Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bagian 8: Pasukan Gaib Di Gunung

Kakiku terburu-buru menjauhi aula utama. Air membasahi mataku. Aku berhenti untuk mengambil napas. Tanganku yang gemetar berusaha membenarkan pakaian. Kemudian aku memegang leherku. Di sana basah dan terasa perih. Gigitan itu mengoyak daging. Pasti nanti meninggalkan bekas.

Wajahku mendongak. Aku pergi tanpa tahu jalan apa yang aku lewati. Ini adalah perempatan dengan penerangan yang cukup. Aku menoleh ke kiri, kanan, dan depan. Sulit untuk memutuskan jalan mana yang membawa ke kediaman Roro Jonggrang. Terdengar suara berisik langkah kaki. Itu mendekat dan ternyata mereka adalah pasukan patroli bersama ketuanya, Pak Satria.

Aku mendekati mereka. "Selamat malam," sapaku.

"Selamat malam." Pak Satria membalas. Pedang menggantung di pinggangnya, sedangkan dua prajurit di belakang membawa obor.

"Apa Anda sekalian akan pergi ke suatu tempat?"

"Ada yang menemukan mayat di sungai dekat istana. Ciri-cirinya sama dengan orang yang kamu gambarkan. Jadi kami akan ke sana untuk mengurusnya."

Mataku melebar. Wanita tua pemarah itu sudah mati. Aku menelan ludah. Tak perlu penasaran dengan itu. Aku menatap Pak Satria dan bicara, "Saya diperintahkan untuk ke menemui Tuan Putri, tapi saya tidak tahu di mana Putri, maksud saya kediamannya."

"Apa Yang Mulia Raja yang mengutusmu?"

Aku mengangguk.

"Pergilah ke jalan ini. Setelah bertemu patung singa, ambil jalan ke kanan."

Aku berterima kasih dan mereka berlalu dengan cepat. Orang-orang sibuk, batinku. Aku memegang leher sambil pergi ke jalan yang dia tunjukkan. Jalanan di dalam istana banyak, tapi sepi. Obor menerangi tiap sudut, tapi nyalanya tak seterang lampu. Namun, aku bisa melihat batu berkilau di langit. Mereka cantik dan sangat banyak.

***

Arahan Pak Satria telah mengantarku ke kediaman Roro Jonggrang. Ada lebih banyak prajurit berpatroli. Tubuhku membeku sambil melihat ke pintu gerbang. Dua prajurit berbadan besar berdiri di sisi kanan dan kiri. Aku menurunkan pandangan, lalu menghampiri mereka. Begitu aku cukup dekat, mereka membentak, "Apa keperluanmu?"

Air mataku yang belum kering akan kembali basah. Aku menyedotnya kembali. Aku menjawab, "Saya datang ke sini atas perintah Yang Mulia Raja untuk menyampaikan pesan kepada Tuan Putri."

"Katakan saja. Aku yang akan menyampaikannya ke Tuan Putri."

"Memangnya boleh?" Temannya bertanya.

"Mengapa tidak? Dia hanya pelayan pengantar pesan."

Temannya mengernyitkan dahi. Dia melirikku dan membalas, "Dia pelayan pribadi Yang Mulia Raja."

Prajurit yang menanyaiku membelalakkan mata. Sesaat setelahnya matanya menyipit. Dia mengamatiku dari kepala sampai kaki. Tangannya bergerak mengelus jenggotnya. "Oh, kamu yang dituduh mata-mata."

Aku mengangguk kecil. Rupanya mereka. Orang yang membentakku ini pastilah orang yang meneriakiku di depan Bandung Bondowoso.

"Masuklah dan jangan terpengaruh ucapan Putri, paham?"

"Aku paham."

Keduanya menarik tombak yang menghalangi pintu. Pintu dibuka, lalu aku melangkah masuk. Halaman yang asri segera menyambutku. Di bawah lampu obor, bunga-bunga memenuhi halaman. Ada juga kolam di pojok. Di depan, berdiri sebuah bangunan megah nan cantik. Kain-kain berwarna menghiasi tiang serta jendela.

Aku berjalan menuju pintu untuk mengetuknya. Seseorang membukanya. Dia adalah pelayan Roro Jonggrang, tentulah panggilannya Bibi Sumi.

Bibi Sumi memandangku sebentar. Dia menyingkir dari pintu alih-alih bicara. Kami masuk dan pintu ditutup. Dia memimpin jalan menuju sebuah ruangan. Di dalamnya, Roro Jonggrang duduk di atas tempat tidur. Dia tersenyum melihatku datang.

"Bagaimana?" tanyanya.

Aku menggosok leher. Tiba-tiba kulitku merinding. "Yang Mulia Raja sudah mati."

"Benarkah?"

Mata Roro Jonggrang melebar. Gadis itu berdiri dan datang kepadaku. Kedua tangannya berada di pundakku, tepat di bagian yang dicengkeram Bandung Bondowoso. Dia bahagia mendengar berita palsu ini. Dia mengajukan pertanyaan bertubi-tubi, "Siapa saja yang tahu? Bagaimana kamu bisa keluar? Apakah ada yang menyadari dia diracuni?"

Menahan nyeri di tubuhku, aku membalas, "Hanya... ketua pasukan yang tahu. Dia bilang agar aku merahasiakannya." Pak Satria, maafkan aku, batinku.

"Bagus. Tidak ada raja di sini dan istana butuh pemimpin. Aku akan melakukannya!"

"Tuan Putri, bagaimana dengan dewan bangsawan?" Bibi Sumi menyahut. Nada bicaranya khawatir. Dia menatap tuannya yang ia rawat sejak kecil.

Roro Jonggrang menarik diri. Tubuhnya berpindah ke kursi. Dia menatap diam kendi air di meja. Walau dia ingin dan berhak mengambil tahta kerajaan, dewan bangsawan yang memihak Bandung Bondowoso tidak akan setuju. Mungkin mereka akan menuduh gadis itu sebagai pembunuh sang raja.

"Sagara," lirihnya.

"Putri, Tuan Sagara berada di pihak Pengging."

Roro Jonggrang menoleh ke Bibi Sumi. Bibir merah muda alaminya melengkung membentuk senyum. "Sagara berasal dari Pengging, tapi dia memihakku. Selain itu, aku punya kenalan dari kerajaan lain. Mereka pasti bersedia mendukungku," ungkapnya. Tatapannya tak lagi fokus ke Bibi Sumi. Dia memandang jauh, seolah sedang memikirkan sesuatu yang mampu membuat gundah di hatinya sirna.

Getaran yang kuat mengejutkan kami bertiga. Bumi bergerak! Tanpa ragu aku bersembunyi di bawah meja sambil melindungi kepala. Sementara itu, dua perempuan di sana membeku di tempat. Setelah getaran berhenti, mereka pergi ke jendela. Aku keluar dari meja dan ikut mengintip.

Di luar, langit terang oleh kilau bintang. Terdengar suara gemuruh yang diikuti getaran pelan pada tanah. Aku mengernyitkan dahi. Apa yang sebenarnya mereka lihat di pegunungan yang gelap itu?

"Tuan Putri," panggil Bibi Sumi dengan cemas.

Jari Roro Jonggrang memegang erat bingkai jendela. Bibirnya mengulum sedangkan matanya berkedip gelisah. "Itu... pasukan," katanya. "Gaib."

Bibi Sumi membelalakkan mata. Dia terpaku pada pegunungan gelap itu. "Itu adalah lapangan luas dekat gunung batu. Apa yang dilakukan pasukan gaib di sana?" tanyanya. Ada jejak ngeri pada cara bicaranya.

"Mereka bekerja dengan perintah. Siapa yang memerintah mereka?"

Bibi Sumi membalas, "Apakah itu sang raja?"

Tatapan pisau Roro Jonggrang menyambarku. Matanya melotot dan kulit wajahnya merah. Dia mendekatiku dan bertanya dalam nada marah, "Kamu bilang dia sudah mati."

Aku menggeleng keras. "Saya tidak tahu, saya tidak tahu."

Dia menjauh dariku. Roro Jonggrang mendengus dan kembali mengawasi pegunungan gelap itu. Getaran yang terasa tidak sekuat tadi. Suara gemuruh memberitahu bongkahan-bongkahan batu gunung berguling turun.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel