Bab 5 Heat
"Nu, kamu kenapa nak? Ayo keluar. Makan dulu, nggak apa kamu nggak sekolah lagi hari ini. Tapi kamu makan dulu ya? Dari semalem loh kamu belum makan." ujar Nenek sambil mengelus punggung gue yang membelakanginya.
Gue nggak mau jawab ataupun menyahut. Gue masih merasa malu dengan apa yang terjadi dua hari kemarin. Walaupun itu hal yang nggak gue ngerti kenapa bisa terjadi. Tetep aja itu membuat gue nggak punya muka untuk berhadapan dengan Lukas lagi.
Gimana bisa gue yang niatnya mau nyiduk mereka malah gue sendiri yang keciduk? Parahnya gue keciduk pas coli gegara mereka yang berbuat mesum. Pasti Lukas berpikir kalau gue sange gara-gara merasa menonton atau mendengar porno darinya secara gratis. Memalukan banget, dan dia nggak salah menyebut gue menjijikan.
"Nu?" panggil nenek lagi yang masih berusaha membujuk gue.
Gue nggak tega sebenarnya diemin nenek begini. Tapi apalah gue yang lagi baper karena kebegoan gue sendiri.
"Kamu beneran nggak mau cerita? Yaudah, kalo gitu Nenek tinggal ya. Nanti kalo kamu udah berubah pikiran cari aja nenek di kamar. Ok?" ucapnya, setelahnya gue merasakan tubuh nenek yang beranjak dari kasur gue untuk keluar dari kamar.
Gue yang nggak mau nenek pergi pun segera berbalik dan menahan tangannya. Beliau menoleh sambil tersenyum senang. Dia kembali duduk di kasur gue dan mengelus kepala gue lembut.
Gue yang menerima perlakuan seperti itu pun tersentuh dan akhirnya mendudukan diri gue lalu langsung memeluk beliau.
"Maafin Inu nek." ujar gue sambil memeluknya.
"Iya nggak apa." balasnya, setelah itu gue melepas pelukan gue dan mensejajarkan duduk gue dengannya. Gue diem sebentar menunggu kalimat apa yang akan di keluarkan Nenek.
"Jadi?" gue menoleh dan menaikkan satu alis gue menatap beliau.
"Kenapa kamu bersikap kayak gitu dari kemarin? Apa ada yang ganggu kamu di sekolah?" tanyanya.
Gue yang mendengar itupun menghirup napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Setelah itu gue bersiap untuk bercerita apa yang terjadi semuanya. Lagi pula gue juga masih bingung kenapa gue bisa melakukan hal itu padahal gue nggak pernah mengalaminya sebelumnya. Dan kenapa bau ruangan maksud gue aroma di wc itu membuat gue berdiri? Aromanya sangat menyengat padahal jelas-jelas itu di dalam wc.
"Nggak ada yang ganggu Wisnu di sekolah, Nek. Tapi Wisnu lah yang udah berbuat hal yang memalukan yang bahkan Wisnu sendiri jijik kalo ingetnya." ujar gue mulai bercerita.
"Emang kamu ngapain, Nu?" tanya beliau.
"Wisnu ketahuan berbuat hal yang nggak senonoh di sekolah. Itulah kenapa aku nggak mau masuk dua hari ini. Aku malu nek, apalagi dia satu kelas sama aku. Dia pasti bakal ngejek bahkan menjatuhkan aku nantinya. Di tambah lagi dari awal dia nggak suka sama aku." jelas gue.
Nenek tampak diam berusaha mencerna ucapan gue sambil terus menatap ke arah gue.
"Hal yang nggak senonoh gimana maksud kamu? Dan siapa dia yang kamu maksud?" balas beliau.
"Dia orang yang bilang benci sama cowok Omega, Nek. Yang pernah Wisnu ceritain. Dan hal yang nggak senonoh yang aku maksud adalah... Wisnu ketahuan mesum di sekolah. Aku nggak tau kenapa bisa ngelakuin hal itu. Awalnya Wisnu di hukum sama guru buat bersihin wc, tapi setelah dia dan satu orang cewek berbuat hal yang sama ngebuat aku sembunyi di salah satu bilik. Tapi nggak berapa lama kemudian, Wisnu merasakan aroma yang sangat kuat yang membuat sesuatu dalam diri Wisnu bergejolak, Nek. Dan nggak lama kemudian aku melakukan hal itu dengan barangku sendiri. Aku nggak ngerti kenapa itu bisa terjadi. Tapi itu nggak penting, yang penting, kenapa harus dia yang menangkap basah aku? Padahal kan yang berniat menangkap basah duluan kan aku. Dunia bener-bener nggak berpihak sama aku, nek. Haaahh..." ujar gue selesai mencurahkan apa yang menganggu pikiran gue.
Gue menoleh ke samping dan mendapati nenek yang cuma diam termenung sambil menatap kasur yang sama sekali nggak ada hal yang menarik untuk di liat di situ.
"Nek?" panggil gue sambil menepuk bahunya pelan.
Beliau tersadar lalu nggak lama raut wajahnya terlihat khawatir menatap gue.
"Ada apa, Nek? Kenapa muka nenek keliatan khawatir?" tanya gue.
Dia nggak menjawab pertanyaan gue dan malah mengulurkan kedua tangannya untuk menyentuh muka gue.
"Kamu beneran merasakan feromon Alpha itu, Nak?" tanyanya.
"Feromon?" mendengar gue yang nanya balik, membuatnya melepaskan tangannya dari wajah gue. Setelahnya beliau kembali fokus dengan pikirannya lalu menatap gue lembut.
"Iya, aroma yang kamu rasakan itu namanya feromon, Nu. Tapi nenek bingung. Kamu kan belum masuk umur 17 tahun. Kamu juga belum memasuki masamu. Tapi kamu udah bisa merasakan feromon itu? Apa kamu juga bisa merasakan feromon nenek sebagai seorang Alpha?" tanyanya yang malah belibet dan nggak gue ngerti sama sekali.
"Aku nggak ngerti apa yang Nenek omongin." ucap gue jujur.
"Kamu belum mengerti, kan? Terus kenapa kamu bisa merasakannya? Apa feromon Alpha itu sangat kuat sampai bisa menembus pertahanan manusiamu yang masih tersisa?" ujarnya yang gue yakini dia lagi ngomong sendiri dan nggak butuh jawaban dari gue.
Nggak lama setelahnya beliau sadar dari pemikirannya dan menatap gue dengan pandangan yang nggak gue mengerti.
"Ayo kita ke dokter, Nu." ajak nenek tiba-tiba sambil menarik tangan gue agar bangkit dari kasur. Gue yang nggak siap pun hampir terjatuh karena tarikan itu.
"Buat apa kita ke dokter? Aku nggak sakit, nek. Aku lagi nahan malu aja di sekolah. Nggak perlu ke rumah sakit segala." ujar gue begitu tubuh gue udah berdiri tegap menghadap nenek.
"Ini bukan masalah itu. Tapi pasti ada sesuatu yang salah, karena kamu bisa merasakan feromon di waktu yang belum saatnya. Dan kali ini bukan dokter biasa yang kita temui. Tapi dokter spesialis yang akan menangani masalah yang kamu bingungkan. Kamu bisa konsultasi sama dia nantinya. Ayo sekarang kamu siap-siap. Nenek juga mau siap-siap. Kalo udah kita langsung berangkat." ujarnya lalu setelah itu langsung berbalik dan berjalan keluar dari kamar gue.
Sementara gue yang tentu aja nggak ngerti apapun cuma bisa menghembuskan napas pasrah dan berjalan lesu ke arah lemari untuk bersiap ke dokter yang nenek maksud.
***
"Jadi masalahnya adalah kamu merasa terangsang hanya dengan merasakan aroma atau yang di sebut feromon itu sangat kuat dan akhirnya membuatmu melakukan hal yang seperti itu?" ucap sang dokter yang bernama Dimas.
Gue mengangguk di ikuti nenek yang juga duduk di samping gue.
"Masalahnya bukan di terangsangnya dok. Tapi ini lebih ke dirinya yang sudah bisa merasakan hal itu padahal saat ini dia masih di bawah umur dan belum saatnya tiba. Pertumbuhannya memang lambat, karena masih ada darah manusia yang mengalir di dalamnya. Di tambah lagi ibunya adalah seorang resersif." ucap Nenek yang begitu lancar sedangkan gue cuma bisa diem karena nggak ngerti apa yang mereka bicarakan sedari tadi.
"Jadi begitu. Baiklah, konsultasi ini akan saya bicarakan dengan Nenek saja. Untuk Dek Wisnu silahkan tunggu di luar, karena hal ini masih belum di peruntukan olehmu yang masih di bawah umur. Atau juga bisa di sebut masa heat." ujar dokter itu yang beralih menatap gue setelah berbicara kepada nenek tadi.
Gue menatap nenek meminta jawaban, setelah melihat dirinya mengangguk gue pun bangkit dari duduk gue dan berbalik untuk keluar dari ruangan dokter yang sebenarnya sangat nyaman untuk gue rasakan. Tapi karena gue di suruh keluar, apa boleh buat. Gue pun akhirnya menunggu di kursi tunggu sambil memainkan ponsel gue yang sudah penuh notifikasi dari beberapa aplikasi chatting.
Gue membaca satu-persatu pesan yang masuk yang mana sebagian berasal dari grup dan hanya beberapa orang saja yang menanyai keberadaan gue yang nggak sekolah dua hari ini.
"Wisnu?" suara seseorang yang menyebut nama gue dan membuat gue mendongak untuk melihat siapa orang yang udah manggil gue.
"Reza? Ngapain lo disini?" tanya gue begitu tau sang empunya suara tadi.
"Harusnya yang nanya itu gue. Ngapain lo ada di rumah sakit ini? Kan lo belum masuk waktunya??" ujarnya sambil mengambil duduk di samping gue.
Gue yang mendengar ucapannya barusan pun menatap tanya dirinya.
"Kok ucapan lo bisa sama kayak orang-orang di sekitar gue sih. Belum waktunya lah, belum saatnya. Dan lain-lain yang kayak gitu. Apa semua orang tau hanya dengan melihat gue bahkan untuk pertama kali?" ujar gue yang udah mulai bosan dengan kata-kata belum waktunya.
Reza terkekeh menanggapi ucapan gue.
"Nggak mungkinlah. Gue aja nggak bakal tau kalo bokap gue yang nggak cerita."
"Bokap lo?"
"Iya, ruangan yang lo masuki tadi itu ruangan bokap gue." ujarnya yang membuat gue cukup terkejut.
"Serius?" dia mengangguk sambil menopang satu kakinya di kaki satunya.
"Kok dokter gitu sih. Bocorin informasi pasiennya." ucap gue bercanda.
"Apa salahnya? Kan gue anaknya." balasnya yang malah di bawa serius.
"Tapi kan dokter punya sumpah tentang sesuatu yang kayak gitu." ujar gue yang juga ikut kebawa serius.
"Tau dari mana lo?"
"Di film-film sih gitu." jawab gue yang akhirnya meragu.
"Film kok di percaya. Gue dong tau semuanya langsung dari sumbernya." ucapnya yang menyombongkan pekerjaan bapaknya.
"Iye gue kalah debat. Btw, bukannya sekarang masih jam pelajaran ya. Kok lo disini? Nggak sekolah juga lo?" tanya gue yang sadar setelah melihat jam di dinding yang baru menunjukan pukul 10 pagi.
"Gue izin hari ini. Lagian gue bosen di kelas kalo nggak ada elo."
"Apa hubungannya sama gue?"
"Ya nggak ada temen sebangku lah. Apa lagi!?" balasnya yang malah nyolot ke gue.
Gue dalem hati udah memakinya karena baru kenal beberapa hari udah berani nyolot-nyolotan. Untung ganteng, kalo nggak udah gue smack down nih orang.
Gue yang tadinya mau membalas ucapan Reza harus gue urungkan begitu bunyi pintu terbuka mengalihkan pandangan gue maupun Reza ke asal suara tersebut. Sosok nenek muncul dari sana dan berjalan perlahan ke arah gue. Gue yang mau menanyakan gimana hasilnya langsung nggak gue sempatkan begitu Reza mendahului gue untuk menyalimi tangan nenek.
"Temen baru Wisnu ya?" tanya nenek begitu Reza selesai dengan urusannya.
"Iya, Nek. Temen sekolah." jawabnya.
"Nggak sekolah juga?" tanya nenek lagi dan di angguki Reza dengan senyum kikuk yang terlihat jelas dari penglihatan gue.
"Gimana nek? Apa Wisnu baik-baik aja? Dia nggak sekolah dua hari kemaren." ujar Reza yang bener-bener nggak gue ngerti kenapa dia harus repot-repot basa-basi begitu.
"Dia nggak apa kok. Dia cuma butuh istirahat aja sampai waktu yang seharusnya tiba." ujar nenek dan langsung menimbulkan kerinyitan di dahi gue.
"Jadi Wisnu harus nggak sekolah selama itu ya, Nek?" tanya Reza yang sudah mewakili pertanyaan yang timbul di benak gue.
Nenek mengangguk, lalu beralih menatap gue sambil tersenyum tenang.
"Ya, dia harus di rumah sampai waktunya tiba. Kalau enggak akan di takutkan hal yang sama akan terjadi lagi. Bahkan mungkin akan lebih parah. Karena Wisnu akan menjadi seorang yang dominan." ucap nenek dan mendapatkan respon terkesima dari raut wajah Reza.
"Ayo, Nu. Kita pulang. Masih banyak hal yang harus nenek katakan padamu tentang konsultasi tadi." ucap beliau dan mendahului gue dan berjalan menjauh setelah sebelumnya tersenyum berpamitan kepada Reza.
"Gue turut bahagia bro lo jadi yang dominan. Lo bakal jadi sosok yang di idamkan nanti. Sukses yaa." ucap Reza saat gue bangkit dari kursi.
"Ngomong apaan sih? Gue nggak mudeng." balas gue.
"Ntar juga lo tau sendiri." ujarnya.
Gue yang mendengar itu cuma tersenyum kecut lalu mulai berjalan menjauh dari sana untuk menyusul nenek yang mungkin lagi nungguin gue saat ini.
***
Sesampainya gue di rumah. Nenek cuma menjelaskan beberapa hal yang masih aja nggak gue mengerti. Gue nggak tau apa otak gue yang lemot atau fakta kalau gue belum waktunya untuk mengerti itu bener.
Entahlah. Gue nggak mau ambil pusing. Yang jelas, satu hal yang gue pahami. Gue nggak boleh keluar rumah sampai satu bulan ke depan saat umur gue tepat menginjak tujuh belas tahun.
Gue sedikit protes waktu itu. Karena mana mungkin gue bisa betah di rumah seharian dan dalam waktu satu bulan. Gila aja lagi, gue udah kayak tahanan yang terisolasi padahal gue nggak melakukan kejahatan.
Tapi nenek terus meyakinkan gue kalo ini yang terbaik dan paling aman untuk diri gue. Jadi karena itu, akhirnya gue pun setuju dan tetap diam di rumah seharian yang mana sekarang sudah berjalan dua minggu lamanya.
Soal sekolah, tentu saja nenek udah mengizinkan gue ke kepala sekolah. Dan ajaibnya langsung di terima gitu aja. Gue nggak tau apa yang nenek lakukan sampe kepala sekolah aja setuju untuk gue ambil cuti selama satu bulan.
Rasa bosen sih pasti selalu dateng ke benak gue. Tapi berkat dua orang sahabat gue yang selalu dateng tiap hari sehabis pulang sekolah. Membuat rasa bosan itu hilang dan akhirnya gue betah juga di rumah. Mereka nggak nanya sama sekali kenapa gue udah kayak orang penyakitan yang harus stay di rumah. Baguslah, lagipula gue nggak tau harus jelasinnya kayak gimana.
Ya, semuanya berjalan lancar dua minggu ini. Tapi entah kenapa hari ini di jam 10 malem ini. Gue merasa gelisah dan hasrat pengen keluar rumah itu kuat banget. Bahkan gue sampe nggak sadar kalo saat ini gue udah di luar rumah dan ada di jalanan yang masih ramai dengan orang yang berlalu lalang.
Semuanya berjalan baik di luar. Gue bahkan sempet memesan dan memakan nasi goreng pinggiran. Makan eskrim, dan melakukan hal-hal yang gue inginkan selama dua minggu terakhir. Tapi semua kelancaran itu perlahan hilang begitu gue melewati jalan sepi dan hanya ada beberapa orang dengan tinggi badan di atas rata-rata.
Rasa takut langsung menyergap gue. Apalagi mereka selalu menyebut gue omega yang menarik perhatiannya. Gue nggak ngerti, tapi gue paham kalo gue lagi dalam bahaya. Makanya, sebelum orang itu sampai dengan jarak gue. Gue langsung berlari kencang menjauh dari mereka. Dan firasat gue bener, mereka juga lari dan mengejar gue.
Nama nenek pun selalu gue sebut dalem hati gue karena udah membantah ucapannya yang melarang gue untuk keluar rumah. Dan inilah akibatnya dari gue yang membangkang.
Napas gue pun perlahan menipis karena gue udah merasa lelah akan berlari yang kencang dan juga dengan jarak yang jauh. Gue nggak sanggup lagi berlari, bahkan gue berhenti untuk mengambil napas sebentar. Dan karena hal itu, para orang yang mengejar gue pun udah dekat dan tinggal beberapa meter lagi sampai.
Gue udah pasrah saat itu, karena gue udah nggak memiliki tenaga lagi. Tapi tiba-tiba sebuah mobil berhenti tepat di depan gue dengan jendelanya yang perlahan terbuka dan menampilkan sosok orang yang tentu saja penyebab dari semua ini terjadi. Lukas.
Dia menatap gue dan belakang gue bergantian. Setelah itu dia menghembuskan napasnya pelan lalu berkata.
"Masuk." ucapnya. Gue nggak mudeng dan menyatukan kedua alis gue menatapnya bingung.
"Lo mau ketangkep mereka?" tanyanya lagi. Sontak gue langsung menggeleng karena jarak mereka bener-bener udah di depan mata.
"Cepet masuk." ujarnya lagi.
Gue yang mendengar itupun segera berlari ke pintu mobil satunya untuk masuk ke dalam mobil tersebut. Tepat waktu saat orang-orang itu sampai di tempat gue berhenti tadi, mobil pun langsung melaju cepat menjauh dari area tersebut.
Gue merasa lega karena akhirnya gue selamat dari bahaya. Gue menghirup napas sebanyak-banyaknya untuk menenangkan diri gue yang sempat terserang panik tadi.
Tapi bukannya gue merasa tenang. Gue malah merasa panas dan juga bergairah begitu aroma yang pernah gue rasakan kembali masuk ke penciuman gue dan membuat sesuatu di bawah sana berkedut dan terasa sakit. Muka gue pun terasa panas bahkan saat mobil berhenti dan orang di sebelah gue menyuruh gue turun pun nggak gue lakukan
Gue malah menoleh ke arahnya yang mana dirinya terlihat sangat menarik dan juga sangat gue inginkan saat ini. Tapi rasa yang bergejolak ini bener-bener nggak bisa gue tahan. Dan tanpa perintah dari otak gue, tubuh gue pun dengan lancangnya memeluk Lukas yang terbengong kaget melihat perlakuan. Sebelum dia berucap atau menyingkirkan gue. Gue pun berbisik pelan dan terkesan menahan sesuatu yang nggak bisa gue tahan lagi.
"Tolong gue, Lukashhh" bisik gue yang entah kenapa mengeluarkan suara yang seperti itu.
"Kenapa harus sekarang lo ngalamin heatnya!?" ucapnya dan berusaha menyingkirkan gue dari tubuhnya yang sangat terasa nyaman untuk gue peluk.
Gue menjauhkan wajah gue dari pundaknya untuk melihat wajahnya yang terlihat begitu tampan di penglihatan gue. Bahkan gue nggak sadar kalau tangan gue saat ini udah menyentuh barang pribadinya dan dengan kurang ajarnya gue mencium bibir Lukas yang terdiam menatap gue datar.
