamar?" Bibi Sumi tiba-tiba berceletuk.

Roro Jonggrang mengulas senyum lebar. Dia menyetujui ide itu. Namun, dia justru menatapku penuh harap.

***

"Berhenti!"

Tubuhku berjengit kaget oleh teriakan itu. Seorang prajurit berbadan kekar mendekat. "Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya penuh curiga. Dia memegang tombak dan tidak membawa obor, membuat suasana di antara kami agak temaram.

"Saya diminta Mentari untuk mencuci di dapur."

"Kamu sendirian?"

"Iya, saya sendiran."

Prajurit berwajah galak itu bergumam beberapa kali sebelum memberikan jawaban iya dan meninggalkanku. Aku menontonnya hingga dia menghilang di ujung jalan. Wajahku berpaling ke bayangan di balik bangunan. Bibi Sumi keluar disusul oleh Roro Jonggrang.

"Saya mengantar sampai sini saja," kataku.

"Kamu ikut denganku."

"Mengapa saya ikut Anda, Putri? Saya tidak mau terlibat dalam masalah."

"Kamu terlanjur terlibat," balas Roro Jonggrang sambil memegang pergelangan tanganku. Selanjutnya dia berlari ke jalan kecil di belakang istana dengan aku yang ditarik tanpa bisa melawan.

Aku ditarik ke jalanan kecil gelap dekat pepohonan. Bulu kudukku merinding ketika lewat sana. Sementara itu, Bibi Sumi dan Roro Jonggrang bersemangat menapaki jalan sampai akhirnya kami melihat terangnya sebuah desa. Itu adalah desa Prambanan.

Perjalanan berlanjut menuju desa itu. Kami berjalan berjinjit saat menuruni jalanan menurun demi menghindari kecurigaan penjaga, Suara gemuruh itu sudah tidak terdengar. Ini membuatku berasumsi bahwa pembangunan candi akan selesai. Meski begitu, Roro Jonggrang tidak menghentikan perjalanan.

Setelah menjalani perjalanan yang sulit, kami tiba di depan gerbang desa. Penduduk yang sedang berjaga langsung mengenali Roro Jonggrang dan menyapa, "Salam kami kepada Yang Mulia Putri."

"Aku menerima salam kalian," jawab Roro Jonggrang dengan sedikit terengah-engah. Dia melepaskan tanganku, lalu menghampiri seorang pria tua, mungkin kepala desa. "Kalian adalah rakyat yang aku cintai. Kesetiaan kalian sangat berarti bagiku."

"Tuan Putri, tolong katakan apa yang harus kami lakukan untuk membantu Anda," sahut pria paruh baya itu.

Roro Jonggrang menghela napas panjang. Di kala dia bicara, suaranya berdentang di seluruh desa, membangunkan semangat penduduk, dan tidak menunggu lama mereka mulai mengerjakan perintah putri yang mereka cintai.

"Bangunkan semua orang! Bakar jerami dan pukul alu! Bekerjalah seakan matahari sudah terbit!"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel