Pustaka
Bahasa Indonesia

Bed Mate

86.0K · Tamat
Ainiileni
58
Bab
1.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

Andai yang mabuk-mabukan di barnya bukan Aruna, Mario tidak akan peduli. Namun karena yang berada di depannya adalah mantan tunangan dari sahabatnya, mau tak mau Mario akhirnya memutuskan untuk menemani. Niatnya tak lebih dari itu, tapi siapa yang menyangka bahwa pada akhirnya mereka tidak selesai di sana. Semesta seakan ingin bermain-main, mempertemukan mereka lagi dan lagi. Hingga akhirnya sebuah hubungan mereka punya walau hanya sekadar teman ranjang saja. Aruna memang sudah gila, di saat Mario berusaha menjaga diri untuk tidak berbuat sesuai keinginannya, Aruna malah justru menawarkan diri. Bikin Mario frustrasi. Bagaimanapun Mario menghargai Aruna sebagai mantan tunangan dari sahabatnya. Ia juga sadar bahwa Aruna tidak seperti wanita yang hampir setiap malam menemaninya di ranjang, tapi menolak Aruna cukup berat juga Mario lakukan. Tak munafik, Aruna memang menarik. Rasanya sayang jika harus disia-siakan. Maka, dengan banyak pertimbangan Mario akhirnya menerima tawaran Aruna untuk bersenang-senang. Dengan syarat ... Dilarang jatuh cinta. Bisakah mereka?

RomansaDewasaOne-night StandKeluargaSweetbadboyplayboyMantan

Bab 1 : Bar

Katanya level tertinggi dalam mencintai itu adalah mengikhlaskan. Tapi bukankah cinta itu memberi kebahagiaan? Lalu kenapa yang terjadi justru sebaliknya?

Aruna sudah belajar merelakan, Aruna sudah belajar menerima kenyataan. Tapi kenapa sesak yang malah dirasakan? Apalagi saat melihat sosok itu tertawa bahagia, namun bukan dengannya.

Aruna tidak mengerti kenapa kisah cintanya harus berakhir seperti ini. Padahal Aruna sudah teramat bahagia ketika di hari ulang tahunnya pria itu melamarnya. Meminta agar ia mau menjadi masa depannya. Aruna sadar hubungannya dengan Bian belum terjalin lama. Belum banyak cerita yang mereka rajut bersama. Tapi apa salah jika dirinya jatuh cinta dalam waktu singkat? Salahkah ia jatuh cinta terlalu cepat?

Di matanya, Bian tak memiliki celah. Pria itu sempurna untuk menjadi idamannya. Tak hanya rupa, sikapnya pun manis kepadanya. Wajar ‘kan jika Aruna jatuh cinta?

Tapi mungkin tidak mengenal baik pria itu dan masa lalunya yang menjadi kesalahannya. Aruna terlalu fokus pada apa yang sedang dijalani, hingga ketika masa lalu itu terungkap, Aruna tidak bisa menyelamatkan hatinya. Aruna terlalu yakin pada kalimat ‘masa lalu akan tetap menjadi masa lalu’ sampai lupa bahwa itu bisa saja diulang atau mungkin diperbaiki hingga akhirnya kutipan itu berganti dengan ‘masa lalu akan tetap menjadi pemenangnya.’

Seperti yang Bian lakukan. Pria itu memilih untuk memperbaiki dari pada mengganti. Padahal mereka tinggal selangkah lagi. Tapi Aruna bisa apa ketika Bian sendiri memilih berjuang untuk masa lalunya dibandingkan bertahan dengan ia yang telah menjadi tunangannya?

Tidak ada yang bisa Aruna lakukan selain menyerah.

Jujur, Aruna tidak terima. Ia menolak menjadi yang terbuang setelah Bian sendiri mengutarakan keseriusannya dihadapan orang tua serta teman-temannya. Aruna menolak menjadi yang dikorbankan setelah Bian berjanji akan mengarungi masa depan dengannya. Tapi, apa Aruna harus tetap bertahan di saat Bian sendiri bahkan tidak lagi peduli? Pria itu tetap pada keputusannya, melepas Aruna untuk kembali meraih masa lalunya.

Dan itu sungguh menyakitkan.

Namun Aruna tahu, mempertahankan pun belum tentu memberi akhir menyenangkan. Maka, demi tidak membuat hatinya semakin sengsara, Aruna memilih untuk berhenti dan mengalah. Tidak mudah. Bahkan sampai sekarang Aruna masih sulit menerimanya. Hingga minuman menjadi pelarian untuk setidaknya ia lupa pada permasalahan hatinya. Walau Aruna tahu bahwa tindakannya ini salah. Tapi Aruna tidak tahu lagi bagaimana cara agar ia tetap pada kewarasannya, karena ternyata kehilangan Bian adalah patah hati terberat untuknya.

“Andai saja perempuan itu bukan dia,” racau Aruna dengan kesadaran yang mulai menipis.

“Kenapa memangnya?” sosok yang sejak beberapa menit lalu mengisi kursi kosong di samping Aruna menanggapi kalimat perempuan itu. Sebelah alisnya terangkat, menunjukkan rasa penasaran.

“Dia terlalu lemah. Gue jadi gak tega.”

“Zinnia bukan lemah, dia cuma terlalu baik.”

“Ya itu. Saking baiknya gue sampai gak bisa terus-terusan mempertahankan ego gue,” desahnya pelan. “Kenapa gak yang lain aja, sih? Kenapa harus dia?” karena jika bukan Zinnia mungkin Aruna akan egois sedikit lagi.

Aruna memang tidak begitu mengenal Zinnia, tapi dari pertemuan singkat mereka, Aruna cukup bisa menilai perempuan seperti apa masa lalu mantan tunangannya. Dan seperti yang diucapkan laki-laki di sampingnya, Zinnia terlalu baik. Aruna sampai merasa tak tenang kala ia berusaha mempertahankan hubungannya dengan meminta Zinnia untuk menjauh dan tetap menjadi masa lalu Bian saja. Padahal seharusnya Aruna senang. Sial, yang terjadi malah justru sebaliknya.

“Karena jika bukan Zinnia, si Bian belum tentu mau.”

“Lo benar,” sahut Aruna sembari menganggukkan kepala, lalu segelas alkohol kembali di tenguknya. Membuat laki-laki yang berada di samping Aruna menggelengkan kepala. Namun tidak berniat menghentikannya. “Buktinya gue aja dia lepaskan. Padahal udah tunangan.”

Dan kesedihan tampak begitu nyata di wajah cantiknya. Siapa pun yang melihatnya pasti akan merasa iba. Sama seperti Mario yang sejak tadi duduk di samping perempuan itu, menyaksikan kekacauan Aruna yang jelas Mario ketahui penyebabnya, sekaligus menjaganya agar tidak dimanfaatkan pria hidung belang mana pun, melihat sejak kedatangan Aruna ke bar-nya perempuan itu sudah menjadi incaran banyak laki-laki.

“Itu karena Bian memang bukan jodoh yang Tuhan takdirkan untuk lo. Suatu saat nanti lo pasti akan di pertemukan dengan jodoh lo sesungguhnya,”

“Tapi gue cinta Mas Bian,” lirih Aruna, sorot matanya begitu menyedihkan. Membuat Mario yang melihat benar-benar mengumpati sahabatnya dalam hati. Bagaimana tidak, Bian berhasil membuat anak orang patah hati dan menjadi sekacau ini.

Namun Mario sadar, dirinya tidak bisa menyalahkan Bian sepenuhnya, karena nyatanya ia sendiri tahu bagaimana kacau sahabatnya selama sepuluh tahun kemarin. Bian berusaha menyembuhkan dirinya sendiri, melupakan masa lalu yang berhasil menjadi mimpi indah sekaligus mimpi buruknya. Hingga akhirnya Bian memutuskan untuk menarik Aruna, berharap dengan itu masa lalunya hilang tanpa sisa.

Siapa yang menyangka bahwa ternyata semesta tidak berpihak kepadanya. Bukannya hilang, masa lalu itu justru datang dengan wujud yang begitu nyata. Dan Bian tidak bisa menolak kehadirannya. Karena nyatanya memang sosok itulah yang Bian inginkan. Sosok itu lah yang Bian harapkan. Sebab sosok itu adalah dunianya.

Mario bukan bermaksud membela sahabatnya, tidak pula membenarkan sikap sahabatnya yang berakhir melukai Aruna. Tapi jika semesta sudah bekerja, siapa pun tidak bisa mencegahnya ‘kan? Apalagi Mario hanya manusia biasa. Namun sebagai teman ia sudah pernah mengingatkan. Hanya saja Bian yang tidak ingin mendengar.

Dan sialannya Mario selalu saja terkena repotnya.

Dulu Bian, sekarang mantannya.

Terus saja ia mengurusi orang patah hati. Bahkan sepanjang hidupnya ia di kelilingi orang-orang patah hati.

Ck, menyebalkan!

“Makanya jatuh cinta sewajarnya aja, biar ketika hubungan itu tidak berhasil, lo masih bisa mempertahankan kewarasan lo,” Mario kembali menimpali. Membuat Aruna yang mendengar perlahan menolehkan kepalanya dan menatap Mario dengan dalam untuk waktu yang cukup lama.

“Kenapa lo benci gue?” tanya Aruna tanpa menanggapi kalimat Mario sebelumnya. Karena setelah menyadari siapa sosok yang duduk di sampingnya, Aruna jadi ingat tentang tatapan pria itu setiap kali mereka bertemu. Meskipun itu hanya beberapa pertemuan singkat saja.

“Siapa maksud lo? Gue gak pernah merasa membenci lo,” kening Mario mengerut, menatap Aruna dengan bingung.

“Tapi tatapan lo gak pernah ramah setiap kali ketemu gue,” dan Aruna mengira bahwa sahabat Bian itu tidak menyukainya. “Apa mungkin ini alasannya?”

Mario semakin mengerutkan kening, tidak paham dengan apa yang Aruna maksud. Dan menyadari itu Aruna lantas menjelaskan mengenai sikap pria itu yang terlihat tidak bersahabat ketika bertemu dengannya. Dua kali yang masih jelas Aruna ingat, sekaligus mengingatkan akan hubungannya dengan Bian kala itu.

“Alasan?”

“Hm. Lo gak suka dengan hubungan gue sama Mas Bian karena lo lebih mendukung Mbak Zi.” terang Aruna lebih jelas.

Mengangguk paham, Mario kemudian meraih gelas alkoholnya. Meminumannya dalam sekali tegak lalu menoleh pada sosok cantik di sampingnya yang terlihat sedang menunggu jawaban. “Pertama, gue bukan Bian yang bisa ramah pada siapa saja, terlebih orang yang baru di kenal. Kedua, gue memang mendukung hubungan Bian dan Zinnia. Sejak awal gue mendukung hubungan mereka.” terang Mario apa adanya. Sebab memang begitulah pada faktanya.

“Jadi benar, lo gak suka sama hubungan gue dan Mas Bian?”

Mario menggeleng. “Bukan gak suka sama hubungannya. Gue cuma gak suka sama keputusannya yang terburu-buru.” Itulah kenyataannya. Sekalipun saat itu ia tidak yakin Zinnia akan kembali, Mario tetap merasa bahwa apa yang dilakukan temannya salah. Dan terbukti sudah apa yang Mario khawatirkan.

Bian tetap dengan perasaannya pada Zinnia, dan Aruna … terluka pada akhirnya.

“Maksud lo?” mengernyit, Aruna menatap Mario tak paham.

“Seperti yang lo tahu, Bian belum selesai dengan masa lalunya,” mengedikkan bahu singkat, Mario lalu meneguk alkohol yang telah kembali mengisi gelasnya. “Entahlah, gue cuma ngerasa bahwa apa yang Bian lakukan hanya akan berakhir dengan kesia-siaan. Gue kenal Bian, kenal perasaannya, bahkan patah hatinya.” Mario sangat mengenalnya, hingga ketika ia mendengar bahwa Bian berkencan, ada marah yang ingin sekali dirinya luapkan. Namun Mario tahan, ia tidak ingin terlalu ikut campur pada perasaan sahabatnya. Hanya saja sekarang Mario menyesal kenapa tidak dari dulu ia menghajar Bian hingga meninggal. Jika seperti itu ‘kan Bian tidak akan lagi merepotkannya. Untuk urusan Zinnia, Mario yakin akan ada banyak laki-laki yang menginginkan perempuan itu.

Tapi sekarang semuanya sudah terlambat, Bian dan Zinnia sudah bersatu lagi, sudah bahagia dengan pernikahannya yang berlangsung minggu lalu, sekarang mereka masih berbulan madu, meninggalkan Aruna yang kesulitan mengendalikan patah hatinya.

Ck, berengsek sekali memang.

Tapi Mario tahu, ini bukan salah Bian sepenuhnya, bukan pula salah Zinnia yang kembali. Di sini Aruna pun turut memiliki salahnya sendiri, salah karena telah jatuh cinta pada laki-laki seperti Bian. Maksudnya laki-laki yang belum selesai dengan masa lalunya. Tapi siapa memangnya yang bisa memprediksikan? Urusan hati tidak ada siapa pun yang bisa mencampuri, bahkan sekalipun itu diri sendiri. Dan Mario yakin Aruna pun tidak ingin seperti ini.

Jika tahu akhirnya akan seperti ini Mario yakin Aruna pasti akan antisipasi dari jauh-jauh hari.

Ah, tapi ya sudahlah, toh semua sudah berlalu juga, dan Mario enggan ikut campur terlalu jauh. Bian sudah bahagia dengan cintanya. Untuk Aruna, itu bukan urusannya.

Mendesah pelan, Mario kemudian bangkit dari duduknya dan melirik Aruna yang sudah kembali meraih minumannya. “Lo udah cukup banyak minum,” ucapnya sembari merebut gelas yang isinya hendak perempuan itu tuang ke dalam mulutnya, membuat tatap protes dilayangkan Aruna, namun Mario tak menghiraukan itu. “Ada sodara yang bisa dihubungi untuk jemput lo?” sebab Mario tak yakin Aruna bisa pulang sendiri dalam keadaan mabuk seperti ini.

“Gue anak tunggal,” jawab Aruna di tengah kesadaranya yang makin menipis.

“Teman lo?”

Aruna hanya mengedikkan bahu singkat, lalu kembali meminta bartender untuk memberinya minuman lagi. Namun belum sempat Aruna menerima pesanannya Mario sudah lebih dulu menarik perempuan itu untuk turun dari kursinya, menyeretnya keluar dari bar yang semakin malam semakin dipenuhi orang-orang yang butuh hiburan. Tidak Mario pedulikan berontakan Aruna yang minta di lepaskan. Mario tetap menarik pergelangan tangan Aruna menuju mobilnya. Ia berniat mengantarkan perempuan itu pulang, karena jika dibiarkan terus berada di bar Mario tak yakin apa yang akan perempuan itu lakukan, atau mungkin yang dilakukan seseorang.

Biasanya Mario tidak pernah peduli pada siapa pun yang mabuk di bar-nya, tapi kali ini ia tidak bisa tinggal diam. Meskipun hanya mengenal Aruna sekilas, Mario tahu bahwa Aruna tak layak berada di tempatnya. Itulah kenapa Mario tidak bisa membiarkan Aruna duduk sendiri selama perempuan itu mabuk. Mario tidak ingin ada siapa pun yang memanfaatkan ketidaksadaran Aruna.

****

bersambung ...