Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bagian 10: Pengkhianatan Sang Putri

Penduduk yang terdiri dari lima pria itu bergegas masuk ke desa. Tiap pintu mereka ketuk untuk menyampaikan perintah sang Putri. Desa yang semula damai di bawah angkasa gelap berubah menjadi riuh. Para pria mengeluarkan jerami dari kandang, lalu membakarnya. Sedangkan para wanita mengeluarkan lesung dan alu. Nyala api serta suara berisik kayu mengubah suasana desa sekaligus langit. Langit dihiasi semburat jingga, persis pagi akan datang.

Di tengah desa, Roro Jonggrang berdiri. Dia terharu. Di sisinya ada Bibi Sumi. Aku menonton mereka dari gerbang desa. Suara gemuruh kembali terdengar, kali ini lebih keras, lalu tiba-tiba berhenti. Aku menelan ludah. Ketakutanku mengalir dari pikiran bahwa Bandung Bondowoso langsung mengetahui hal ini.

Mengusap dahiku yang berkeringat, aku berjongkok di dekat gerobak. Ketegangan yang hadir sejak tadi perlahan pudar oleh kehangatan api. Ujung pegunungan gelap itu terlihat dari sini. Sudah cukup lama penduduk desa membuat kebisingan. Ayam-ayam sampai berkokok keras karena mengira pagi sudah datang. Aku rasa pembangunan candi itu benar-benar berhenti.

Sebuah asap hitam muncul di pandanganku. Itu melayang di agak tinggi. Aku menontonnya dengan tubuh membeku. Asap itu bergerak di atas atap-atap penduduk. Kemudian, dia berjalan kembali melalui gerbang desa. Itu pergi menuju pegunungan gelap di sana. Dalam hati aku penasaran tentang apa benda itu? Apakah wujud kecil dari pasukan gaib?

Aku berdiri. Jerami telah habis dibakar, para wanita berhenti memukul alu. Langit yang semula terang secara perlahan kembali menjadi hitam. Walau begitu, Roro Jonggrang berjalan ke gerbang desa bersama senyum cerah. Dia berterima kasih kepada kepala desa serta para penduduk.

Tanganku mengusap leher. Mendadak bulu kudukku meremang. Wajahku menghadap ke kebun sebelum gerbang desa. Ada suara tapakan kaki kuda mendekat. Napasku tercekat. Aku memanggil Roro Jonggrang, "Tuan Putri. Di sana."

Roro Jonggrang dan Bibi Sumi melihat ke jalan itu. Keduanya melebarkan mata. Penduduk yang penasaran mendekat bersama rasa penasaran di hati. Lalu, mereka melebarkan mata dan dengan cepat bersujud. Aku ikut bersujud.

Tapak kaki kuda yang terburu-buru semakin jelas. Aku mendongak sedikit. Roro Jonggrang membeku di tempat melihat kedatangan Bandung Bondowoso. Rambut pria itu terurai dan wajahnya diliputi emosi. Aku memalingkan wajah ke tanah yang lembap.

Di depanku, Bandung Bondowoso melangkah mendekati Roro Jonggrang. Keduanya berdiri berhadapan. Terciptalah atmosfer yang mencekik. Aku mengintip. Pak Satria ada di sini. Sepertinya dia melapor setelah menyadari Roro Jonggrang tidak ada di tempatnya.

"Apa yang kamu lakukan di luar istana, Putri?"

Suara yang rendah nan dingin menciutkan nyali setiap orang. Dia bicara dalam nada tenang sementara tangannya mengepal di samping tubuh. Untuk membangun seribu candi bukan hal sulit. Dia memanfaatkan pasukan gaib miliknya untuk mengerjakan itu. Dia rela melakukan apa saja asal gadis yang ia suka mau menerima lamarannya, Namun, seseorang mencoba menghalangi pekerjaannya dan orang itu adalah gadis yang dia suka.

"Mengapa kamu diam, Putri?" tanya Bandung Bondowoso lagi.

Roro Jonggrang tetap membisu.

"Aku melihat matahari akan terbit. Harusnya desa di barat sudah ramai, tapi mengapa hanya di sini yang ramai?" Bandung Bondowoso masih menyimpan emosinya. Dia berusaha menggali informasi tanpa menakuti Roro Jonggrang.

Tak ada yang menjawab pertanyaan itu. Tak ada yang berani bersuara. Jejak-jejak pembakaran tercium di udara. Ayam yang terlanjur bangun tidak mau tidur lagi. Suara alu yang terjatuh mengejutkan penduduk. Di tengah suasana tegang itu, aku melihat asap hitam yang sama. Itu bertengger di atap sebuah rumah.

"Aku tidak mau," gumam Roro Jonggrang. Napasnya yang berat terdengar di udara. "Aku tidak mau menikah denganmu!"

"Siapa yang mau kamu nikahi?"

Roro Jonggrang terdiam.

"Kamu meminta candi sebagai mas kawin dan sekarang berubah pikiran? Apa yang kamu inginkan? Kematianku?"

"Iya! Aku menginginkan kamu mati! Kamu harusnya mati!"

Jeritan histeris mengunci tiap mulut. Roro Jonggrang terisak. Kaki rampingnya bergetar. Dia memakai keberanian yang dia miliki untuk bicara.

"Selain menipuku, kamu menyukai pria lain. Putri, bukankah kamu sangat jahat? Aku membangun seribu candi untukmu, hampir selesai dan ulahmu membuat satu candi belum selesai."

Secara spontan aku mendongak. Momen ini, Bandung Bondowoso akan mengutuk Roro Jonggrang. Aku menonton dua manusia di sana dengan jantung berdebum keras. Kemudian, aku menyadari satu hal. Kedatanganku di sini tanpa tujuan, tak ada tugas untukku, artinya aku tak harus ikut campur dalam masalah mereka.

Bandung Bondowoso melanjutkan, "Aku berjanji memberimu seribu candi. Janji itu harus aku tepati. Jadi, kamu yang akan-"

"Ada asap di sana!"

Penduduk menoleh ke atap rumah yang aku tunjuk. Para prajurit melakukan hal yang sama. Aku melihat asap itu mundur seperti terkejut. Berikutnya, para penduduk bergumam pelan bahwa tak ada asap di sana. Aku membelalakkan mata. Prajurit juga berkata hal yang sama. Tatapan bengis milik Bandung Bondowoso terlempar kepadaku. Dia menunjukku menggunakan dagu, lalu Pak Satria menangkap pergelangan tanganku dan menarikku untuk berdiri.

Asap itu bergerak mendekatiku. Aku memalingkan wajah. Itu berputar sekali, menunjukkan rasa senangnya.

"Pilihanmu ada dua, menikah denganku atau melepaskan statusmu." Bandung Bondowoso kembali buka suara. Dia memberikan pilihan sulit untuk gadis di hadapannya. Matanya menatap nyalang, memaksa Roro Jonggrang pada pilihan sulit tersebut.

"Aku... tidak akan menikah denganmu!"

Ketakutan sekaligus keraguan sirna dari suaranya. Roro Jonggrang memilih dengan cepat dan pilihannya jatuh pada hal yang membuatnya harus meninggalkan kehidupan mewah seorang putri. Aku menahan napas menonton mereka sementara asap itu berkeliaran di depan mataku.

Bandung Bondowoso mengepalkan erat tangannya. Urat di bawah kulitnya menonjol. Dia tidak mau menerima keputusan Roro Jonggrang. Namun, dengan angkuh dia membalas, "Baik, jalani pilihanmu. Mulai saat ini, tidak ada putri di Kerajaan Boko!"

Penduduk bersujud lebih dalam. Diam-diam mereka menangisi Roro Jonggrang yang kehilangan haknya. Mereka menutup mulut kencang, tak ingin membuat raja baru yang kejam itu lebih marah.

Bandung Bondowoso berbalik, kemudian menghampiri kudanya. Asap itu pergi kepadanya. Para prajurit kembali menaiki kuda dan aku ditarik Pak Satria untuk ikut. Bandung Bondowoso pergi lebih dulu. Aku menoleh ke belakang. Bibi Sumi memeluk Roro Jonggrang. Wanita paruh baya itu menangis di bahu tuannya.

***

Tiba di istana, aku dibawa ke ruang mandi atas perintah Bandung Bondowoso. Pak Satria menarikku sampai di depan pintu. Dia mengangguk kemudian dan pergi. Aku menatap langit yang belum terang. Mungkin sekarang sekitar jam tiga pagi. Aku menoleh ke pintu ruang mandi yang terbuka. Ada keraguan dalam diriku, tapi aku memaksa kakiku melangkah masuk.

Di dalam, ada kain bermotif yang teronggok di lantai. Aku mendongak dan menemukan pria itu sudah duduk di dalam kolam. Tak ada uap panas yang memenuhi udara. Aku berjalan mendekat. Dia menyadari keberadaanku dengan menoleh sedikit.

Tubuhku berjongkok di dekat punggungnya. Ketika aku akan mengambil kain, Bandung Bondowoso menginterupsi, "Masuk ke air."

Aku kesulitan menelan ludah. Tubuhku berdiri, lalu perlahan masuk ke air. Rasa perih menyerang kala air menyentuh telapak kakiku. Kelopak bunga merah menutupi permukaan air. Aku kaku di depan dia.

"Mendekat," perintahnya sambil membuat kontak mata denganku.

Kakiku maju dua langkah.

"Duduk."

Aku menekukkan kaki dan akan duduk. Cipratan air membasahi wajahku. Kelopak bunga menempel di pipiku bersamaan dengan dia meletakkan giginya di leherku. Aku menggigit pipi bagian dalam begitu dia menggigitku di tempat yang sama. Lidahnya bergerak di atas kulitku, menghisap darah dari luka yang belum kering. Kedua tangannya menekan bahuku, menahanku dalam posisi duduk yang tidak nyaman.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel