Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 11 Kembali Normal

Setelah kejadian dimana saat gue dan Lukas di bebaskan oleh para petinggi itu, kini semua hari-hari gue kembali seperti biasanya. Ya walaupun ada yang berbeda, seperti misalnya gue udah nggak tinggal sama Nenek. Perubahan fisik yang gue alami beberapa minggu ini juga membuat gue merasa aneh, kulit gue perlahan menjadi putih dan kini setelah sebulan penuh sudah terlihat cerah tanpa adanya sedikit noda hitam. Duh apaan dah, noda hitam. Kayak pakaian aja.

Oke, kembali ke keadaan.

Semuanya berjalan lancar tentu aja, karena ini jaman udah modern. Jadi dengan mudahnya gue menghubungi Nenek menggunakan telfon, gue selalu mengajaknya video call sehabis gue pulang sekolah. Tentu aja gue seneng, apalagi setelah insiden itu gue jadi super pendengar dengan apa yang Nenek katakan untuk apa yang harus gue lakukan.

Ya, gue kembali sekolah. Begitu juga dengan Lukas. Kami belum memutuskan untuk menikah, bukan kami. Tapi gue. Gue belum siap, apalagi posisinya yang gue baru mengenalnya dalam beberapa kali pertemuan. Gue nggak mengenalnya, walaupun hati gue kadang suka nggak karuan sama apa yang dia lakukan sama gue, itu nggak menutup kemungkinan kalo gue juga masih mau mengejar cita-cita gue untuk menjadi seorang sarjana. Atau paling banter ya...jadi lulusan SMA.

Lukas paham dengan permintaan gue untuk menunda pernikahan yang rencananya akan dia laksanakan keesokan harinya begitu kita pulang dari tempat petinggi itu. Tapi seperti yang gue bilang, gue menolak itu dengan beralasan kalo gue belum siap dengan umur gue yang masih belia ini. Gue bahkan belum 17 tahun. Dia enak, umurnya udah memasuki 20 yang mana hal itu membuat gue kaget tentu saja. Tapi setelah dia jelasin kalo cuma gue sendirian yang belum umur 20 tahun di sekolah. Karena yaaa,, gue berbeda sama mereka. Gue memiliki darah murni darah manusia.

Ngomong soal darah manusia, otak gue kembali teringat dengan ucapan pria dengan suara menakutkan itu kalo Ayah dan Ibu gue udah tiada di dunia ini. Ayah gue di eksekusi sedangkan Ibu gue meninggal karena pasangannya telah pergi selamanya. Saat mendengar itu, tentu saja gue merasakan sedih bahkan sempat nggak bisa berpikir jernih untuk apa yang harus gue lakukan saat itu. Marah? Memberontak? Gue nggak tau, tapi setelah mereka bilang kalo Nenek di bebaskan, disitu gue paham. Kalo yang gue rasakan hanya rasa khawatir yang sepintas karena mungkin dari sejak lahir gue nggak melihat kedua orang tua gue. Dan seluruh rasa sayang yang gue miliki sudah terpaku oleh Nenek seorang.

Jadi.... Gue nggak tau harus merasakan apa saat hal itu di sebutkan. Apalagi saat perjanjian yang Lukas sebutkan. Otak gue bener-bener blank kala itu. Tapi udahlah, toh semuanya sudah lewat dan sekarang gue harus menjalani keseharian gue seperti biasanya.

"Lo mau kemana?" tanya gue begitu melihat Lukas yang bercermin di depan gue yang lagi bersantai di kasur miliknya.

Oh iya, gue lupa. Kalo saat ini gue udah serumah dengan Lukas di apartemen miliknya yang mana gue pernah tinggal disini waktu itu. Sebenarnya ada dua kamar disini. Tapi dia membantah dan menyuruh gue untuk sekamar dengannya. Gue nggak tau alasannya, tapi karena itu menguntungkan juga untuk gue yang mana kamarnya sudah lengkap dengan apapun yang gue butuhkan. Jadilah dengan senang hati gue menerima paksaannya.

"Gue ada urusan untuk tiga hari ke depan, dan bakal berangkat sore ini." ujarnya dan hanya menatap gue melalui cermin.

"3 hari? Terus gue sendirian di sini? Gimana sama sekolah lo?" tanya gue yang udah nggak duduk santai lagi. Gue malah mendekatkan jarak gue dengannya, walaupun gue masih berada di atas kasur.

Dia berbalik dan boom, jantung gue berdetak lebih kencang melihat penampilannya yang benar-benar ganteng saat ini. Dengan setelan jas besar yang membaluti kemeja dan celana yang nggak gue tau namanya apa, sangat pas dengan tubuhnya saat ini. Apalagi dengan rambutnya yang di sisir miring dan memperlihatkan jidatnya yang ternyata sangat bagus di wajahnya.

Gue speechless dengan muka yang memanas. Ini nggak baik, bagi gue maupun jantung gue.

"Nggak, lo nggak sendirian. Dua temen lo bakal disini buat nemenin lo. Dan soal sekolah, lo bisa izinin gue kan?" ujarnya yang udah berdiri di depan gue yang mana hal itu mengharuskan gue untuk mendongak menatapnya.

"Nenek gimana? Kalo mereka berdua kesini, terus cara gue video call-an gimana?" tanya gue yang langsung teringat akan nenek.

"Lo belum tau ya?" tanya Lukas balik yang membuat gue langsung mengerinyit bingung.

"Di rumah lo sekarang udah ada yang jagain Nenek. Dia mungkin seumuran kita."

"Kita nggak seumuran!" potong gue yang membuatnya menggeram pelan.

"Ya terserah, yang jelas dia itu masih muda dan sekarang tinggal di rumah lo. Dia adalah orang suruhan petinggi untuk ngawasin nenek. Jadi lo nggak perlu khawatir, dan juga soal video call, dia juga bisa akses itu. Lo tenang aja, yang gue takutin cuma satu." ujarnya dan berhenti sambil menatap gue ragu.

"Apa?"

"Gue takut lo ngalamin heat saat gue nggak ada nanti. Walaupun ada obat penahanannya. Tapi gue nggak mau orang lain ngeliat lo saat itu terjadi." ujarnya sambil mengelus kepala gue lembut.

"Gue kira apa. Tenang aja, gue nggak bakal keluar rumah sampai lo pulang kok. Gue juga nggak mau ngalamin hal yang sama seperti waktu itu. Jadi, lo nggak perlu khawatir. Ok?" ujar gue sambil menyentuh tangannya yang ada di kepala gue.

Lukas tersenyum lalu mengangguk pelan. Setelahnya dia mendekatkan wajahnya ke wajah gue.

"Apa gue boleh nyium lo sekarang?" tanyanya yang langsung aja membuat wajah gue panas dan merasa salah tingkah.

Gue belum yakin sama diri gue yang memiliki perasaan atau nggak sama Lukas. Tapi dari tubuh gue yang selalu bereaksi seperti ini saat Lukas berada di sekitar gue. Mungkin gue bisa bilang kalo gue udah memilikinya, walaupun itu masih samar-samar.

Gue menunduk ke bawah lalu mengangguk malu tanpa menatapnya. Setelah itu nggak lama gue rasakan kedua tangan Lukas yang menyentuh wajah gue dan membantu gue untuk kembali mendongak menatapnya. Dalam beberapa detik berikutnya, gue pun bisa merasakan bibirnya yang menyentuh bibir gue yang mana terasa begitu kenyal sekaligus hangat yang gue rasakan dalam hati gue.

Ciuman itu nggak berjalan lama, dan beberapa lumatan terjadi di dalamnya. Karena setelah itu Lukas menjauhkan wajahnya dan tersenyum menatap gue disusul dengan kecupan bibirnya di pipi gue.

"Gue berangkat dulu, ya. Pastiin nggak ada siapapun yang mengusik lo selama gue disini. Dan kalo itu terjadi, langsung hubungi gue. Ok?" ujarnya yang langsung gue angguki karena gue bener-bener salah tingkah si buatnya.

Setelah itu Lukas kembali tersenyum manis dengan tangan yang mencubit pelan pipi gue yang habis di kecupnya tadi.

"Perubahan lo emang sangat keliatan imut dan menggemaskan. Sebenarnya gue lebih suka yang sebelumnya. Tapi yang sekarang pun nggak masalah, yang penting saat ini lo ada di sisi gue." ucapnya dengan di akhiri kecupan di kening gue.

Gue sendiri yang dari tadi menerima perlakuannya cuma bisa diem dengan jantung yang udah nggak bisa gue kendaliin buat nggak berdetak kencang. Gue bener-bener kehabisan kata-kata dengan perbuatan Lukas ke gue. Karena bagaimanapun ini adalah hal yang baru gue rasakan selain dengan Nenek tentunya. Dan gue..... Suka itu.

"Gue berangkat ya?" tanyanya yang udah berdiri seperti posisi sebelumnya.

"N-nggak bawa baju?" balas gue yang malah kelihatan gugup padahal sedari tadi gue berusaha untuk menutupinya.

Lukas menggeleng pelan.

"Nggak perlu. Gue berangkat ya." pamitnya dan membuat gue mau nggak mau mengangguk mengijinkannya walaupun hati gue sebenernya nggak mau di tinggal olehnya. Oke, itu lebay. Tapi ini beneran gue nggak mau dia pergi.

Setelah itu Lukas pun berbalik dan keluar dari kamar setelah sebelumnya tersenyum hangat ke arah gue. Sementara gue sendiri langsung merasa kehilangan begitu menyadari sekarang gue sendirian di apartemen yang lumayan besar ini. Gue nggak tau apa urusan Lukas sebenarnya. Gue juga nggak enak buat nanyainnya.

3 hari ya?

Gue bakal kangen banget pastinya. Tapi di banding itu, gue lebih kangen nenek dan ingin memeluknya saati ini. Karena sudah sebulan lebih gue nggak berkontak fisik dengannya dan itu membuat sesuatu dalam diri gue menggebu ingin menemuinya. Namun gue sadar diri, gue nggak mau membahayakan orang lain lagi hanya karena rasa egois gue untuk memenuhi keinginan gue itu.

Jadilah sekarang gue menunggu bosan di ruang tengah dengan menonton siaran tv yang menyiarkan acara musik yang nggak gue ketahui siapa aja yang tampil.

Bunyi bel rumah membuat semangat gue kembali bangkit, karena gue pikir itu adalah dua sahabat gue yang udah gue kangenin juga. Walaupun setiap hari video call-an, tapi tetap saja itu kurang. Apalagi saat ini kita beda sekolah, karena Lukas udah memindahkan gue ke sekolah yang baru di dekat sini. Jadi dengan wajah sumringah, gue bangkit dari sofa dan berjalan mendekat ke arah pintu.

Namun saat gue melihat monitor yang menampilkan seorang wanita cantik dengan pakaian yang lumayan feminim membuat senyuman sumringah gue luntur seketika dan di gantikan dengan ekspresi bertanya dan menatap nggak suka cewek tersebut. Apalagi saat cewek itu mengeluarkan suaranya dan berkata.

"Sayang, kamu ada di rumah kan?" ujar cewek itu yang langsung membuat jantung gue berhenti berdetak beberapa detik mendengarnya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel