Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Rahasia yang menyusup

Pagi di Rumah Adrian

Aluna kembali pulang pagi itu. Setelah semalam Reyhan menahan agar ia tetap tinggal, pagi ini ia paksa dirinya kembali ke “rumah”. Tempat yang baginya hanya dinding, bukan pelukan.

Adrian sudah duduk di meja makan. Memandanginya dengan senyum... yang membuat darah Aluna mendidih karena palsu.

“Dari mana kamu?” tanyanya datar, sambil memutar sendok ke dalam kopi.

Aluna melepaskan sepatu hak tingginya, lalu menjawab tanpa menatap.

“Ada urusan kampus sampai malam. Terlalu lelah untuk pulang.”

Adrian mengangguk. Tapi tatapannya menusuk. Seolah ia tahu. Atau sedang menunggu Aluna jatuh.

“Kalau lelah, kenapa tidak hubungi aku?” tanyanya.

Aluna diam. Kalau saja lelaki itu tahu... bahwa di pelukan pria lain, Aluna justru merasa utuh.

---

Sementara Itu – Reyhan di Kantor

Reyhan berdiri di depan papan tulis ruang rapat, matanya kosong. Di depannya, rekan-rekannya mendiskusikan rencana proyek besar. Tapi pikirannya tak bisa fokus.

Bukan hanya pada Aluna.

Pagi tadi, ia mendapat surat tanpa nama. Di dalamnya, foto Aluna keluar dari apartemennya.

Foto yang diambil jelas. Dari kejauhan. Tapi sangat disengaja.

> “Cantik ya, tamumu. Apa dia istrimu… atau istri orang?”

Di bawahnya, ada satu kata:

"Sebentar lagi semua tahu."

---

Kembali ke Rumah Adrian – Sore Hari

Aluna duduk di balkon. Memandangi langit yang tak pernah bisa ia mengerti. Tangannya gemetar saat membuka ponselnya. Ada pesan masuk dari nomor tak dikenal:

> “Jika kamu terus datang ke tempat Reyhan, suamimu akan menerima kiriman yang menyakitkan.”

Aluna menelan ludah. Ini lebih dari sekadar hubungan terlarang. Ini sudah menjadi ancaman.

Tubuhnya memanas bukan karena gairah… tapi ketakutan.

Hujan turun deras di luar jendela saat Aluna berdiri di ambang pintu Reyhan. Tanpa payung. Tubuhnya basah, rambutnya menempel di wajah, dan matanya... menyimpan ketakutan yang belum pernah Reyhan lihat sebelumnya.

Reyhan langsung menariknya masuk.

“Luna... kamu kenapa?”

Aluna tidak menjawab. Ia hanya menatap pria itu. Tatapannya tajam, tapi bibirnya bergetar. Seperti ingin berkata sesuatu, tapi tak tahu harus mulai dari mana.

Reyhan menyentuh pipinya, lalu menyapukan jari-jari lembutnya ke rambut Aluna yang basah.

“Hey... kamu aman di sini.”

Itu cukup.

Aluna langsung memeluk Reyhan dengan erat—terlalu erat. Seperti seseorang yang nyaris tenggelam dan akhirnya menemukan udara.

"Aku takut," bisiknya di dada Reyhan.

"Siapa yang mengancam kamu?"

"Aku tak tahu. Tapi mereka tahu aku ke sini. Mereka tahu tentang kita."

Reyhan mengecup puncak kepalanya.

“Kalau begitu, biar dunia tahu. Aku gak akan lepaskan kamu.”

Tangan Aluna naik ke leher Reyhan, menariknya turun, dan bibir mereka bertemu dalam ciuman yang penuh kepanikan... dan keinginan untuk lari dari kenyataan.

---

Adegan Intim dan Emosional

Ciuman itu menjadi semakin liar. Bukan karena nafsu semata, tapi karena butuh. Aluna butuh bukti bahwa dia masih hidup. Reyhan butuh pastikan bahwa wanita ini belum direnggut dari tangannya.

Baju mereka tercecer satu demi satu. Reyhan mengangkat tubuh Aluna ke atas meja dapur, di mana mereka bersatu dalam panas dan dingin bersamaan—gairah tubuh dan dingin ketakutan.

Aluna menangis saat tubuh mereka menyatu.

“Maafkan aku...” ucapnya.

Reyhan menggeleng, menatapnya dalam.

“Kamu gak salah. Cinta ini gak salah.”

Mereka terus bergerak dalam ritme yang tak hanya sensual, tapi menyakitkan. Seolah mereka tahu… mungkin ini terakhir kali bisa saling menyentuh tanpa rasa takut.

---

Setelahnya – Keheningan

Mereka berbaring telanjang di sofa, tubuh Aluna bersandar di dada Reyhan. Hujan masih turun, dan kilatan petir memantulkan bayangan mereka di kaca jendela.

“Kita gak bisa sembunyi selamanya, Rey...” bisik Aluna.

“Aku tahu. Tapi aku akan lawan siapa pun yang menyakitimu. Bahkan kalau itu suamimu sendiri.”

Aluna terdiam. Matanya memejam, tapi pikirannya tak bisa.

Karena dalam hatinya, ia tahu... seseorang di luar sana sedang menghitung waktu. Dan ketika semuanya pecah, bukan hanya cinta yang akan hancur—tapi hidup mereka.

Sebuah Kamera Kecil

Reyhan membuka pintu apartemen dengan lelah. Setelah mengantar Aluna pulang diam-diam pagi tadi, pikirannya tak tenang. Ia merasa ada yang aneh.

Lalu ia melihat sesuatu di pojok langit-langit ruang tamu—tak kasat mata bagi orang biasa. Sebuah kamera kecil, tersembunyi rapi, menatap lurus ke arah sofa tempat ia dan Aluna bercinta semalam.

Jantung Reyhan berhenti sejenak.

Dia segera naik ke kursi, melepas kamera itu dengan tangan gemetar.

Siapa yang menaruh ini...?

---

Seseorang Menonton

Di tempat lain, seorang pria duduk di ruangan gelap, hanya diterangi monitor.

Rekaman malam itu sedang diputar.

Desahan, bisikan, kulit bertemu kulit. Semua terekam jelas. Tak hanya wajah Aluna, tapi juga tubuhnya—dan wajah Reyhan yang penuh gairah.

Pria itu tersenyum sinis. Jemarinya mengetik pesan:

> “File menarik, ya? Kirim ke suaminya sekarang... atau nanti? ”

---

Aluna – Pagi di Rumah

Aluna sedang berdiri di depan kaca, menyisir rambutnya, saat ponselnya bergetar. Pesan masuk dari nomor tak dikenal.

“Tadi malam kamu cantik sekali... terutama saat dia menyentuh bagianmu yang paling dalam.”

Di bawahnya: foto dirinya telanjang di sofa Reyhan.

Aluna terjatuh. Napasnya memburu.

Ia ingin menjerit. Tapi tak bisa. Mulutnya terkunci oleh ketakutan yang lebih besar dari skandal.

---

Reyhan Menelepon

“Luna,” suara Reyhan terdengar panik. “Kita diawasi. Di apartemenku ada kamera tersembunyi. Dan seseorang punya rekaman kita.”

Aluna menahan tangis.

“Rey... kalau dia kirim ke Adrian... semuanya selesai... hidupku selesai...”

Reyhan diam sejenak, lalu berkata:

“Kita gak bisa lari lagi. Kita harus lawan mereka. Bersama.”

Bayangan Masa Lalu

---

Siang Itu – Sebuah Kiriman untuk Adrian

Adrian baru saja tiba di kantornya saat seorang kurir datang, mengantarkan paket coklat tua tanpa nama. Tak ada alamat pengirim. Hanya tulisan tangan di sampul:

> “Dari orang yang peduli pada pernikahanmu.”

Ia buka perlahan.

Di dalamnya—sebuah flashdisk.

Asistennya hendak mengambil alih, tapi Adrian menepis.

Ia menancapkan flashdisk itu sendiri ke laptopnya, dan…

Tampilan video:

Aluna. Reyhan. Sofa. Desahan. Keringat. Kulit.

Adrian tak bergerak.

Mata itu menatap layar selama hampir lima menit tanpa berkedip. Tangannya gemetar. Rahangnya mengeras.

Lalu ia menutup laptop. Tak berkata sepatah pun.

Di dalam pikirannya—ada badai. Tapi matanya dingin seperti kaca.

---

Sementara Itu – Aluna di Kamar Mandi

Aluna berlutut di lantai kamar mandi. Tangannya gemetar, ponsel di tangan. Ia baru menerima pesan terakhir:

> “Kau pikir itu hanya satu kamera? Sayang sekali. Banyak tempat bisa kupasang mataku, sayang.”

Ia merasa telanjang meski berpakaian.

Tiba-tiba, ingatannya melayang... ke seorang pria dari masa lalunya. Bukan Adrian. Bukan Reyhan.

Seseorang yang dulu terlalu mudah ia abaikan. Seseorang yang sempat ia tolak… tapi terlalu obsesif untuk mundur.

"Jangan pernah mainkan aku, Luna. Aku akan menunggumu jatuh.”

Suara itu, ucapannya, dingin, seperti pesan-pesan yang ia terima akhir-akhir ini.

> Bisa jadi... dialah pelakunya?

---

Di Tempat Lain – Sosok Misterius Menyusun Rencana

Pria itu duduk di sebuah ruangan penuh layar monitor. Salah satunya menampilkan kamera tersembunyi baru, kali ini... di dalam kamar mandi rumah Aluna.

Ia mencatat sesuatu di buku kecilnya.

> “Adrian sudah lihat. Reyhan sedang panik. Luna mulai takut.”

Ia tersenyum puas.

> “Permainan dimulai.”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel