Bagian 7: Kamu Adalah Budak
Keheningan tercipta segera setelah Roro Jonggrang menyatakan keinginannya. Gadis itu tersenyum kecil. Sementara itu, orang di seberangnya terdiam, mencerna apa yang baru saja ia dengar. Setelahnya, dia tertawa, "Itu bukan hal yang sulit. Seribu candi itu akan kamu dapatkan."
Senyum meninggalkan wajah Roro Jonggrang. Urat di lehernaya nampak. Matanya bergerak gelisah dengan bibir bergetar.
"Aku... aku ingin semuanya selesai dalam satu malam!"
Bandung Bondowoso meletakkan gelasnya. Hal itu membuat Roro Jonggrang yang sejak tadi menunggu lebih kecewa. Meski begitu, dia masih mencoba memancing dengan menyesap kembali minumannya.
"Apa alasanmu memintanya, Putri?"
"Aku bisa minta apapun sebagai mas kawin, kan?"
Bandung Bondowoso tersenyum. Dia mengambil gelas dari meja dan meminum isinya. Aku menonton itu dengan jantung berdetak cepat. Saat melirik ke Roro Jonggrang, bibirnya melengkung, sangat senang. Aku memegang bungkusan yang menyembul di balik baju. Saat ini aku sedang mengerjakan pembunuhan. Rasa takutku membuat darah sulit mengalir ke jari-jariku.
"Jadi, kapan aku bisa mendapatkan itu?" tanya Roro Jonggrang. Tangannya memasukkan rambut ke belakang telinga. Dia memberikan senyum paling menawan untuk memperdaya pria yang dia benci.
"Malam ini."
Roro Jonggrang tercengang. Matanya berkedip cepat, tak bisa menyembunyikan rasa terkejut. Jika dipikir menggunakan akal sehat, tak ada orang yang mampu membangun seribu candi dalam waktu satu malam.
Bandung Bondowoso menggoyangkan gelasnya. Aku melangkah mendekat untuk menuang lagi air. Sambil memandang pantulan wajahnya di air, dia berkata, "Tidak perlu khawatir, Putri. Saat kamu bangun besok, seribu candi yang kamu inginkan sudah berdiri."
"Baiklah," jawab Roro Jonggrang. Suaranya agal serak. Dia mungkin sedang memikirkan cara baru untuk menggagalkan pembangunan candi itu.
Berdasarkan ceritanya, dia berhasil menggagalkan pembangunan candi itu. Namun, dia tidak bersembunyi ketika Bandung Bondowoso marah sebab pasukan gaibnya kabur. Roro Jonggrang saat itu diceritakan mengejek satu candi yang belum selesai dibangun. Oleh karena itu, dia langsung dikutuk oleh Bandung Bondowoso yang dikuasai amarah.
***
Makan malam kerajaan sudah selesai. Para pelayan datang untuk membersihkan piring dari meja. Aku tetap berdiri diam di sudut, menunggu pria itu bangkit dari kursinya. Tanganku menggaruk lengan. Nyamuk-nyamuk di sini sangat ganas. Tusukan mereka meninggalkan jejak besar di kulitku. Aku menepuk lenganku sebelum seekor nyamuk sempat menghisap darahku.
"Apa yang akan terjadi di pembangunan candi?"
Nada rendah mengerikan menarik atensiku. Aku mendongak, kemudian menunduk. Tanganku naik untuk menggaruk pipi, berpura-pura tidak tahu. Tak ada untungnya aku memberitahu dia.
"Bicara sebelum mulutmu aku robek."
Dalam hati aku mengumpat. Dia mengancamku dan kedengarannya tidak main-main. Aku mengulum bibir, memilah dan memilih kata. "Ada seseorang yang mencoba menggagalkannya," jawabku.
"Siapa?"
Mulutku tertutup. Aku sedang menimang, kalau aku memberitahu bahwa Roro Jonggrang yang menggagalkannya, apa yang akan Bandung Bondowoso lakukan? Sebenarnya konflik di antara mereka tidak ada hubungannya denganku. Mau mereka bahagia atau sengsara, tak ada dampaknya untukku.
"Itu kamu, kan?" tanyanya, lalu menoleh ke arahku. Mata tajamnya bisa memotong apapun. Aku menahan napas sambil meremat baju.
Bandung Bondowoso bangkit dari kursinya. Kakinya mengayun dengan tegas, meninggalkan getaran di hatiku. Tubuhnya agak limbung. Racun itu sudah bekerja. Aku tetap di tempat sampai dia berdiri di depanku. Jarak di antara kami sebatas hidungnya tidak menempel padaku.
"Kamu budakku, ikuti perintahku, bukan perintah orang lain," tukasnya.
Wajahku menunduk lebih dalam hingga daguku hampir menyentuh dada. Dia menyatakan kepemilikannya padaku secara sepihak. Aku tak bisa menerima ini. Hidupku adalah milikku. Bukan milik orang lain. Aku menggelengkan kepala yang langsung diikuti sebuah pertanyaan, "Apa?"
Aku menggigit bibir. Tangannya mencengkeram daguku. Kali ini lebih keras dari yang aku ingat. Nafas hangatnya mengenai rambutku.
"Pelayan kecil, sebelumnya kamu memohon untuk hidupmu. Apa yang ditawarkan Roro Jonggrang sampai kamu seberani ini?"
"Keselamatan." Aku menjawab tanpa ragu.
Bibirnya bergerak lebih dekat. Suara rendah yang menakuti tiap orang di Prambanan mengalun di telingaku. "Gelar putri padanya hanyalah nama. Dia tak bisa memberikanmu apa-apa, tapi aku bisa."
Aku menggeleng. Berikutnya dia mengeratkan pegangannya. Aku menggigit bibir atas sakit yang aku dapat di tulang rahang. Sesak hinggap di dadaku. Mataku berkaca-kaca.
Dia menggeram rendah. Suara kayu yang dipukul berdentum keras di telingaku. Tubuhnya limbung ke arahku, tapi tangan kirinya bertahan di tiang. Dia berdecak kesal sambil bergumam, "Apa yang diberikan gadis kecil itu...."
Aku akan kabur saat dia melepaskan daguku. Namun, aku malah terhimpit di antara tiang kayu dan tubuhnya. Aku menoleh ke sekeliling. Tak ada orang untuk dimintai tolong.
"Jangan berani untuk berteriak."
Ancamannya segera menghilangkan harapanku. Bandung Bondowoso menggeram rendah. Keringat menetes dari dahinya dan jatuh ke wajahku. Dada telanjangnya akan menimpaku. Dengan cepat aku menyilangkan tangan di depan tubuh. Aku sangat takut hingga air berjatuhan dari mata.
Bandung Bondowoso mencoba berdiri. Tangan kirinya lepas dari tiang kayu, lalu mendarat di bahuku. Telapak tangan serta jari-jarinya memegang erat. Saat itu aku merasa tulangku akan remuk. Perlahan dia menegakkan tubuh. Tiba-tiba, tangannya meluncur turun dan menarik ikat pinggangku. Lapisan luar bajuku terlepas diikuti bungkusan jatuh. Dia mengernyitkan dahi melihat bubuk putih mengotori lantai.
Giginya bergemeletuk. Bandung Bondowoso terlihat kesulitan bernapas. Keringat membanjiri wajah dan tubuhnya. Suara napasnya yang berat menakutiku. Dia masih mencoba untuk berdiri. Kemudian wajahnya menghadapku. Matanya mengamati aku yang menyilangkan tangan. Senyum miring terukir di wajahnya. Dalam satu kedipan mata, dia menerjang leherku dan menggigitnya.
Aku menggigit bibir. Gigi tajamnya menembus kulitku. Darah keluar dengan bebas. Dia menghisapnya seperti vampir. Kedua tangannya memegang leher juga pinggangku, menahanku agar tetap di tempat. Suara cecap lidah yang puas masuk ke telingaku.
Selama waktu-waktu panjang itu, aku memejamkan mata erat sembari menyilangkan tangan di depan tubuh. Aku tak bisa berteriak akibat terlalu terkejut dengan hal yang dia lakukan. Kemudian, dia selesai. Bandung Bondowoso menjauh. Kini dia berdiri tegak seolah dia tidak pernah sakit. Tangannya memegang bahuku, meremasnya. Dia berbisik, "Kabarkan padanya aku sudah mati."
Aku mengangguk dengan cepat, kemudian menyeret kaki menggunakan seluruh tenaga yang tersisa.
