Bab 2 : Andai
“Gue gak mau pulang ke rumah,” tolak Aruna kala Mario bertanya alamat rumahnya setelah mobil pria itu melaju tak seberapa jauh dari kelab malam.
“Terus lo mau ke mana?” tanya Mario sedikit jengah. Tentu saja. Saat ini seharusnya ia bekerja, memantau kelabnya yang sedang ramai-ramainya. Tapi yang Mario lakukan malah mengurusi Aruna yang enggan diajak pulang. Ini menyebalkan. Sungguh! Ia tidak begitu mengenal Aruna, tapi gara-gara Bian, ia malah jadi yang direpotkan.
Kenapa juga Aruna harus datang ke kelabnya, jika tidak ‘kan Mario tidak harus melakukan ini.
“Anterin gue ke hotel aja. Bisa di gorok gue kalau bokap tahu gue mabuk,” ucapnya diakhiri kekehan pelan.
“Tahu gitu kenapa masih mabuk?!” mendelik, Mario menanggapi Aruna yang dalam keadaan setengah sadar. Beruntung saja pengendalian diri Aruna baik, hingga meskipun dalam keadaan mabuk perempuan itu masih dapat di ajak bicara dengan benar, tidak melantur seperti perempuan-perempuan mabuk kebanyakan yang selalu Mario temui di kelabnya.
“Gara-gara teman lo,” kekehan kembali di loloskan, sebelum kemudian diganti dengan isak tangis yang memilukan, lalu tawa sumbang yang menghadirkan iba. Mario tidak tahu seberapa terluka Aruna akibat ditinggalkan Bian menikahi Zinnia, namun Mario yakin perempuan itu tidak baik-baik saja.
Di pernikahan Zinnia dan Bian minggu lalu Mario melihat Aruna berusaha ikhlas, perempuan itu berusaha menerima kisah cintanya yang kandas, tapi Mario tahu, tidak mudah untuk melupakannya begitu saja. Seperti yang tadi sempat Aruna akui, perempuan itu mencintai Bian. Dan Mario tidak menemukan kebohongan ketika perempuan itu mengatakannya. Sejak awal Bian mengenalkannya, Mario sudah dapat menebak. Alasan itulah yang semakin membuatnya tidak suka dengan keputusan Bian kala itu.
Tak ingin lagi menanggapi, Mario memilih untuk fokus pada kemudinya sambil berpikir ke hotel mana ia harus membawa Aruna. Hingga akhirnya hotel yang tak jauh dari kawasan apartemennya lah yang menjadi pilihan.
Aruna tertidur kala mobil yang Mario kendarai tiba di hotel, membuat Mario mendesah pelan dan akhirnya memilih keluar lebih dulu untuk memesan kamar hotel yang akan Aruna tempati malam ini. Baru, setelah kunci di terima Mario kembali ke mobil yang terparkir di depan lobi untuk membangunkan Aruna. Sialnya perempuan itu tak menggubris, membuat Mario terpaksa harus menggendong Aruna menuju kamarnya. Dengan bantuan satpam, Mario memarkirkan mobilnya. Dan sepanjang perjalanan menuju kamar, gerutuan tak henti Mario loloskan walau dalam suara pelan.
“Ck, nyusahin!” ujarnya begitu berhasil menjatuhkan Aruna di ranjang.
Mario berniat untuk langsung pergi setelah berhasil menidurkan Aruna, tapi belum sempat dirinya pergi, sebuah tarikan didapatkannya dari Aruna. Membuatnya jatuh, tepat di atas tubuh perempuan itu. “Aruna—” Belum tuntas kalimatnya terucap, bibirnya lebih dulu di bungkam oleh ciuman Aruna yang entah sadar atau tidak perempuan itu lakukan.
Mario terkejut, tentu saja. Bahkan Mario langsung menarik diri dan melepaskaan ciuman Aruna, menatap perempuan itu protes. Sialnya tatapan Aruna justru membuat Mario gila. Ia frustrasi. Satu sisi Mario enggan menjadi bajingan dengan memanfaatkan keadaan Aruna yang mabuk. Namun di sisi lain ia tidak bisa mengabaikan perempuan itu begitu saja. Aruna dan tatapannya yang sendu berhasil membangkitkan sesuatu dalam dirinya. Belum lagi ciumannya barusan. Di tambah cicitannya yang meminta untuk tinggal.
“Please!” pintanya memohon. “Gue gak mau sendirian,” lanjutnya mengiba. Dan Mario benar-benar mengumpati Aruna.
“Gue gak bisa.” tolaknya tegas.
“Kenapa?”
Mendengus pelan, Mario lalu mendelik, kesal pada Aruna yang entah bener-benar polos atau mabuk menjadikannya bodoh, yang jelas Mario menyesal kenapa ia harus menuruti perempuan itu untuk menginap di hotel. Lebih baik ia menghubungi Bian dan bertanya alamat Aruna, tidak peduli setibanya nanti orang tua perempuan itu akan syok melihat keadaan putrinya saat ini. Itu bukan urusannya. Sayangnya Mario terlambat. Ia sudah membawa Aruna ke hotel sekarang.
“Karena gue gak yakin gak ngapa-ngapain lo.” Bagaimanapun ia laki-laki normal, berduaan dengan seorang perempuan di sebuah kamar jelas bukan keputusan yang benar. Sejak awal Mario memang tidak memiliki niat untuk macam-macam. Dan keputusannya untuk mengantar Aruna pun karena ia tidak ingin Aruna kenapa-kenapa. Tapi jika sampai hal tidak diinginkan itu terjadi, sama saja dengan ia menjadi si berengseknya. Mario tidak mau.
Kamar yang disewanya untuk Aruna memang luas, Mario bisa tidur di sofa untuk menjaga jarak mereka. Tapi ketahuilah, Mario bukan sosok yang bisa menahan diri. Ia tidur dengan perempuan mana saja yang dirinya inginkan. Orang asing sekalipun. Selama ia dapat kepuasan.
Harus Mario akui Aruna memang menarik, rupanya cantik, bentuk tubuhnya pun indah dengan ukuran yang pas di beberapa titik tertentu. Namun Mario tidak bisa bertindak seperti keinginan nafsunya. Ia meniduri perempuan untuk bersenang-senang, bukan untuk hubungan jangka panjang. Dan lagi Aruna sedang patah hati, keadaannya pun tidak sepenuhnya sadar. Mario takut ketika bangun nanti perempuan itu histeris dan menuntut pertanggung jawaban.
Tidak. Mario tidak bisa melakukan itu.
“Emangnya lo mau ngapain gue?”
Mengacak rambutnya frustrasi, Mario semakin mendelik pada Aruna, perempuan itu benar-benar tidak bisa membaca situasi. Terkutuklah alkohol yang di teguknya. Membuat Aruna tak sadar telah mengucapkan sesuatu yang berhasil semakin membangkitkan sesuatu dalam diri Mario. Oke, itu cuma kalimat tanya biasa, tapi untuk Mario yang sedang bernafsu itu terdengar seperti pancingan untuk ia melakukan sesuatu. Maka jangan salahkan ketika akhirnya Mario menyerang balik bibir Aruna demi menjawab tanya perempuan itu.
“Dan gue bisa berbuat lebih kalau tetap ada di sini,” ucap Mario sesaat setelah melepaskan ciumannya.
“Gue gak keberatan,”
Tanggapan Aruna tersebut berhasil membuat Mario meloloskan umpatan. Mario tidak mengerti lagi apa yang ada dalam kepala Aruna saat ini, namun yang jelas Mario enggan mengambil kesempatan yang bisa saja akan beresiko pada akhirnya. Maka, sebelum ia benar-benar menjadi bajingan dan menyesali semuanya, Mario memilih untuk menjauh dari Aruna. Ia masih cukup waras untuk tidak menuruti Aruna yang sedang dalam pengaruh alkohol.
“Apa gue memang gak semenarik itu, sampai lo gak mau melakukannya sama gue?” lirih Aruna terdengar terluka. “Kenapa? Apa itu juga alasan kenapa Mas Bian lebih milih Mbak Zi dari pada gue? Gue gak menarik,” racaunya mulai melantur.
Langkah Mario yang hendak keluar dari kamar tersebut terhenti mendengar itu, dan dengan tangan kosong Mario mengusap wajahnya, merasa frustrasi menghadapi Aruna yang mabuk seperti ini. Entahlah ia harus iba atau justru jengah, namun melihat bagaimana air mata mengalir di wajah Aruna membuat sesak singgah di dadanya. Mario sendiri tidak mengerti, tapi yang pasti ada sebagian dalam dirinya yang tak tega. Dan meninggalkannya dalam keadaan seperti ini adalah satu hal yang tidak Mario ingini. Namun bertahan pun bukan keputusan yang tepat menurutnya.
“Run, lo tahu ‘kan, bukan itu alasan Bian?”
Aruna mengangguk. “Gue tahu,”
“Terus kenapa lo tanya lagi?” jujur Mario tak suka. Sekali lagi ia akatakan, bukan karena ia berada di pihak Bian dan Zinnia, ia hanya tidak ingin Aruna semakin terluka. Karena sadar atau tidak, apa yang diucapkan Aruna hanya akan membuka lukanya saja. “Mereka sudah bahagia, Aruna. Mereka sudah menikah!”
Dan pernyataan Mario tersebut berhasil bikin air mata Aruna semakin deras mengalir. Namun Mario tidak ingin berhenti. Mario lebih suka mengatakan kepahitan sesuai kenyataan, dari pada menenangkan dengan kalimat manis yang hanya akan berlangsung sesaat saja. Lagi pula Aruna harus segera sadar agar tidak terus-terusan terjebak dalam patah hatinya.
“Tapi lo juga nolak gue,” lirihnya terdengar sedih.
“Itu karena gue gak mau manfaatin lo. Lo mabuk, Aruna!”
“Gue sadar kok. Gue sadar apa yang gue ucapkan. Gue sadar apa yang gue mau,” katanya terlihat berusaha meyakinkan.
Mario mendengus, lalu berjalan menghampiri Aruna lagi, mengecup singkat bibir bengkak Aruna akibat ulahnya beberapa saat lalu, kemudian menangkup wajah perempuan itu dengan kedua telapak tangannya yang dingin. “Gue mau tidur sama lo kalau lo gak lagi dalam pengaruh alkohol atau apa pun itu yang berhasil merenggut kewarasan dan kesadaran lo. Gue mau lo dalam keadaan sadar sepenuhnya. Gue emang bajingan, tapi memanfaatkan perempuan yang gak berdaya bukan kebiasaan gue. Jadi, lebih baik sekarang lo tidur.” Setelahnya Mario menarik diri, menjauh sebanyak dua langkah dari posisi Aruna yang duduk di tepi ranjang.
“Lo mau ke mana?”
“Balik ke bar.”
“Ngapain?” kerutan dalam nampak jelas di keningnya.
Mario memutar bola mata dengan keingintahuan perempuan itu. “Kerja.” Hanya itu, setelahnya Mario benar-benar pergi, meninggalkan Aruna di kamar hotel seorang diri. Seharusnya sudah sejak tadi Mario pergi. Sial saja Aruna begitu menjengkelkan.
Andai perempuan itu bukan mantan Bian dan hanya perempuan malam biasa yang sering dirinya temui di bar, mungkin ia tidak perlu menahan diri hingga sebegininya.
Ck, sialan memang!
***
Bersambung ....
