Pustaka
Bahasa Indonesia

Bayang-bayang Rahasia

26.0K · Ongoing
sinaga
21
Bab
26
View
9.0
Rating

Ringkasan

Aluna Maharani adalah istri seorang pengusaha kaya raya, Adrian Prasetya. Dari luar, hidup Aluna terlihat sempurna: rumah megah, pesta sosialita, dan nama belakang yang terhormat. Namun, di balik semua kemewahan itu, Aluna hanyalah wanita yang merasa kosong. Adrian terlalu sibuk dengan bisnis dan terlalu dingin untuk mengerti hasrat dan luka istrinya. Mereka tidur di ranjang yang sama tapi seperti dua orang asing yang dipisahkan oleh tembok tak kasat mata. Semuanya berubah ketika Aluna kembali bertemu Reyhan Dimaswara, cinta pertamanya yang kini menjadi seorang pengacara sukses. Pria itu masih menyimpan bara yang belum padam, dan kedekatan mereka yang tak terencana perlahan berubah menjadi sesuatu yang membahayakan batas-batas kesetiaan. Namun, Reyhan bukan hanya sekadar mantan kekasih. Tanpa Aluna sadari, Reyhan kini terikat secara profesional dalam kasus besar yang menyangkut perusahaan suaminya. Di antara pertemuan diam-diam, ciuman yang penuh rasa bersalah, dan sentuhan yang dilarang, Aluna terperangkap dalam dilema: apakah ia harus setia pada suami yang tak pernah benar-benar mencintainya, atau mengejar cinta sejati yang selama ini ia pendam? Sementara itu, rahasia masa lalu Adrian perlahan terkuak—mengubah peta cinta, kesetiaan, dan penghianatan dalam hidup mereka semua.

RomansaModernTuan MudaPerselingkuhanPengkhianatanWanita CantikInspiratifDewasa

Malam yang Tak Dinyalakan

Langit Jakarta malam itu seperti ikut menyimpan rahasia. Gerimis turun pelan-pelan, membasahi kaca jendela apartemen penthouse yang mewah tapi sunyi.

Aluna berdiri di balik tirai transparan, menatap lampu-lampu kota yang buram oleh titik-titik air. Gaun tidur satin marun yang membalut tubuhnya tampak seperti kulit kedua—licin, tipis, dan terlalu jujur menampakkan lekuk tubuhnya yang sempurna. Tapi tak ada yang memandanginya malam ini. Tak ada yang menyentuh.

Adrian, seperti biasa, sibuk. Atau sengaja menghindar.

Tangannya memainkan gelas anggur di meja, namun isinya tak disentuh. Yang ia inginkan bukan alkohol. Ia menginginkan seseorang yang bisa mendengar napasnya. Merasakan dirinya sebagai wanita.

Tring!

Getaran ponsel memecah keheningan.

> REYHAN:

"Aku di Jakarta. Bisa kita bertemu malam ini?"

Jantung Aluna berdetak keras. Nama itu muncul seperti suara masa lalu yang tak pernah benar-benar hilang. Ia menatap layar ponsel lama sekali. Ragu. Takut. Tapi juga... rindu.

Ia menggerakkan jari-jarinya.

> ALUNA:

"Di mana?"

Jawabannya datang cepat.

> REYHAN:

"Hotel Dharmawangsa, lounge bar. 30 menit lagi."

Aluna menatap pantulan dirinya di cermin. Kulitnya masih seindah dulu. Bibirnya masih mengundang. Tapi tatapannya... sudah lama kehilangan cahaya.

Ia membuka lemari. Menyibak gaun-gaun pesta, memilih yang paling sederhana tapi mematikan—gaun hitam dengan belahan di paha dan punggung terbuka. Make-up tipis, parfum lembut. Tak perlu lebih. Reyhan mengenalnya apa adanya.

---

30 Menit Kemudian – Hotel Dharmawangsa

Lounge itu remang dan elegan, wangi tembakau mahal dan bunga segar mengisi udara. Musik jazz mengalun lembut. Aluna melangkah masuk, dan waktu seperti berhenti.

Reyhan sudah duduk di sofa kulit, mengenakan kemeja putih dan jas abu gelap. Wajahnya lebih matang, rahangnya lebih tegas, dan tatapannya... masih sama. Hangat. Dalam. Berbahaya.

Mata mereka bertemu. Aluna nyaris menghentikan napas.

“Aluna,” ucap Reyhan dengan suara berat yang dulu selalu ia rindukan.

Aluna hanya tersenyum, duduk perlahan. “Kamu berubah.”

“Begitu juga kamu,” bisiknya. “Tapi tetap membuat jantungku kacau.”

Pelayan datang membawa dua gelas wine, dan mereka saling diam sesaat. Hanya tatapan yang berbicara. Mengisi celah lima tahun yang mereka abaikan.

“Kamu bahagia, Aluna?” suara Reyhan pelan tapi tajam.

Aluna mengalihkan pandangan, menatap cermin di belakang Reyhan. Wajahnya tampak tenang. Tapi matanya... tidak.

“Apakah harus bahagia kalau semua orang mengira aku bahagia?” katanya lirih.

Reyhan meraih tangannya di atas meja. Sentuhannya lembut, hangat, membuat kulitnya bergidik.

“Kamu masih cantik. Bahkan lebih dari dulu.”

“Jangan bicara begitu...”

“Kenapa?”

“Karena aku bisa jatuh lagi,” bisik Aluna.

Mereka terdiam. Tapi itu bukan keheningan yang canggung. Itu keheningan yang mendesis, penuh arus bawah, hasrat, dan kenangan.

---

Di Mobil Reyhan

Hujan makin deras saat mereka duduk di dalam mobil Reyhan. Aluna menggigit bibirnya. Nafasnya tak teratur.

Reyhan memandanginya. “Aku hanya ingin memelukmu. Itu saja.”

Aluna tak menjawab. Tapi ketika Reyhan mendekat dan menyentuh pipinya, ia tak menolak. Jemari Reyhan menyusuri wajahnya, lalu turun ke leher, ke bahu, dan berhenti di lengkung pinggangnya.

Dan saat bibir mereka bersentuhan—lambat, ragu, lalu tenggelam dalam ciuman panjang yang penuh kerinduan—semua logika runtuh.

Aluna tahu ini salah. Tapi tubuhnya—hatinya—sudah terlalu lama haus.

---

Hotel Dharmawangsa, Kamar 706

Pintu kamar tertutup dengan suara pelan. Aluna berdiri di dalam ruangan, membelakangi Reyhan, sementara hujan masih mengetuk jendela kaca besar di sisi kanan ruangan. Lampu temaram menyinari tubuhnya, menciptakan bayangan lembut di lantai marmer.

Tak ada kata. Tak perlu.

Suasana malam itu sudah bicara lebih dari cukup.

Reyhan berjalan perlahan ke arahnya. Ia bisa merasakan napas pria itu di belakang tengkuknya, mengalir hangat dan membuat seluruh tubuhnya menegang. Jemari Reyhan menyentuh pundaknya yang telanjang, menyusuri tali gaun hitam tipis itu, lalu berhenti sejenak.

"Kamu yakin?" bisiknya, hampir tak terdengar.

Aluna memejamkan mata. “Aku... lelah menahan semuanya, Rey.”

Satu kalimat itu membuka semua pintu yang selama ini tertutup.

Reyhan menurunkan tali gaun perlahan, membiarkannya meluncur jatuh ke lantai. Tubuh Aluna kini hanya berbalut kulit dan napasnya sendiri, namun ia tidak menutupinya. Tak malu. Justru, ia merasa hidup untuk pertama kalinya setelah sekian lama.

Reyhan memeluknya dari belakang, mencium bahunya, lehernya, punggungnya. Sentuhan bibirnya lembut, penuh penghormatan, tapi juga menyimpan api yang selama ini terkubur. Tubuh Aluna merespons setiap sentuhan itu—seperti api yang menyala hanya dengan sedikit percikan.

Mereka berbalik dan saling menatap. Mata mereka berbicara dalam bahasa yang hanya dimengerti mereka berdua. Luka. Rindu. Dan hasrat.

Reyhan menurunkan tubuhnya, mencium perut Aluna pelan, seperti memohon izin. Tangannya menjelajahi dengan sabar, tak terburu-buru. Ia tahu, malam ini bukan hanya tentang seks—ini tentang menyembuhkan kekosongan yang lama dibiarkan.

Aluna mendesah pelan saat punggungnya menyentuh seprai hangat. Reyhan menelusuri tubuhnya seolah ingin mengingat setiap lekuknya. Dan ketika akhirnya mereka menyatu, tidak ada yang keras atau tergesa. Hanya irama pelan yang menyatu dengan detak jantung dan desah napas yang berat.

Aluna mencakar lembut punggung Reyhan, bibirnya mengecup leher pria itu, dan untuk sesaat... semua beban di dunia lenyap.

Malam itu, mereka tidak sekadar berhubungan.

Mereka menemukan kembali diri masing-masing—di balik kulit, napas, dan rasa yang pernah terkubur.

---

Beberapa Jam Kemudian

Aluna bangun lebih dulu. Ia duduk di tepi ranjang, membungkus tubuhnya dengan selimut hotel dan menatap hujan yang masih belum berhenti.

Hatinya hangat. Tapi juga... kacau.

Ia menoleh pada Reyhan yang masih tertidur, wajahnya tenang seperti anak kecil. Lelaki itu memberinya sesuatu yang sudah lama hilang dari hidupnya: rasa diinginkan, dihargai, disentuh bukan karena kewajiban, tapi karena cinta.

Ponselnya bergetar.

> ADRIAN:

"Besok pagi aku pulang. Siapkan makan malam untuk kita berdua. Kita perlu bicara."

Aluna menggigit bibirnya. “Kita perlu bicara.”

Kalimat itu terdengar dingin. Formal. Seperti pertemuan bisnis.

Ia berbalik, menatap Reyhan sekali lagi. Menyentuh rambutnya perlahan. Lalu bangkit berdiri, mengenakan kembali gaunnya, dan meninggalkan kamar itu—meninggalkan Reyhan yang masih tertidur, dan hati yang kini berdenyut dalam dua arah.

Langit sudah mulai cerah saat Aluna tiba di rumah. Mobil pribadi yang biasa dikemudikan sopir kini ia kendarai sendiri, karena ia tak ingin ada saksi atas kemana ia pergi malam tadi.

Saat memasuki rumah mewah itu, segalanya tampak sama seperti saat ia tinggalkan. Tapi ia tahu dirinya tidak lagi sama.

Tangga marmer itu, lukisan mahal di dinding, aroma lilin aroma terapi di sudut ruang tamu—semuanya tampak mewah tapi kosong. Rumah ini bukan rumah. Ini hanya panggung sandiwara.

Aluna berdiri sejenak di depan cermin besar di lorong. Menatap wajahnya sendiri. Bibirnya masih tampak merah, rambutnya sedikit berantakan, dan matanya...

Matanya mengatakan segalanya.

Ia sudah menyeberangi batas. Dan tak ada jalan kembali.

---

Kamar Tidur

Ia melangkah masuk ke kamarnya sendiri. Gaun hitam yang ia kenakan tadi malam segera ditanggalkan dan dibuang ke keranjang cucian seperti benda kotor yang tak ingin dilihatnya lagi. Ia masuk ke kamar mandi, menyalakan shower panas, dan berdiri di bawahnya sambil memeluk tubuh sendiri.

Air mengalir dari ujung rambut ke bahunya, tapi tak mampu membersihkan rasa bersalah yang mulai merayap pelan.

"Apa yang sudah kulakukan..."

Suara itu nyaris tak terdengar, tapi menggema keras dalam dirinya.

---

Sore Hari

Aluna duduk di ruang makan, mengenakan gaun sederhana berwarna krem. Rambutnya dikuncir rapi. Wajahnya sudah dipoles tipis dengan make-up, seperti biasa. Tapi senyumnya... palsu.

Adrian datang sore itu. Tubuh tinggi dan penampilannya masih seperti biasanya: jas rapi, jam tangan mahal, aroma parfum eksklusif.

"Selamat datang," ucap Aluna datar.

Adrian mencium pipinya sekilas, lalu duduk.

Tak ada pelukan. Tak ada tatapan hangat. Hanya dua orang dewasa yang hidup di rumah yang sama tapi tak saling menyentuh jiwa.

Pelayan menyajikan makan malam. Suara alat makan berdenting halus, menyatu dengan keheningan di antara mereka.

Sampai akhirnya Adrian berkata:

> “Aku tahu kamu bertemu seseorang malam ini.”

Aluna membeku. Sendok di tangannya gemetar. Dadanya mencelos.

> “Apa maksudmu?” ia mencoba tenang.

Adrian mengangkat tatapan, dan untuk pertama kalinya, ia tampak serius. Tajam.

> “Kamu kira aku tidak tahu, Luna? Kamu pikir semua ini tidak diawasi?”

Aluna menahan napas.

Adrian menyandarkan tubuh ke kursi.

> “Aku tidak akan bertanya siapa dia. Belum. Tapi mulai malam ini... aku minta kamu berhenti.”

> “Kenapa?” suara Aluna pelan, hampir retak.

Adrian tersenyum tipis. Dingin.

> “Karena kalau kamu teruskan, kamu akan menghancurkan lebih banyak hal daripada yang kamu bayangkan.”

> “Aku sudah hancur, Adrian... jauh sebelum aku melakukan ini.”

Adrian terdiam. Aluna bangkit perlahan, menatapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

> “Kamu tidak pernah mencintaiku. Kamu hanya butuh boneka untuk ditampilkan ke dunia.”

Ia berbalik, melangkah meninggalkan meja makan, dan naik ke atas.

---

Malam Itu

Aluna duduk di balkon kamarnya, menatap langit malam yang kembali gelap. Tangannya menggenggam ponsel, menatap satu nama yang terus berputar-putar di pikirannya.

Reyhan.

Namun ia tidak menekan tombol apa pun.

Di bawah langit malam yang bisu, ia hanya berbisik pada dirinya sendiri...

> “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi... Tapi untuk pertama kalinya, aku merasa hidup. Dan itu membuat semuanya makin berbahaya.”