Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Luka yang tak bernama

Pagi Hari – Kantor Reyhan

Reyhan membuka tirai jendelanya perlahan. Mentari pagi masuk dengan lembut, tapi cahaya itu tak bisa menghapus kekacauan yang berkecamuk dalam pikirannya.

Ia duduk di meja kerjanya, menatap layar laptop yang kosong. Bukan karena tak ada pekerjaan, tapi karena pikirannya hanya dipenuhi satu nama: Aluna.

Tangan kirinya memegang ponsel, membuka kembali pesan terakhir yang ia kirim:

> “Aku tak butuh kamu sempurna, aku hanya butuh kamu jujur.”

Tidak ada balasan. Sejak semalam.

Dia menghela napas panjang. Jari-jarinya bergetar saat menyentuh tombol “hubungi”. Tapi ia urungkan. Yang dia takutkan bukan hanya ditolak, tapi kehilangan hak untuk mencintai.

---

Siang Hari – Rumah Adrian dan Aluna

Aluna menatap jam dinding. Sudah lebih dari dua jam sejak Adrian pergi.

Ia melangkah menuju meja makan dengan langkah lambat. Di tubuhnya hanya mengenakan gaun rumah warna pastel, tipis dan longgar. Tapi bukan itu yang membuatnya terasa telanjang.

Melainkan hatinya.

Ia duduk diam sambil menatap secangkir kopi yang telah dingin. Bayangan wajah Reyhan muncul di benaknya—hangat, lembut, tapi juga penuh resiko.

Lalu, suara mobil Adrian terdengar dari kejauhan.

Ia langsung berdiri, membetulkan rambut, dan mengambil sikap tenang seolah tak terjadi apa-apa. Tapi di dalam dadanya, ribuan detak panik menyerbu tanpa irama.

---

Adrian Masuk

Pintu terbuka.

Adrian berjalan masuk, rapi seperti biasa. Tapi pandangannya tajam. Matanya langsung mengarah ke Aluna, seolah menelanjangi pikirannya.

"Aku tahu kamu pergi ke tempat Reyhan," ucapnya datar, tanpa basa-basi.

Aluna tidak bereaksi. Tidak menyangkal. Tidak membela.

"Aku tidak melarang. Tapi kamu tahu kan, permainan ini hanya bertahan selama aku izinkan?" lanjutnya, mendekat perlahan.

Aluna menahan napas saat pria itu berdiri di depannya. Sangat dekat. Nafasnya terasa di wajah.

“Reyhan itu matahari palsumu, Na. Aku adalah langit yang kamu tinggali. Dan kamu akan mati... tanpa langit.”

Adrian menyentuh dagu Aluna dengan satu jari. Sentuhan yang tidak kasar, tapi dingin seperti ancaman.

“Kalau kamu membakar rumahmu sendiri demi pria itu, jangan salahkan api saat dia menelan segalanya.”

Lalu dia pergi meninggalkannya, seolah pernyataannya cukup untuk mengikat ulang tali kendali di leher Aluna.

---

Tubuh yang Bicara Saat Lidah Diam

---

Malam Hari – Apartemen Reyhan

Aluna berdiri di depan pintu apartemen Reyhan. Tangannya sempat ragu untuk mengetuk. Hatinya penuh keraguan, tapi tubuhnya telah memilih arah.

Pintu terbuka.

Reyhan mematung saat melihatnya. Tanpa kata. Matanya berbicara lebih dari yang bibirnya mampu ucapkan.

Aluna melangkah masuk. Gerakannya lambat, seperti seseorang yang baru saja melepaskan beban besar dari pundak... dan menggantinya dengan dosa baru.

Reyhan menutup pintu. Hening.

Tanpa aba-aba, Aluna mencium bibir Reyhan dengan penuh tekanan. Ciuman itu pahit dan manis dalam satu helaan napas. Ciuman yang mengandung rasa bersalah, tapi juga ketagihan.

"Jangan tanya kenapa aku ke sini..." bisik Aluna lirih, bibirnya nyaris menyentuh telinga Reyhan. “Aku hanya tahu... malam ini, tubuhku tak sanggup tidur sendiri di rumah itu.”

Reyhan menatapnya dalam-dalam. Lalu mencium balik, kali ini perlahan. Jemarinya menyentuh leher Aluna, turun ke pundaknya, lalu menarik tali gaunnya hingga melorot ke lantai.

Tubuh Aluna berdiri di sana, telanjang, hanya diterangi cahaya lampu tidur yang temaram. Tidak ada rasa malu, hanya rasa lelah karena menyimpan semuanya terlalu lama.

Reyhan mengangkat tubuhnya tanpa berkata-kata, membawanya ke ranjang.

---

Ranjang Reyhan – 21:44 WIB

Aluna berbaring telentang, tubuhnya menyatu dengan ranjang. Reyhan mencium lehernya, turun ke dada, ke bawah pusar, dan kembali naik. Ia tak terburu-buru. Dia bukan lelaki yang sekadar ingin tubuh, tapi yang ingin memahami luka di balik kulit.

Aluna menangis pelan, tapi tidak menghentikan gerakan tangan Reyhan yang menyusuri lengannya, lalu menggenggam jemarinya erat.

"Aku takut," katanya lirih.

Reyhan mencium keningnya. "Aku juga... Tapi malam ini, kita bukan siapa-siapa. Kita hanya dua orang yang ingin merasa hidup."

Desahan pertama mengisi ruangan. Pelan, lalu dalam. Ranjang Reyhan menjadi saksi bagaimana dua manusia yang terluka saling menyembuhkan melalui tubuh. Bukan hanya seks. Tapi pelepasan. Sebuah pengakuan bisu.

Mereka menyatu... dalam diam, dalam napas tercekat, dalam cengkeraman jemari yang tak ingin melepaskan.

Malam itu, cinta tidak disebut, hanya dirasakan. Dan tubuhlah yang mengucapkan semuanya.

Sinar matahari menyelinap dari celah tirai. Di ranjang, Aluna masih terlelap, tubuhnya bersandar lembut di dada Reyhan. Napasnya teratur, damai. Tapi damai itu sebentar lagi akan runtuh.

Reyhan terjaga lebih dulu.

Ia tak ingin bergerak. Tak ingin membuat waktu berjalan. Tapi telepon genggamnya bergetar pelan di sisi tempat tidur.

[Nomor Tak Dikenal]

Ia angkat. Hening. Lalu sebuah suara berat dan dingin terdengar:

> "Seseorang sedang bermain api di rumah orang lain. Dan kamu, Reyhan, sedang memeluk bara yang bisa membakar seluruh hidupmu."

Klik.

Telepon terputus.

Reyhan menatap ponsel itu, matanya menyipit. Bukan sekadar ancaman. Itu seperti peringatan dari seseorang yang... tahu lebih dari yang seharusnya.

---

Sementara Itu – Mobil Misterius

Di luar apartemen, sebuah mobil hitam parkir diam. Di dalamnya, seorang pria duduk sambil menatap layar tablet yang menampilkan rekaman CCTV dari lorong apartemen Reyhan.

Wajah Aluna jelas terlihat dalam rekaman itu. Wajahnya yang gelisah, langkahnya yang terburu-buru. Pintu yang terbuka. Lalu... layar menjadi hitam.

Pria itu tersenyum tipis.

"Akhirnya kamu menunjukkan wajah aslimu, Aluna..."

Ia menekan tombol rekam.

"Dan kini, semuanya akan aku kendalikan. Satu per satu."

---

Kembali ke Ranjang

Aluna perlahan terbangun. Matanya langsung menangkap wajah Reyhan yang tampak tegang.

"Ada apa?" tanyanya pelan, menyentuh pipinya.

Reyhan tak langsung menjawab. Ia hanya memeluknya lebih erat. Dalam pelukannya, Aluna merasa aman—tapi di luar sana, bahaya telah mengintai. Dan mereka berdua sudah terlalu jauh untuk mundur.

Air hangat mengalir membasahi kulit Aluna yang masih lekat dengan bekas malam panjang. Ia menatap bayangan dirinya di kaca—mata yang sembab, bibir yang masih merekam jejak ciuman, dan dada yang naik turun menahan napas.

Hatinya tak sepenuhnya damai. Ia mencintai Reyhan… ia yakin akan itu. Tapi cinta ini seperti pisau bermata dua. Menyentuhnya terasa nikmat, namun menyayatnya pun begitu mudah.

Dari balik tirai shower, ia mendengar suara langkah.

"Reyhan?" panggilnya.

Tak ada jawaban.

Lalu... ada bayangan di balik tirai.

Dengan cepat ia menarik tirai itu—namun hanya udara kosong yang menyambut. Tak ada siapa pun.

Nafas Aluna memburu.

Dia merasa... diawasi.

---

Sementara Itu – Di Sudut Apartemen

Reyhan sedang memeriksa ulang kamera kecil yang disembunyikannya di depan pintu apartemen. Setelah menerima telepon tadi pagi, paranoia menyelimutinya. Ia bukan hanya takut kehilangan Aluna—ia takut sesuatu yang lebih besar sedang dimainkan.

Saat menelusuri rekaman dari malam sebelumnya, ada satu frame aneh.

Tepat pukul 03:12 dini hari, saat ia dan Aluna tertidur…

…lampu lorong berkedip sebentar.

Dan sesosok bayangan tampak berdiri di ujung lorong. Diam. Tak bergerak. Wajahnya tak terlihat, tapi gesturnya—seperti seseorang yang menikmati pemandangan dari kejauhan.

Reyhan mengepalkan rahangnya.

"Siapa kau…?"

---

Kembali ke Aluna

Aluna mengenakan kemeja Reyhan—besar di tubuh mungilnya, tapi hangat dan menenangkan. Saat melangkah ke ruang tengah, ia melihat Reyhan duduk di depan laptop, wajahnya gelap.

“Ada yang tak beres, ya?” tanyanya.

Reyhan menoleh. Ia ingin mengatakan tidak. Tapi matanya tak bisa berbohong.

“Luna…” bisiknya. “Kita sedang diikuti. Atau lebih buruk, dia sedang menunggu kita melakukan kesalahan.”

Aluna terdiam. Tangannya refleks memeluk tubuhnya sendiri.

“Siapa?” bisiknya.

Reyhan berdiri dan mendekatinya. Menyentuh pipinya, mencium keningnya.

“Aku tak tahu. Tapi malam ini, kau tidak pulang. Kau tetap di sini. Aku tak akan membiarkan apa pun menyentuhmu.”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel