Bab 3 : Malu
Bangun dalam keadaan pening dan di tempat asing, Aruna mengernyitkan kening, menatap sekeliling untuk memastikan bahwa dirinya tidak terdampar di antah barantah. Baru setelah sadar bahwa hotel lah yang menjadi tempat singgahnya saat ini, Aruna menghela lega. Sebelum kemudian mengingat-ingat bagaimana cara ia tiba di tempat ini. Dan tak butuh waktu lama untuk akhirnya Aruna mengingat semuanya. Hal yang kemudian membuatnya malu sendiri. Bahkan rasanya Aruna ingin sekali menenggelamkan diri untuk bersembunyi.
Aruna tidak menyangka bahwa dirinya akan bersikap semurahan itu. Dan Aruna tidak tahu apa yang harus dikatakannya ketika bertemu pria itu nanti. Ah, tapi sepertinya Aruna memilih untuk tidak bertemu Mario lagi, sebab itu pasti akan sangat memalukan. Dan lagi, apa yang akan Mario pikirkan tentangnya setelah kejadian semalam? Aruna tidak bisa membayangkan, yang ada perutnya justru bergejolak, membuatnya segera turun dari ranjang dan berlari menuju kamar mandi untuk memuntahkan isi perutnya.
Efek seperti inilah yang tidak Aruna sukai setelah mabuk. Tak hanya perutnya yang terasa tak nyaman, kepalanya pun pening, sampai rasanya Aruna ingin sekali membenturkan kepalanya pada tembok di belakangnya.
“Arghh sialan!” erangnya kesal, lalu segera membasuh mulut serta wajahnya yang terlihat cukup berantakan. Patah hati yang ditimbulkan Bian benar-benar berhasil membuat Aruna hilang kendali dan kewarasan. Untung saja Aruna tidak kepikiran bunuh diri akibat patah hatinya ini.
Merasa tak nyaman dengan keadaannya saat ini, Aruna memutuskan untuk sekalian membersihkan diri. Namun selesainya dengan itu Aruna baru menyadari bahwa ia tidak memiliki pakaian ganti. Pakaiannya yang saat ini tergeletak di lantai kamar mandi terlalu ngeri untuk kembali dikenakan lagi. Tidak ada noda apa-apa memang, tapi jelas tidak akan nyaman, mengingat itu sudah dipakai seharian kemarin. Aruna terbiasa mengenakan pakaian yang rapi, membayangkan kembali menggunakan pakaiannya semalam benar-benar membuatnya risi. Tapi …
Tok … tok … tok.
“Aruna, lo di dalam?”
Dan panggilan itu sontak membuat Aruna tersentak, lalu bergegas mengambil handuk yang tersedia di sana dan melilitkan ke tubuhnya yang polos. Kepalanya bertanya-tanya mengenai siapa yang masuk ke kamarnya. Namun belum sempat menemukan jawaban, suara itu kembali terdengar, diiringi ketukan di pintu. Akhirnya Aruna memilih menyahuti dan membuka sedikit pintu demi memastikan siapa pemilik suara itu.
“Lo—lo ngapain di sini?” Aruna terkejut mendapati kehadiran Mario di kamarnya. Padahal Aruna tidak pernah berpikir pria itu akan kembali ke sini, menemuinya dengan sengaja seperti ini.
“Bawain baju buat lo,” adalah jawaban Mario sembari mengangkat tangannya, menunjukkan paperbag yang dibawanya.
“Ta—”
“Gue tahu lo pasti butuh ini,” selanya mengangkat bahu, lalu meletakan benda itu di lantai depan pintu kamar mandi yang hanya menampilkan sedikit kepala Aruna dengan raut wajah syok-nya. Setelahnya Mario memilih untuk pergi dari sana. Namun Aruna segera mencegahnya.
“Lo mau ke mana?” entahlah dari mana ia mendapatkan kelancangan itu. Yang jelas kini Aruna sedang merutuki mulutnya sendiri karena sudah seenaknya saja berbunyi. Padahal ‘kan cukup ucapkan terima kasih. Tidak perlu ia peduli akan ke mana pria itu setelah ini. Sialannya ia tidak bisa menarik kata-katanya lagi, apalagi saat ini Mario sudah berhenti dan menoleh ke arahnya.
“Pulang,” jawabnya tanpa sama sekali berekspresi.
“Semalam lo yang bawa gue ke sini ‘kan?” Aruna bertanya hati-hati. Lebih tepatnya ragu sekaligus malu. Ia tidak tahu keputusannya memastikan ini benar atau justru salah, namun ia memang harus lebih memastikan. Siapa tahu semalam ia hanya bermimpi, iya ‘kan?
“Hm,” hanya itu tanggapan Mario, membuat Aruna nyaris menjatuhkan rahangnya. Aruna tidak mengerti orang seperti apa sebenarnya Mario ini. Pria itu begitu dingin dengan tatapan tajamnya yang menyebalkan. Entah memang begitu sikap aslinya atau hanya kepadanya saja, yang jelas sebuah dengusan berhasil Aruna loloskan, dan tanpa mengatakan apa-apa lagi Aruna menutup pintu kamar mandi dengan gerakan cukup kasar. Tiba-tiba saja Aruna merasa kesal.
“Dasar menyebalkan!”
Mario yang masih dalam posisinya berdiri jelas mendengar, dan itu membuatnya menaikan sebelas alis, menatap pintu kamar mandi yang tertutup di depannya dengan aneh, tapi setelahnya Mario menggeleng dan melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.
Mario tidak pulang seperti yang dikatakannya tadi, Mario justru mendekati sofa dan memilih untuk membaringkan tubuhnya di sana. Karena sejujurnya ia sangat mengantuk. Sampai saat ini ia belum tidur sama sekali. Selesainya mengantarkan Aruna, Mario kembali ke kelab. Ada beberapa pekerjaan yang tidak bisa terus-terusan dirinya abaikan. Mungkin jika tidak melihat kedatangan Aruna, Mario bisa menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat seperti biasa, tapi karena harus menemani dan mengantarkan Aruna, pekerjaannya jadi tertunda.
Mario tidak menyalahkan Aruna, sebab menemani Aruna di kala perempuan itu mabuk adalah inisiatifnya sendiri, hanya saja kantuk yang saat ini dirasakan tidak lagi bisa dirinya tahan. Bahkan saking mengantuknya Mario langsung tertidur kala kepalanya mendarat di bantal sofa.
Aruna yang baru saja keluar dari kamar mandi heran melihat keberadaan Mario. Aruna pikir Mario pulang seperti yang pria itu katakan, tapi ia malah memenukannya tertidur di sofa. Entahlah apa yang pria itu lakukan, tapi tidak ada niat untuknya membangunkan, Aruna justru perpikir untuk pulang mengingat dirinya tidak lagi memiliki urusan di sana. Namun ketika hendak melangkah menuju pintu, matanya teralihkan oleh keberadaan Mario.
Gurat wajah laki-laki itu terlihat lelah. Aruna tidak sampai hati meninggalkannya begitu saja setelah dirinya kembali ingat mengenai kejadian semalam. Mario sudah baik hati dengan menemaninya selama di bar dan mengantarnya ke hotel. Terlalu tidak tahu diri jika sekarang ia benar-benar meninggalkannya.
Sejujurnya Aruna malu, kejadian semalam benar-benar membuatnya merasa tak memiliki muka. dan sekarang Aruna sedikit merasa ketakutan. Ah bukan, lebih tepatnya khawatir. Bagaimana jika ketika bangun nanti Mario membahas kejadian semalam. Apa yang harus dirinya katakan? Jujur saja Aruna tidak siap. Ia bingung harus bagaimana meresponsnya.
“Aruna?”
Panggilan itu berhasil mengejutkan Aruna, membuatnya sontak mengangkat kepalanya yang semula menunduk, dan nertranya langsung bertemu dengan tatapan heran Mario yang sudah mengubah posisinya menjadi duduk. Entah sejak kapan pria itu bangun, Aruna benar-benar tidak menyadarinya.
“Lo ngelamunin apa?”
Cepat-cepat Aruna menggeleng, lalu berdeham pelan demi melegakan tenggorokannya. “Lo—mau tetap di sini?” tanyanya gugup. “Gue mau pulang,” lanjutnya sembari memalingkan muka, ke mana saja asal tidak bertemu tatap dengan laki-laki di depannya. Aruna tak sanggup. Lebih tepatnya malu. Terlebih ketika kejadian semalam kembali melintas dalam ingatan. Aruna tidak bisa untuk tidak salah tingkah.
“Ya udah, ayo,” ucapnya seraya bangun dari duduk dan berjalan begitu saja melewati Aruna yang tak sama sekali bergerak dari tempatnya. Hanya tatapannya yang mengikuti langkah Mario dengan raut wajah yang terlihat bingung.
Mario yang menyadari tidak adanya pergerakan dari Aruna pun menoleh, menatap perempuan itu dengan kening mengerut. “Kenapa?”
“Lo mau pulang?”
“Menurut lo?” Mario menanggapi dengan raut wajahnya yang masih saja tanpa ekspresi, membuat Aruna diam-diam menyumpah serapahi laki-laki itu. Aruna benar-benar kesal. Satu sisi ia mengagumi Mario, pria itu begitu gentle mengakui diri sebagai bajingan tapi enggan mengambil kesempatan untuk macam-macam, bahkan di saat dengan terang-terangan Aruna menawarkan. Pria itu tetap dengan keputusannya, pergi tanpa peduli rengekannya yang meminta untuk tinggal. Namun di sisi lain Aruna juga merasa kesal, Mario itu membingungkan. Sikapnya yang dingin dan cuek membuat Aruna takut dalam mengartikan.
Mario benar-benar berbeda dengan Bian. Mantan tunangannya itu adalah pria hangat yang menyenangkan, sikapnya pun lembut dan penuh kasih sayang. Tak heran Aruna begitu mudah jatuh cinta. Bian benar-benar tahu bagaimana memperlakukan wanita. Sementara Mario … Aruna tidak bisa menebak. Pria itu terlalu sulit untuknya mengerti.
“Maksud gue … lo mau nganterin gue pulang?” tanya Aruna hati-hati. Ia hanya ingin sekadar memastikan agar tidak terlihat bodoh.
“Lo gak mau?” bukannya menjawab, Mario malah justru balik bertanya, dan hal itu membuat Aruna benar-benar ingin melempar Mario dengan sepatu yang dikenakannya. Pria itu benar-benar menjengkelkan. Apa susahnya coba menjawab ‘ya’ atau ‘tidak’. Kenapa harus berbelit-belit seperti ini? Tidak tahukah Mario bahwa itu membuat Aruna bingung menjawabnya?
Mendengus kesal, Aruna akhirnya memilih untuk pergi dari sana, melewati Mario begitu saja dengan mulut yang terus menggerutu, merutuki Mario yang begitu menyebalkan. Aruna sampai tak habis pikir kenapa Bian bisa berteman dengan manusia semacam Mario yang sikapnya jelas berbanding terbalik.
Aruna yakin, siapa pun yang menjadi kekasih Mario pasti makan hati setiap hari.
****
Bersambung ...
