Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bagian 3: Raja Yang Tinggi Hati

Dengan mata melebar aku menatap dia. Pandanganku beralih ke tanganku. Aku telah terikat pada dua benda ini tanpa aku sadari. Haruskah aku lari?

"Tidak perlu ragu," katanya kemudian sambil melangkah mendekat. Tangannya menepuk bahuku, menghasilkan bunyi gemerincing dari perhiasan yang ada di tubuhnya. "Aku menjamin keselamatanmu."

Aku menurunkan pandangan. Ada kegelisahan di hatiku meski kata-katanya ingin aku percaya. Dia menyuruhku membunuh seseorang, menjanjikan hadiah dan keselamatan. Jika dia berbohong, aku yang rugi. Aku menggelengkan kepala dan menatap matanya. "Aku tidak mau," tegasku.

Roro Jonggrang tidak terkejut dengan itu Senyum tipis terukir di wajahnya. Tubuhnya melangkah mundur. Dia memiliki tatapan satu ketika dia bilang, "Apa kamu takut aku memberimu janji palsu? Tidak perlu takut, Citra. Saat dia mati, aku akan memegang kekuasaan dan aku bisa menjamin keselamatanmu."

"Kamu merencanakan pemberontakan?"

"Tidak. Sejak awal istana ini milikku, kerajaanku, tapi pembunuh itu mengambilnya."

"Aku tidak ada hubungannya dengan ini semua!"

Alisnya menukik dan dahinya berkerut. Dia mengangkat dagu dengan angkuh sambil menatapku remeh. Dia memberitahu, "Kamu sudah masuk, tidak ada jalan keluar."

Setelah mengucapkan kalimatnya, dia melewati bahuku. Roro Jonggrang melenggang pergi diikuti oleh pelayannya. Sosoknya yang baru saja aku hadapi persis dengan gambaran dia di cerita, yaitu licik.

***

Aku kembali ke bangunan tadi dengan langkah lemas. Aku menyeret kaki hingga sampai di teras. Tubuhku duduk, lalu aku memandang gelang dan bungkusan di dalam tas. Ini suap. Aku belum lama di sini dan sudah terlibat ke dalam masalah.

Suara langkah kaki mendekat. Aku menutup kembali tasku, kemudian menyimpannya di belakang tubuh. Dua prajurit yang sama tiba. Salah satu dari mereka mengatakan, "Peramal, Yang Mulia Raja memanggilmu. Lewat sini."

Aku menganggukkan kepala. Aku berjalan di belakang mereka. Mereka masing-masing membawa tombak. Aku melihat ke sekeliling. Jalanan ini beralas batuan datar, tanaman-tanaman kecil tumbuh di tepinya. Perlahan, terlihat ujung bangunan yang familiar. Ternyata kami sedang menuju ke sana.

Prajurit itu berbelok dan aku mengikutinya. Langkah kakiku mengayun masuk ke sebuah aula. Jarak lantai ke langit-langit sangat tinggi. Bangunan ini disangga oleh tiang-tiang kayu yang dililit oleh kain sebagai hiasan.

Karpet yang aku pijak mengantarkanku pada sebuah kursi. Kursi itu tiga tingkat lebih tinggi. Seorang pria duduk di atasnya dengan angkuh. Aku melirik pelayan yang sangat hati-hati menuang minuman ke cangkir untuk pria itu.

Aku menunduk saat dia menangkapku sedang melihat ke arah dia. Punggungku didorong sehingga lututku menyentuh bumi. Itu perlakukan yang kasar, tapi menguntungkanku. Aku tak perlu menatap Bandung Bondowoso.

"Bagaimana ramalanmu?"

Mendengar suara dingin tanpa perasaan itu membuat darahku berdesir. Rasa dingin melingkupi telapak tanganku. Aku sudah bertemu dengannya sekali dan tetap ketakutan hanya mendengar suaranya. Mungkin akibat dari sugesti bahwa dia adalah seorang pembunuh.

"Ramalan saya... itu tentang orang yang Anda inginkan meminta persyaratan."

Aku berhasil mengatakannya. Kini, jantungku berdetak sangat gila. Rasanya itu akan melompat dari tempatnya. Aku meneguk ludah, menahan cegukan. Aku merasakan tatapannya menusukku.

"Persyaratan seperti apa?" Suara sedingin angin puncak gunung membekukan atmosfer di dalam ruangan. Tak ada suara lain saat dia bicara. Orang-orang di ruangan ini menutup mulut, kecuali aku yang kesulitan bernapas.

"Persyaratan... seperti... hal yang menyulitkan," cicitku.

"Menguntungkan atau merugikan?"

Pikiranku kosong seketika. Untuk beberapa saat tak ada yang mengisi otakku. Mengapa dia bertanya begitu? Untuk siapa dia menanyakannya? untuk dirinya atau Roro Jonggrang?

Aku sedikit menaikkan pandangan. Di posisi itu aku hanya melihat kakinya. Masih perlu mendongak lagi. Aku memberanikan diri untuk mendongak lalu dengan cepat kembali menunduk. Tadi aku melihat matanya. Itu merupakan mata tanpa kepercayaan.

Dalam ceritanya, yaitu Legenda Candi Prambanan, diceritakan Kerajaan Boko bernaung di bawah pemerintahan Kerajaan Pengging. Suatu hari, Kerajaan Boko memberontak sehingga Raja Pengging mengirim putranya, Bandung Bondowoso untuk berperang. Dari perang berdarah itu, Bandung Bondowoso muncul sebagai pemenang yang segera menjadi raja baru Kerajaan Boko.

Di saat yang sama, Bandung Bondowoso bertemu putri Kerajaan Boko bernama Roro Jonggrang. Dalam pandangan pertama, dia jatuh cinta dan meminta Roro Jonggrang untuk menjadi permaisurinya. Dengan seluruh amarah dan kebencian, Roro Jonggrang menolaknya.

Bandung Bondowoso tidak menyerah dengan mudah hingga Roro Jonggrang mengajukan syarat berupa minta diberikan seribu candi. Candi-candi itu harus selesai dalam satu malam atau mereka tidak menikah.

Demi mendapatkan gadis pujaannya, Bandung Bondowoso menggunakan pasukan gaibnya untuk memenuhi permintaan tersebut. Namun, Roro Jonggrang yang licik memerintahkan penduduk Prambanan untuk membakar jerami dan memukul alu, membuat seolah pagi telah datang. Pagi yang palsu itu menakuti pasukan gaib. Dengan ketakutan, mereka menghilang sehingga pembangunan seribu candi menyisakan satu yang belum dibangun.

Bandung Bondowoso mengetahui perbuatan licik itu. Hatinya terselimut kabut tebal ketika mengutuk Roro Jonggrang untuk melengkapi seribu candi.

Aku menarik napas dalam-dalam. Aku pikir seribu candi itu merugikan Roro Jonggrang, tapi juga merugikan Bandung Bondowoso. Dia sangat marah kehilangan orang yang dia suka. Namun, apakah itu hal yang akan dilakukan seseorang kepada orang yang dia suka? Aku meragukan jika Bandung Bondowoso pernah jatuh cinta.

"Apa syaratnya?"

Dia kembali bertanya. Kali ini tercium amarah di dalam ucapannya. Dia pasti kesal karena aku diam saja. Aku menggigit bibir. Aku tahu apa yang harus aku katakan, tapi terlalu takut untuk membuka suara.

"Katakan!"

Aku tersentak, kemudian menjawab dengan cepat, "Dia akan minta bangunan yang banyak."

Dia terkekeh, "Dia akan meminta sebuah istana? Itu tidak masalah."

Setelah itu, dia tidak mengajukan pertanyaan lain. Sebaliknya, dia menjebakku dalam keheningan mengerikan. Suara hembusan angin terdengar jelas di telingaku. Aku melirik singgasana. Seorang pelayan wanita kembali menuang air ke cangkir. Tiba-tiba, Bandung Bondowoso menampar gelas, membuat pelayan itu menjerit kaget diiringi suara nyaring gelas kuningan, Itu menggelundung dari tangga singgasana dan berhenti di depanku.

"Pelayan ini buruk sekali," cemoohnya.

Aku mengunci mulut dengan kuat.

"Ambilkan pelayan yang baru!" Dia memerintah dengan arogan.

Pria tua yang sejak tadi berdiri di samping singgasana menanggapinya, "Yang Mulia, maafkan saya. Tidak ada pelayan muda yang tersisa."

"Benarkah?" Dia berdeham. "Tapi aku sudah menemukan orang yang cocok."

Aku merasakan seseorang menunjuk diriku. Aku memutuskan untuk mendongak, penasaran siapa yang ditunjuk oleh raja yang sombong itu. Namun, seketika aku menyesali keputusanku. Ekspresinya datar ketika telunjuknya berada di udara, menunjuk ke diriku.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel