Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bagian 4: Raja Yang Lebih Kejam Dari Es

Aku berjalan di belakang seorang pelayan senior. Aku menundukkan kepala. Setelah pemilihan secara paksa itu, aku disuruh ikut dengan pelayan ini. Aku melihat ke jalan yang kami lalui. Setelah keluar dari area aula singgasana, kami menapak di sebuah halaman luas. Tanahnya kering dan rumput tumbuh terawat.

Setelah beberapa lama, pelayan itu berhenti. Sebuah bangunan berdiri tangguh di hadapanku. Di terasnya terdapat para pelayan wanita yang lalu-lalang membawa barang-barang. Ada yang membawa bahan masakan, baju, bahkan ember kayu besar seorang diri.

"Lewat sini."

Dengan patuh aku mengikuti langkahnya. Kemudian, dia berhenti di depan sebuah kamar. Dia menjelaskan ruangan itu adalah kamarku dan aku punya dua teman sekamar. Aku tak terlalu memperhatikan apa yang dia bicarakan hingga dia berkata, "Ganti bajumu."

Aku menatap tanganku yang dijatuhi selembar kain bermotif. Kain ini memiliki warna dan pola gambar yang sama dengan pakaian pelayan di teras. Ini zaman tua dan aku tidak yakin bagaimana memakainya. Selain itu, aku tidak mau mengenakannya. Baju ini mengekspos bahu, lengan, dan betis.

"Aku tidak mau pakai ini," tolakku.

"Kenapa?"

Suara tegasnya membuatku menciut. Wajahnya yang tidak lagi muda menunjukkan seberapa lama dia bekerja. Tubuhku merinding. Dia adalah tipe pegawai yang menindas anak baru. Aku mencicit, "Aku tidak tahu cara memakainya."

"Ah, begitu," jawabnya pasrah.

Tangannya mendorong pintu. Lewat gerakan dagu dia mengajakku masuk. Setelah aku di dalam, dia menutup pintunya. Kamar ini terdiri dari tiga tempat tidur yang terbuat dari bambu. Ada gantungan kain-kain di dindingnya dan meja yang diisi mangkuk dupa.

Pelayan itu mengambil alih kain dari tanganku. Dia membuka lipatannya kemudian mempertontonkannya di depanku. Sembari memeriksa kain itu, dia mengajukan pertanyaan, "Dari negara mana kamu berasal?"

"Indonesia."

"India?"

Aku menggeleng dan hendak menjelaskan. Namun, kemudian aku menyadari sesuatu. Bagi mereka, Indonesia adalah masa depan yang tidak diketahui. Sementara aku sudah mengetahui masa ini dan masa Indonesia muncul. Aku pikir akan sulit untuk menjelaskannya.

"Iya, India," balasku.

"Pelafalanmu dalam bahasa lokal cukup bagus. Juga, kamu dari desa yang terpencil, ya?"

Senyum tipis ada di wajahku. Aku menguasai tiga bahasa, Indonesia, Inggris, dan Jawa. Namun tak ada yang pernah memujiku sebelumnya. Jujur, dipuji itu menyenangkan.

"Buka bajumu."

"Apa?" Aku membeo sambil menatapnya. Dia hanya menatapku datar.

Aku bertanya, "Mengapa?"

"Mengapa kamu bertanya mengapa? Kamu adalah pelayan pribadi Yang Mulia Raja. Suatu kewajiban untuk berpenampilan rapi. Cepat lepaskan."

Pandanganku turun ke seragam sekolah yang melihat di tubuhku. Walau baju ini agak mahal dengan bahan kainnya yang transparan, aku tidak bisa jauh darinya. Aku mendongak. "Haruskah?"

"Kecuali kamu ingin diejek sebagai orang gila."

Aku melepaskan ransel kemudian menyimpannya di tempat tidur. Selama beberapa saat, aku diam menatap pelayan itu. Dia menatapku dengan garang, mengintimidasi agar aku segera melakukan apa yang disuruh kepadaku. Perlahan aku melepaskan kancing kemeja putih, rok, lalu aku berhenti.

"Pakaianmu berbeda dengan kebanyakan orang India," komentarnya melihat lapisan di bawah seragam sekolahku. Rautnya terheran sambil tetap terlihat elegan. Dia memerintah, "Lepaskan semua, jangan membuang waktu."

Kepalaku mengangguk kecil. Setelah semua lapisan kain jatuh dari tubuhku, tubuhku menggigil. Di luar matahari masih bersinar, tapi aku merasa udaranya sejuk. Aku memeluk diriku.

Pelayan itu membungkusku dengan kain yang ia pegang sejak tadi. Dia memakaikanku baju dengan cepat dan ketat. Aku sampai membuka mulut demi mengambil napas. Setelah semua selesai, dia berdiri di belakangku untuk mengatur rambutku. Beberapa menit kemudian, aku sudah berpenampilan seperti pelayan istana.

"Ingat, Yang Mulia Raja tidak suka pelayan yang lambat, banyak bicara, dan payah. Juga, semua ucapannya adalah mutlak. Jangan libatkan dirimu dalam masalah dengan mempertanyakan kalimatnya. Mengerti?"

Aku mengangguk. Kami keluar dan menyusuri kembali jalan yang sama. Aku diberitahu banyak tentang tugasku, misal menuang minum, memeriksa makanan, dan banyak lagi. Ketika aku ditanyai apa aku paham, aku mengangguk dengan cepat. Aku tak terlalu suka belajar hal baru, tapi mudah mempelajari hal baru.

"Kita sampai."

Sebuah bangunan megah menjulang angkuh di hadapanku. Itu didominasi warna coklat dari tiang-tiang kayunya yang berukuran raksasa. Biarpun bunga-bunga bermekaran di halaman, kesan mengerikan bangunan itu tidak pudar. Aku meneguk ludah dan bertanya, "Apakah ini tempat kerjaku?"

"Benar. Tugas pertamamu adalah membantu Yang Mulia mandi."

Aku menolehkan ke arahnya. "Kamu tidak memberitahu itu sebelumnya."

"Aku menjelaskan sambil menunjukkan. Masuklah, jangan membuat Yang Mulia menunggu."

Punggungku didorong masuk ke bangunan itu. Terdengar air mengalir ketika aku melangkah masuk. Semakin melangkah masuk, aku menemukan tempat ini bukan sepenuhnya bangunan. Tiang-tiang tadi hanya pintu menuju sebuah kolam seluas kolam renang. Tercium harum bunga di semua sisi lantai kayu. Uap yang keluar dari permukaan air memberitahu kolam itu berisi air panas.

Di saat aku menjelajahi tempat ini, seseorang muncul dari sebuah bilik. Refleks, aku bersembunyi di balik pot bunga.

Bandung Bondowoso muncul dan melihatku dengan pandangan geli. Tubuhnya menjulang di atas lantai kayu yang mengkilap. Selembar kain putih menggantung di pinggangnya. Rambutnya tergerai dan beberapa helai menimpa dahinya.

Aku keluar dari persembunyian. Tubuhku berdiri membungkuk dengan tangan tersimpan di depan tubuh. Aku tak bisa menaikkan pandangan. Bukan karena peraturan, melainkan aku menghormatinya. Maksudku, kamu akan tidak nyaman menemukan seseorang melihat ke tubuhmu yang tidak tertutup apapun.

Suara gemercik air mengusik telingaku. Aku mendongak sedikit. Dia sudah duduk di dalam kolam. Tubuhnya yang terendam air mulai dari pinggang hingga ke bawah. Melihat pemandangan di sana membuatku senang karena posenya mirip dengan pria-pria di drama kesukaanku.

"Apa yang kamu tunggu?"

Suara dinginnya memecah kehangatan ruang mandi. Aku melangkah mendekat. Nyawaku sangat aku sayang, jadi mari lakukan perintahnya. Aku berdiri di belakangnya. Punggungnya yang penuh bekas luka dan otot menjadi tontonan.

Aku mengedarkan pandangan. Secara impulsif aku mengambil lipatan kain tebal. Berdasarkan ilmu yang aku dapatkan dari drama, aku harus menggosok punggungnya lalu tangan, dan seluruh tubuh. Itu mudah, seperti memandikan kucing.

Kain tebal itu kubasahi dengan air dari kolam. Setelah memerasnya, dengan hati-hati aku meletakkannya di bahu kanannya. Bahu itu bagus dan berwarna gelap, tipikal pria tampan di komik.

"Kamu lambat," katanya dingin.

Aku mempercepat gosokan pada tubuhnya. Namun, saat melihat bekas lukanya, aku memelankan gerakanku. Akan berbahaya untuk nyawaku jika dia terluka.

"Apa kamu tuli?" Dia bertanya. Nadanya datar, tapi aku menangkap amarahnya. Aku meneguk ludah dan kembali mempercepat gosokanku pada kulitnya.

Dia menggeram rendah. Seketika aku mempercepat kerja tanganku. Selesai dengan bahu kanan, aku berpindah ke bahu kiri. Aku fokus menggosok punggungnya, lalu tiba-tiba dia menawarkan lengan kanannya. Aku berpindah dari kiri ke kanan. Saat aku menggosok lengan kanannya, dia mengangkat lengan kirinya. Terpaksa, aku kembali ke sisi kiri.

Pekerjaan yang kukira semudah memandikan kucing berubah menjadi melelahkan. Dia mempermainkanku sementara aku tak punya pilihan selain menjadi patuh. Lama-lama aku bisa berteriak karena kesal.

"Cepat." Bandung Bondowoso mengeluarkan kembali titahnya. Kali ini dia mengangkat kaki kanannya.

Aku berdiri di luar kolam. Perasaanku tidak nyaman. Instingku memberitahu akan ada hal tidak baik yang akan terjadi. Jadi aku berpura-pura sibuk menggosok lengan kirinya. Aku mencurahkan semua ketulusanku sembari berharap dia menyerah.

"Kesabaranku tidak selama itu."

Setelah mendengar ancamannya, aku segera menerjunkan diri ke kolam. Airnya setinggi betisku, tapi karena aku terjun tiba-tiba, bahuku ikut basah. Aku menatap dia yang sedang menatapku. Dengan cepat aku duduk di dalam air dan melakukan apa yang ia mau.

"Apa yang akan diminta Roro Jonggrang?"

"Saya masih belum bisa melihatnya," jawabku spontan. Aku tak meliriknya sama sekali. Raja yang tinggi hati ini selain bersikap sewenang-wenang juga aneh. Maksudku, siapa yang mandi air panas saat matahari masih di atas kepala?

Cipratan air menabrak wajahku setelah dia menepuk permukaannya. Dia berkata, "Lebih baik kamu membuka mulutmu atau aku merobeknya."

"Bangunan yang banyak." balasku.

"Bangunan seperti apa?"

"Batu."

Dia berdecak. "Bicara dengan jelas!" bentaknya yang membuatku ciut dalam sekejap.

Aku memejamkan mata, takut. Aku menahan tangis. "Seribu candi," lirihku.

"Hanya itu?"

Aku menganggukkan kepala.

Tubuhnya keluar dari air. Dia berjalan menujuku. Cipratan air bertebaran di udara saat dia mengayunkan kaki dengan angkuh. Lalu, dia berhenti di dekatku, membungkuk sambil meletakkan cengkeramannya di daguku.

"Aku suka dengan kepatuhan ini." Suaranya sedalam lautan. Telapak tangan kasar itu memberikan sengatan panas mencapai tulangku. Dia bicara dalam suara rendah dan pelan yang mengirimkan ketakutan tanpa tepi, "Kamu bukan apa-apa selain budakku."

Daguku dilempar ke samping dengan kejam. Aku terjatuh ke dalam air hangat yang tak bisa menghiburku lagi. Wajahku mendongak dan melihat punggung dinginnya masuk ke ruangan yang sama.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel