Bagian 5: Guru Sejarah Dalam Sejarah
Dingin menyerbu kala aku keluar dari ruang mandi. Pelayan yang mengantarku tiba-tiba muncul di halaman. Dia mengamatiku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Aku menghisap ingus dan memeluk diri sendiri.
"Kamu dalam masalah," katanya.
"Aku tidak melakukan hal yang salah. Dia bertanya-"
Dia meletakkan telunjuknya di bibir, memintaku diam. Dia mengoreksi, "Tunjukkan rasa hormatmu kepada Yang Mulia Raja."
"Baiklah."
"Karena kamu basah, kamu harus ganti baju."
Aku mengangguk dengan lemah. Raja yang menyebalkan, kesalku dalam hati. Jika dia memperlakukan semua orang dengan cara uang sama, tidak akan ada yang mau mengorbankan waktu untuk hidup bersamanya. Roro Jonggrang pasti setuju denganku.
"Siapa namamu?"
Dia menoleh sejenak kemudian melihat lurus ke jalan. Aku menaksir umurnya tak terlalu jauh denganku. Meski sering memasang wajah garang, dia memiliki bentuk mata anak anjing. "Mentari," jawabnya. "Dan kamu?"
"Citra."
"Kamu benar-benar tidak terlihat seperti orang India. Apakah kamu ras campuran?"
"Iya."
Selagi berjalan, aku merekam benda-benda penting yang ada. Aku perlu menghafal jalanan di istana untuk berjaga-jaga. Tanganku menggaruk bahu. Sebuah kelopak merah menempel di sana. Aku membuangnya dengan cepat.
"Berapa lama kamu bekerja di sini?" Aku membuka pembicaraan setelah sekian lama kami saling diam.
Mentari tak langsung menjawab. Punggungnya tegak saat dia melangkah di atas tangga batu dengan kaki telanjang. "Sekitar tujuh hari, tapi sudah dua tahun sejak aku menjadi pelayan di istana Pengging," jelasnya dengan bangga. Dia adalah pegawai yang mengabdi pada profesi.
"Apa semua pelayan di sini berasal dari Pengging?"
Dia menggeleng. "Sebelumnya tidak. Kemudian saat Yang Mulia Raja menguasai kerajaan ini, semua pelayan diganti." Wajahnya menghadapku. Kulit coklatnya berkilau terkena sinar siang. Dia bertanya, "Apa kamu penasaran bagaimana para pelayan sebelumnya?"
Aku mengangguk.
"Mereka dilenyapkan, begitu juga dengan prajurit dan pegawai istana. Citra, menurutmu apa alasannya?"
"Menghindari pemberontakan?"
"Kamu pintar. Selangkah lagi, kamu bisa jadi gadis cerdas yang memahami keinginan tuannya."
Selanjutnya Mentari bicara dengan senang tentang kampung halamannya, Pengging yang sangat berkuasa dengan banyak armada perang. Sementara itu, aku berjalan diam di belakangnya. Ini memberiku kejutan sekaligus penemuan bahwa apa yang ditulis di buku sejarah sesuai dengan kenyataan.
***
Setelah berganti pakaian, aku diseret Mentari ke ruang aula. Aula yang dimaksud adalah tempat singgasana Bandung Bondowoso. Aku ditempatkan di belakang tirai dekat singgasana, menunggu camilan dari dapur. Mentari tak di sampingku. Dia pergi dengan meninggalkan pesan agar aku senantiasa menunduk dan merendah.
Berdiri diam di sini kedengarannya agak bosan. Namun, pembicaraan pegawai istana dan sang raja membuatku bersemangat. Mereka berbicara banyak sekali tentang kondisi rakyat yang melawan pemerintahan saat ini.
"Yang Mulia, rakyat di perbatasan memberontak dengan membakar kantor pengawasan. Rakyat meminta agar Putri dibebaskan."
"Tidak ada yang menyandera Putri," jawab Bandung Bondowoso dengan santai.
"Yang Mulia, rakyat di timur memukul seorang prajurit dengan alasan pemerintahan saat ini."
"Tutup akses keluar rakyat di timur."
"Yang Mulia, kerajaan di dekat Gunung Lawu mengajukan pernikahan-"
"Tolak itu."
Masih banyak lagi laporan dari pegawai pemerintah yang langsung diselesaikan Bandung Bondowoso saat itu juga. Dia mengambil keputusan dengan cepat dan tanpa ragu sehingga tak ada yang berani menolak.
"Hei."
Aku menoleh ke belakang. Seorang pelayan perempuan, tua. Dia menatapku tajam. Tangannya membawa nampan emas yang kemudian diberikan kepadaku.
"Untuk di-Yang Mulia Raja?" tanyaku.
"Iya, kamu harus mencicipinya terlebih dahulu."
Pelayan itu pergi sambil berjalan cepat. Mungkin dia punya pekerjaan lain yang mendesak. Aku menatap guci kecil yang terbuat dari tanah liat, gelas yang pernah dilempar Bandung Bondowoso, dan semangkuk kismis. Jadi, mana yang harus aku cicipi? Minumannya atau kismis?
"Minuman dan kismis," gumamku lalu menuang minuman ke telapak tangan. Aku mencecap, mengidentifikasi rasanya. Rasanya mirip air tape, tapi lebih kuat. Aku beralih ke kismis. Rasanya sama seperti di masa depan.
Selesai dengan tugasku, aku menghadap ke kursi singgasana. Kursi emas berukir itu tampak mewah dan agung. Sisi sampingnya yang aku lihat membuatku terpesona. Namun, tidak dengan orang yang mendudukinya. Sekalipun dia memiliki rambut hitam yang indah, kulit tan, punggung berotot, dan abs, aku tak akan pernah terpesona. Dia membunuh seorang ayah demi kursi itu.
Sudut mata Bandung Bondowoso menangkapku. Dagunya memberiku isyarat agar mendekat. Aku menurunkan pandangan sambil berjalan menuju dia. Sebuah meja di dekat singgasana menjadi tujuanku. Aku hendak menaruh nampan dalam posisi berdiri. Tiba-tiba, aku teringat pesan Mentari. Maka aku menjatuhkan kedua lutut, berikutnya meletakkan nampan di meja.
"Tuang," perintahnya.
Tanganku memegang tubuh kendi. Perlahan, air jatuh mengisi gelas keemasan itu. Tiba-tiba, pusing menyerang. Aku menggelengkan kepala sambil fokus menuang.
Gelas sudah terisi. Aku menghela napas dan kembali menggeleng. Pusing itu masih bersarang. Aku beringsut mundur dengan tangan membawa kendi. Dalam pandanganku yang buram, aku melihat Bandung Bondowoso memandangku. Dia tidak bergerak dari kursinya hingga semua yang aku lihat berubah menjadi bayangan.
***
Ada bau obat-obatan. Aku mengernyitkan dahi. Aku selalu benci bau obat tradisional. Apakah jendela terbuka? Aroma jamu buatan tetangga membuatku mual. Kelopak mataku terlalu berat sementara tubuhku tidak bisa aku gerakkan dengan mudah.
"Sial...."
"Kamu sudah bangun?" Seseorang bertanya. Dia perempuan.
Aku membuka mataku dengan paksa. Pandanganku buram, tapi berangsur jelas. Seorang wanita tersenyum kecil. Dia berdiri di sampingku. Ruangan ini penuh dengan rak penyimpanan obat tradisional.
"Siapa?" tanyaku.
"Saya tabib. Kamu pingsan setelah makan racun tikus."
Mendengar penjelasannya, mataku melebar. Aku merasa tidak pernah makan racun tikus... ah, makanan dan minuman itu. Ini kerap terjadi di dalam drama sejarah. Seseorang menyadap makanan untuk menghabisi orang yang akan memakannya.
"Apa aku baik-baik saja?"
"Ya, kamu baik. Baguslah kamu dibawa ke sini dengan cepat."
"Siapa yang membawaku?"
"Mentari."
Aku menganggukkan kepala. Seingatku Mentari langsung pergi. Entah bagaimana dia datang dengan cepat. Aku menatap tabib itu. "Di mana Mentari?"
"Dia sedang memeriksa dapur untuk menemukan pelayan yang membawa makanan itu."
Ingatanku masih jelas tentang pelayan tua yang memberiku nampan. Wajahnya tirus, matanya cekung, dan tubuhnya kurus. Tadi dia pergi dengan terburu-buru. Anehnya aku tidak curiga pada waktu itu. Dia telah melakukan kejahatan. Hukuman adalah balasan untuknya. Aku memberitahu, "Aku ingat orangnya."
***
Langit jingga mulai tiba. Rombongan burung terbang menuju barat. Aku menurunkan pandangan. Katanya ketua pasukan penjaga istana akan datang. Percobaan pembunuhan kepada raja adalah masalah serius.
Derap langkah kaki tegas terdengar. Di halaman, dengan gagah dan tegas seorang pria mengayunkan kakinya. Rambutnya terikat rapi, kumis tipis, dada bidang yang menakjubkan, lalu tatapan tanpa rasa takut. Dia berjalan di depan pasukan.
"Saya kepala pasukan penjaga istana, nama saya Satria."
Saat dia memperkenalkan diri, suara rendahnya menghipnotis, tapi bukan itu poinnya. Wajahnya, bukan karena dia terlihat berwibawa, melainkan dia adalah guru sejarahku. Aku bangkit dari lantai teras. Akhirnya ada orang yang aku kenal.
"Pak Satria!"
