Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bagian 6: Permintaan Sang Putri

Aku tersenyum lebar. Kami berdiri berhadapan. Dia menunduk lalu berjalan mundur. Aku kehilangan senyum kemudian kembali menyebut namanya. Dia tidak membalas sapaanku, melainkan bertanya, "Kamu mengingat orang yang meracuni makanan Yang Mulia?"

"Iya, benar."

Dia berjalan ke teras sementara pasukannya berdiri di halaman. Tangannya melambai, memanggil seorang pria tua yang membawa tinta dan kertas. Dia duduk di lantai lalu menaruh barang bawaannya.

"Ceritakan tentang penampilan orang itu," perintah Pak Satria. Wajahnya masih sama dalam ingatanku, akan tetapi sikapnya berbeda. Guru sejarahku jarang bersikap serius, setiap bicara selalu menambahkan lawakan garing.

Aku mengangguk dan menceritakan tentang pelayan tua itu.

Setelah beberapa waktu yang cukup lama, pelukis selesai dengan lukisannya. Dia mengangkat kertas, membiarkan semua mata melihat. Figur wajah itu mirip tapi tidak sama. Aku pikir akan sedikit sulit untuk mencari seseorang menggunakan lukisan itu.

"Apa kamu ingat ke mana dia pergi?" Kepala Pasukan kembali menginterogasiku.

"Ke jalan menuju ruang di dekat singgasana."

"Baiklah. Mari gunakan itu untuk melacaknya. Kita pergi."

Dia keluar dari teras, kemudian pasukan mengikutinya. Langkah tegas mereka menerbangkan debu, menggetarkan bumi sekaligus hatiku. Pak Satria tidak melirikku sama sekali.

***

Mentari menjemputku dari tempat tabib. Dari tempat tabib hingga rumah pelayan, dia bicara banyak tentang mengerikannya orang yang berniat meracuni raja. Jika pelaku itu tertangkap, dia akan dipenggal di lapangan dekat desa. Aku tak bersemangat menyimak. Kepalaku penuh dengan kembaran Pak Satria di zaman ini.

"Citra, kamu beruntung sempat memuntahkan air itu."

"Iya," balasku.

"Bagaimana kamu datang dengan cepat dan membawaku berobat?" tanyaku kemudian.

Wajah Mentari menghadap ke depan. Anak rambut di dekat dahinya bergerak tersapu angin. Butuh beberapa detik sebelum dia menjawab, "Aku bertugas mengawasi pelayan baru. Jika ada masalah pada pelayan baru, aku langsung diberitahu. Begitulah aku menemukanmu, tersungkur lemas di lantai."

"Terima kasih sudah menolongku."

Dia mengangguk pelan.

Aku menatap tanah di bawah kakiku. Telapak tanganku nyeri karena menginjak batu-batu kecil dan tanah yang merah. Aku tak memakai sepatu karena statusku di sini bukan bangsawan, melainkan rakyat.

Mentari mengayunkan langkah lebih cepat. Aku menyeimbanginya dengan berlari kecil. Dia memberitahu, "Akan masuk waktu makan malam. Cuci kakimu dan bersiap di ruang makan. Ingat, pastikan kamu selalu di dekat Yang Mulia Raja."

"Apa Putri ikut makan malam juga?"

"Aku tidak tahu." Mentari mendadak melambatkan ayunan kaki. Dia sedikit lebih tinggi dariku. Jadi dia membungkuk untuk berbisik, "Aku dengar Putri dikurung di kamarnya."

"Untuk mencegahnya kabur?"

Mentari menegakkan tubuh kembali. Dia membalas sapaan hormat rombongan pelayan yang lewat. Matahari semakin turun ke barat. Para pelayan itu menyalakan obor di seluruh sudut istana.

"Kalau Putri ingin kabur, dia akan ke mana? Hanya dia yang tersisa. Harusnya dia berterima kasih karena Yang Mulia Raja tidak menghabisinya."

"Bukankah dia punya pelayan?"

"Hanya satu dan sudah tua. Bagaimana kamu tahu?"

Aku terkesiap saat wajahnya menghadapku. Tanganku menggaruk pipi. "Aku melihatnya," lirihku.

"Di mana?"

"Di... dalam mimpi."

Mentari menaikkan sebelah alis. Lidahnya membasahi bibir sementara dahinya mengernyit. Dia menciptakan keheningan yang menyiksa cukup lama. "Kamu peramal sungguhan? Berapa usiamu? Aku belum pernah bertemu peramal dengan kulit wajah yang belum kendor."

"Aku tujuh belas tahun."

"Sudah menikah?"

"Belum."

"Baiklah, bekerjalah dengan baik."

***

Seperti anak ayam, aku mengikuti Mentari di belakang. Dia tidak membiarkanku berjalan di sampingnya. Aku mempercepat langkah ketika dia berjalan lebih cepat. Senja mulai pudar. Itu memberiku ketakutan tersendiri.

"Masuklah, aku akan mengawasi pelayan yang mengantarkan makanan."

Kami berhenti di depan aula utama. Obor menyala menerangi sudut yang gelap. Prajurit berjaga dengan ketat di sini. Mereka berllau-lalang mengelilingi seluruh area. Aku menoleh ke kanan. "Apa aku akan mencicipi makanan lagi?" tanyaku.

Mentari mengangguk. Setelah itu, dia pergi menuju jalan gelap temaram dan menghilang.

Aku menemukan barisan pelayan memasuki aula lewat pintu kecil. Kakiku akan bergerak ke sana. Namun, sebuah tangan mencengkeram lenganku kemudian menarik tubuhku masuk ke dalam kegelapan. Aku akan berteriak dan dia segera menutup mulutku.

"Diam," bisik perempuan itu.

"Putri?"

"Kamu ingat."

Roro Jonggrang bicara dalam nada yang bangga. Dalam kegelapan dia memegang erat lengan kiriku. Gemerincing perhiasannya tidak terdengar. Dia kemudian meletakkan bungkusan kecil di tanganku. "Kali ini lakukan tugasmu dengan cepat," perintahnya.

"Apa Anda yang meracuni air minum itu?"

"Itu salahmu karena bekerja terlalu lambat."

Aku terhenyak. Dia tidak sabar sehingga nekat meracuni air minum raja. Sebegitu dalam rasa bencinya pada pembunuh ayahnya. Aku meremas bungkusan itu. Jika aku memberikan ini ke makanan untuk Bandung Bondowoso, aku sendiri yang rugi karena aku harus mencicipi makanannya sebelum dia makan.

"Saya tidak bisa. Saya yang mencicipi makanan," tolakku.

"Kamu membuatku harus berpikir," keluhnya kesal. Dia menjelaskan cara meracuni makanan tanpa merugikanku. Dia bicara panjang lebar sampai aku lelah mendengarnya. Setelah dia juga lelah, aku didorong keluar dari kegelapan. Tanpa basa-basi lagi, Roro Jonggrang meninggalkan lokasi dengan suara berisik di semak-semak.

***

Ruang makan terletak di samping ruang singgasana. Keduanya dipisahkan oleh dinding kayu tebal. Aku masuk ke ruang makan dan menempatkan diri agak jauh dari kursi yang dipakai Bandung Bondowoso. Tanganku menepuk pelan bungkusan di balik bajuku. Meja berukir rumit mulai dipenuhi oleh makanan. Air liur memenuhi mulutku ketika tercium aroma masakan yang menggugah selera.

Para pelayan menata isi meja dengan cantik demi satu orang. Setelah mereka selesai dan pergi, Bandung Bondowoso tidak bergeming. Dia tidak bicara atau memberikan perintah. Aku berspekulasi bahwa dia menunggu seseorang.

Dalam kesunyian yang menegangkan, pintu bertirai itu kedatangan seorang tamu, Roro Jonggrang bersama wanita tua yang memberiku gelang. Tubuhnya meliuk anggun menuju meja makan. Dengan mulut terkunci serta pandangan ke bawah, dia menempati kursi di seberang Bandung Bondowoso. Sementara itu, pelayannya berdiri diam di samping pintu.

"Aku senang kamu bergabung denganku." Kalimat Bandung Bondowoso mengandung kebahagiaan.

"Pelayan yang kamu kirim terlalu berisik. Aku tak punya pilihan lain.

Meski Roro Jonggrang berbicara dengan cuek, tak ada jejak kekesalan pada pria itu. Aku menyipitkan mata. Dia sudah menjadi bulol, bucin tolol. Aku terkejut kala Roro Jonggrang membuat kontak mata denganku. Bola matanya bergulir ke kiri. Itulah tanda dimulainya rencana kami.

"Aku mendengar percobaan pembunuhan kepadamu. Bukankah Boko bukan tempat yang cocok?"

"Sepanjang hidupku hal seperti ini tidak bisa dihindari, Putri. Kamu juga harus hati-hati. Aku akan menambah pasukan untuk berjaga di kediamanmu," balas Bandung Bondowoso dengan senang. Dia mengangkat gelas dan aku langsung menghampirinya. Aku mengambil kendi yang dingin, menuang sedikit ke telapak tanganku untuk dicicipi. Saat aku hendak mencampurkan isi bungkusan, mata tajamnya menatapku. Walau hanya sebentar, jantungku menggila karena itu.

Roro Jonggrang menyadari kecurigaan sang raja kepadaku. Maka dia kembali bicara, "Itu merepotkan, sama halnya dengan lamaranmu."

Perhatian Bandung Bondowoso sepenuhnya fokus pada dia. Aku perlahan mengambil sedikit dari bubuk itu lalu menuangnya dengan cepat ke dalam kendi. Selanjutnya, isi kendi yang sudah terkontaminasi meluncur menuju gelas.

"Apa kamu belum memutuskan karena aku tidak menawarkan mas kawin? Bagaimana jika kamu menyebutkan apa yang kamu inginkan?"

"Itu janji yang percaya diri. Memang kamu tahu apa yang aku inginkan?"

"Apapun itu, aku akan memenuhinya."

Aku langsung mundur begitu gelasnya terisi. Dengan buru-buru aku memasukkan kembali bungkusan ke balik baju. Dari tempatku berdiri, mata Roro Jonggrang berkilat penuh semangat. Dia bicara, tapi perhatiannya fokus ke gelas itu. Lalu, dia mengangkat gelas sambil mengulas senyum. Sebelum bicara lagi, dia meminum air yang sudah dituang oleh pelayannya.

"Aku ingin istana..." tukasnya. Namun, dia mendadak berhenti bicara. Dahinya memiliki kerutan halus. Dia sedang memikirkan syarat yang sangat sulit. Tentu saja pada akhirnya pilihannya jatuh ke seribu candi.

"Istana? Kamu ingin istana yang seperti apa?" tanya Bandung Bondowoso. Dari caranya bicara, dia sangat tidak sabar.

Roro Jonggrang mengangkat dagu. Sorot matanya tanpa ketakutan sebab dia sudah menemukan syarat itu. Mulutnya terbuka dan menyatakan, "Aku ingin seribu candi."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel