Bab 9 Mereka Datang
Sudah hampir setengah jam perjalanan saat tadi gue dan Lukas pergi menjauh dari rumah. Lukas mencoba untuk mengebut agar bau gue nggak ketahuan oleh para petinggi tersebut. Tapi gue segera melarangnya, karena gue takut dengan kecepatan apalagi kendaraan yang mengebut. Gue nggak kuat, gue bisa merasakan pusing dan akhirnya malah jatuh sakit.
Akhirnya Lukas setuju untuk mengendarai dengan santai setelah gue bercerita tentang ketakutan gue itu. Namun baru beberapa menit setelah gue cerita, dia memberhentikan mobilnya ke pinggir jalan.
Gue pikir dia marah karena udah gue larang untuk ngebut dan akan nurunin gue di jalan karena otaknya udah kembali pulih seperti awal dia bertemu sama gue. Tapi ternyata enggak. Dia nggak menyuruh gue turun ataupun terlihat marah. Dia malah terlihat berfikir sambil menatap gue lekat.
"Lo punya obatnya kan?" tanyanya yang ngebuat mengerinyit bingung.
"Obat apa?" tanya gue balik.
"Lo nggak punya? Kita ke dokter sekarang." ujarnya dan kembali menyalakan mesin mobil lalu pergi dengan kecepatan sedang.
Gue yang melihat reaksinya pun bingung dan kembali menanyakan obat apa yang dia maksud.
"Itu untuk menangani masa heat lo kalo lo mengalaminya." jawab Lukas akhirnya.
Gue mengangguk mengerti lalu memejamkan mata gue dan kemudian memilih diam sambil menunggu perjalanan menuju dokter yang Lukas maksud. Pikiran gue kembali kosong dengan beberapa kenangan yang terlintas di otak gue saat-saat dimana nenek masih berada di rumah dan menemani gue ketika bosan. Perasaan menyesal pun kembali tumbuh karena gue nggak mendengar perkataannya untuk nggak keluar rumah sebelum hari ulang tahun gue.
Tapi seperti kata Galih dan Dirwan. Nenek udah susah payah untuk nggak memberitahu keberadaan gue walaupun mungkin dia sudah mengetahuinya. Gue nggak tau kenapa, tapi yang jelas, gue nggak akan menyia-nyiakan usaha Nenek yang mana dia berusaha agar gue nggak ketangkep oleh mereka.
Kurang dari satu jam, mobil kembali berhenti dan membuat gue mau nggak mau membuka mata untuk melihat rumah sakit yang Lukas datangi saat ini. Dan begitu gue sadar kalau rumah sakit itu adalah rumah sakit yang sama dengan yang gue kunjungi bersama Nenek, gue menoleh ke samping menatap tanya ke arah Lukas.
"Ini kan rumah sakit yang Nenek kasih tau ke gue dua minggu yang lalu. Lo tau darimana?" tanya gue.
Lukas menyatukan kedua alisnya.
"Apa maksud lo gue tau darimana? Gue cuma mau kesini aja, karena disini ada dokter yang gue kenal." balas Lukas yang membuat gue bungkam dan memilih untuk percaya kalo benar itu yang dia maksud.
"Turun. Kita harus cepet. Mereka masih mencari-cari keberadaan lo." ujarnya.
Gue mengangguk, kemudian berbalik dan membuka pintu mobil untuk segera turun dari sana. Tanpa menunggu Lukas, gue berjalan lebih dulu untuk memasuki rumah sakit. Dan untunglah, gue melihat sosok Reza yang tengah berjalan dengan rompi khas dokter yang membaluti tubuhnya.
"Reza!" teriak gue memanggilnya. Dia nggak menoleh, mungkin karena jarak gue sama dia masih lumayan jauh. Lagian gue masih di luar sedangkan Reza di dalam.
"Siapa?" suara Lukas tiba-tiba muncul di belakang gue. Gue menoleh dan langsung menunjuk ke arah Reza yang lagi ngobrol sama orang yang menggunakan kursi roda.
"Reza, temen sebangku gue." jawab gue.
Lukas hanya menganggukkan kepalanya mengerti, lalu setelah itu meraih tangan gue dan menggenggamnya untuk menuntun gue masuk ke dalam rumah sakit. Nggak makan waktu yang lama untuk gue maupun Lukas sampai ke tempat Reza berada. Karena saat ini gue udah ada di hadapannya yang mana dia malah menatap gue dan Lukas bergantian dengan mulut terbuka seperti orang yang nggak percaya.
"Tuan muda?" ucap Reza yang terkesima menatap Lukas di samping gue. Sementara gue yang mendengar ucapannya mengerinyit.
Hah? Apa katanya tadi? Tuan muda?
Gue mengalihkan pandangan gue ke Lukas yang kebetulan dia sedang menggelengkan kepalanya kepada Reza. Dan seperti paham sesuatu, Reza mengangguk lalu mengembalikan ekspresinya seperti biasa. Tersenyum gaje menatap gue.
"Ada apa tuan omega dominan kesini?" tanya Reza yang kini beralih menatap gue dari Lukas.
"Bukan gue, tapi dia. Dia yang ngebawa gue kesini." balas gue sambil menunjuk Lukas.
"Bokap lo ada?" tanya Lukas langsung.
Reza mengangguk semangat menjawab pertanyaan Lukas tersebut. Sedikit membuat gue curiga tentang hubungan mereka sebenarnya. Kenapa Reza begitu patuh dan terkesan sangat mendambakan sosok Lukas? Tapi udahlah, itu bukan hal yang penting untuk gue pikirin.
Gue melangkahkan kaki gue begitu Reza berjalan lebih dulu menunjukan ke arah ruangan Ayahnya yang mana pernah gue temui dua minggu yang lalu. Gue mengikuti mereka berdua dari belakang dengan langkah yang meragu.
Entah kenapa setiap langkah yang gue ambil terasa begitu berat dengan bayang-bayang Nenek yang waktu itu jalan bersampingan menuju ruangan dokter. Apa perasaan bersalah gue begitu besar? Atau ini penyesalan gue yang udah nggak mendengarkan beliau?
"Lo tunggu disini. Biar gue yang ngomong sama dokternya." ujar Lukas yang gue angguki dan kemudian mengambil tempat duduk yang sama seperti gue menunggu nenek waktu itu. Dan juga dengan Reza yang turut nemenin gue disini.
"Jadi..." suara Reza mulai terdengar di samping gue.
"Apa hubungan lo sama Lukas?" lanjutnya.
Gue menghembuskan napas mendengar pertanyaan itu. Gue nggak bisa menjawabnya karena gue sendiri pun bingung dengan apa yang terjadi sama gue dan Lukas sebenarnya. Dia beberapa minggu yang lalu bilang kalo membenci cowok omega kayak gue. Menyebut gue menjijikkan. Bukankah itu cukup untuk gue menyadari kalo dia nggak suka sama gue? Tapi.... Kenapa sekarang dia menolong gue?
Gue nggak tau jawabannya, dan gue belum sempat menanyakannya.
"Kita nggak punya hubungan apa-apa kok. Gue cuma orang yang kebetulan lagi dia tolong." ucap gue akhirnya membalas seadanya.
Reza mengangguk mengerti, tapi setelahnya dia seperti sadar akan sesuatu.
"Bukannya dia benci cowok omega ya? Lo kan omega. Kok?" ujarnya, gue pun langsung menggeleng nggak tau.
"Gue nggak tau. Dan bahkan sampe sekarang gue nggak ngerti apa itu omega. Apalagi Alpa. Jadi udah pasti gue nggak tau apa jawabannya." ujar gue jujur.
Gue memang belum paham apa itu omega yang ada di dalam diri gue. Nenek belum sempat menjelaskannya ke gue. Apalagi soal heat itu gue mengetahuinya sendiri. Kalo nggak ada Lukas waktu, mungkin gue nggak akan pernah mengalaminya. Karena kemungkinan besar hal itu di sebabkan oleh aroma Lukas yang begitu kuat.
"Bukannya Nenek lo udah jelasin ya? Harusnya kita di kasih tau apa bagian kita saat umur 10 tahun. Gue Beta dan udah di kasih tau pas umur gue 7 tahun." ujar Reza yang nggak gue ngerti apa maksudnya.
"Beta?" tanya gue.
"Iya. Beta itu nggak jauh beda sama Alpha. Cuma Beta lebih banyak kekurangan di banding seorang Alpha. Seorang Beta hanya suka menjadi pendamping sosok Alpha. Bagaikan bos dan asisten. Dan kekurangan yang nggak gue sukai adalah, seorang Beta nggak bisa merasakan feromon seorang Alpha maupun Omega. Penciuman kami nggak jauh beda seperti manusia biasa." jelas Reza yang sedikit mulai gue pahami.
"Kalo gitu, berarti Lukas seorang Alpha?" tanya gue.
Reza mengangguk sebagai jawaban.
"Awalnya gue nggak tau dia Alpha. Tapi bokap ngasih tau gue kalo dia adalah Alpha yang sempurna. Dia punya feromon yang kuat dan bisa membuat omega manapun terpikat olehnya. Dan juga sangat berbahaya bagi omega yang baru pertama kali di perkenalkan dunia seperti ini. Ya...termasuk diri lo juga sih." ujarnya.
Sekarang gue paham. Jadi aroma yang di keluarkan oleh Lukas adalah feromon seorang Alpha. Dan itulah kenapa gue bisa mengalami heat gue lebih cepat dari waktu yang seharusnya.
Pintu ruangan dokter terbuka dan menampilkan sosok Lukas sambil tangannya melemparkan sebuah benda kecil ke arah gue. Gue yang melihat itu langsung sigap menangkap benda tersebut dan melihat apa isi dari botol kecil yang Lukas lemparkan.
"Minum itu kalo lo merasa panas dan sesuatu yang bergejolak." ujarnya, dan mendahului gue untuk berjalan menjauh dari sana.
Gue langsung berdiri dan bersiap untuk menyusulnya, namun sebelum itu. Gue berpamitan pada Reza dulu baru melangkahkan kaki gue untuk menghampiri Lukas.
"Apa ini obat untuk mengatasi heat gue?" tanya gue setelah langkah kami sejajar. Lukas hanya berdeham sebagai jawaban.
"Makasih udah bantuin gue sampe lo memperdulikan hal kayak gini." ujar gue sambil menundukkan kepala.
Lukas tiba-tiba menghentikan langkahnya dan membuat gue mau nggak mau ikut berhenti dan menatap tanya kepadanya.
"Ini jelas harus sesuatu yang gue peduliin. Karena kalo lo sampe ngalamin heat saat merasakan feromon gue, itu bisa bahaya. Kita sama-sama dominan." ucapnya terdengar serius.
"Iya gue tau. Tapi sampe saat ini gue masih penasaran sama elo."
"Apa?"
"Kenapa lo bisa sebaik ini sama gue? Bukannya lo benci sama gue? Dan bukannya gue menjijikan?" ucap gue yang akhirnya menanyakan hal ini ke Lukas.
Lukas berdecih lalu mengalihkan pandangannya dari gue ke arah lain.
"Gue benci cowok omega, bukan berarti gue membenci elo. Gue punya kenangan buruk sama cowok omega jadi gue membencinya. Dan soal menjijikan, itu gue merasa jijik sama diri gue sendiri karena akhirnya gue masih bisa merasakan feromon cowok omega. Padahal gue sendiri udah berjanji untuk nggak akan berhubungan dengan orang yang berjenis seperti elo. Tapi udahlah, jangan di bahas. Sekarang kita harus cepet. Ini masih jauh dari persembunyiannya yang gue maksud." jelas Lukas yang membuat gue terdiam karena jawabannya sungguh nggak gue duga.
Namun Lukas dengan sigap menarik tangan gue dan kembali menuntun gue untuk menuju mobilnya. Tapi sebelum hal itu terjadi, tiba-tiba 4 orang pria dewasa menghadang jalan kami dan membuat Lukas urung untuk menuju mobilnya.
"Akhirnya ketemu." ujar salah satu dari mereka dengan suara yang terdengar mengerikan di telinga gue.
"Gimana kalian bisa tau---"
"Sial, jaketnya!" ucap Lukas sambil menatap tubuh gue.
Gue pun menatap ke tubuh gue sendiri, dan gue sadar akan kebodohan gue sendiri karena udah melepaskan jaket Lukas dan meninggalkannya di mobil yang mana jaket itu berfungsi untuk menyamarkan bau gue dari mereka yang datang.
