Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Luka yang Tidak Bernama

Pagi Hari – Rumah Keluarga Prasetya

Aluna duduk di meja rias, mengenakan kemeja satin putih Adrian yang terlalu besar untuk tubuh mungilnya. Rambutnya masih basah setelah mandi, dibiarkan tergerai. Pagi itu terasa dingin—bukan karena cuaca, melainkan karena seseorang yang tidur di sisi ranjang semalaman tidak mengucap satu kata pun.

Adrian bangun lebih dulu, seperti biasa. Mengenakan jas kerja dan cologne mahalnya, lalu menghilang dengan suara pintu utama tertutup pelan. Ia tidak menyentuh Aluna. Tidak mencium keningnya. Tidak bicara apa pun soal pembicaraan semalam.

Sunyi adalah bahasa mereka kini.

Bahasa yang perlahan-lahan membunuh hati.

Aluna menarik napas panjang, lalu membuka pesan WhatsApp-nya. Satu pesan tak terkirim dari Reyhan masih ada di layar:

> "Aku tidak bisa berhenti memikirkanmu. Tapi aku tidak akan memaksamu untuk kembali."

Ia mengetuk balas, lalu berhenti. Tak tahu harus mengetik apa. Dihapus. Disimpan. Lalu ia menaruh ponsel itu jauh-jauh.

---

Siang Hari – Kafe Langganan Gaby

Gaby Salsabila, sahabat Aluna sejak kuliah, sudah menunggu di sudut kafe sambil memainkan sedotan dalam gelas es kopi susu. Wajahnya cerah seperti biasa, tapi tatapannya langsung berubah tajam saat melihat Aluna datang dengan mata sembab yang tertutup make-up.

“Aku butuh yang lebih dari sekadar kopi kalau mau dengar drama kamu pagi-pagi begini,” gumam Gaby.

Aluna tertawa kecil. Palsu. “Maaf. Tapi aku... benar-benar butuh bicara.”

Gaby menyandarkan dagunya di tangan. “Let me guess. Reyhan?”

Aluna mengangguk perlahan.

Gaby mendesah panjang. “Lun... kamu tahu ini berbahaya, kan?”

“Aku tahu. Tapi... aku gak bisa berhenti.”

“Karena kamu masih cinta?”

Aluna tak langsung menjawab. Ia menatap gelas kopinya sejenak. “Karena bersamanya, aku merasa hidup. Aku merasa jadi wanita.”

Gaby terdiam. “Kamu dan Adrian masih...?”

Aluna menggeleng. “Sudah setahun lebih kami tidak menyentuh satu sama lain.”

Wajah Gaby mengeras. “Lalu kamu masih mau bertahan?”

“Karena pernikahan ini bukan cuma tentang aku. Ini tentang reputasi. Tentang keluarga. Tentang… semua hal yang tak bisa kulawan sendiri.”

---

Sore Hari – Kantor Hukum Dimaswara & Partners

Reyhan menatap layar laptopnya, wajahnya serius tapi pikirannya tidak fokus. File kasus milik klien utamanya—Prasetya Group—terbuka lebar di depannya. Tapi bukan angka dan pasal yang ia lihat.

Yang ia lihat hanya satu nama di pikirannya.

Aluna.

Ia memejamkan mata. Mencoba melupakan malam itu. Sentuhan. Ciuman. Napasnya di kulitnya. Tapi semua itu menempel terlalu dalam.

Pintu ruangannya diketuk.

“Bos, klien baru dari Singapura sudah tiba.”

Reyhan mengangguk. “Saya menyusul.”

Tapi sebelum bangkit, ia membuka laci meja kerjanya. Di sana ada foto lama. Foto kecil, lusuh, dua orang muda tersenyum di bawah pohon flamboyan di kampus mereka dulu.

Ia menyentuh foto itu. Dan berbisik…

> “Kita dulu saling memiliki, Aluna. Sekarang... kita hanya saling melukai.”

---

Malam Hari – Rumah Keluarga Prasetya

Aluna sedang menyisir rambutnya di kamar ketika Adrian tiba-tiba masuk tanpa mengetuk. Wajahnya serius, tangannya membawa amplop cokelat besar.

“Kita harus bicara,” katanya.

Aluna mengangguk perlahan. “Bicara apa?”

Adrian meletakkan amplop di meja.

“Ini laporan investigasi internal dari orang kepercayaanku.”

Aluna menegang. “Kamu menyelidikiku?”

Adrian menatapnya tajam. “Kamu pikir aku tidak tahu dengan siapa kamu bertemu malam itu?”

Aluna berdiri. “Adrian...”

“Tenang saja. Aku belum membuka isinya. Tapi kalau aku buka dan tahu siapa dia... kamu tahu konsekuensinya, kan?”

Air mata Aluna menggenang. “Apa kamu akan menceraikanku?”

Adrian tertawa dingin. “Ceraikan? Tidak, Aluna. Aku tidak akan membiarkan wanita sepertimu bebas begitu saja. Kamu istriku. Dan kamu akan tetap di sini, apapun yang terjadi.”

> “Aku bukan barang, Adrian...”

> “Tapi kamu juga bukan korban. Kamu tahu apa yang kamu lakukan.”

Aluna membalas tatapan itu dengan mata yang mulai merah.

> “Aku tahu. Tapi kamu tidak pernah mencintaiku. Dan sekarang kamu memperlakukanku seperti tawanan.”

Adrian mendekat. Menatapnya dari dekat. “Karena kamu sudah milik orang lain di dalam kepala dan tubuhmu. Tapi kamu tetap milikku di atas kertas, dan itu cukup... untuk menghancurkanmu jika perlu.”

---

"Aku Ingin Kamu Tetap Jadi Luka yang Menghidupkanku"

---

Malam Hari – Sebuah Apartemen di Sudirman

Aluna berdiri di balkon apartemen Reyhan. Angin malam membelai rambutnya, dan lampu kota Jakarta berpendar seperti ratusan rahasia yang tak pernah padam.

Di belakangnya, Reyhan berdiri dalam diam. Ia sudah mengganti kemejanya dengan kaos abu-abu tipis yang menempel sempurna di tubuh berototnya. Tatapan matanya tidak bertanya, hanya menunggu.

Aluna menggenggam cangkir teh hangat yang disiapkan Reyhan tadi. Tapi teh itu sudah dingin sekarang—seperti hatinya yang perlahan kehilangan arah.

“Aku tak tahu berapa lama lagi aku bisa seperti ini,” bisiknya.

Reyhan mendekat. “Kamu tidak harus kembali malam ini.”

Aluna menoleh. “Kalau aku tetap di sini... aku akan menghancurkan semua yang tersisa dariku.”

Reyhan mengusap pipinya. “Mungkin kamu tidak hancur, Aluna. Mungkin... kamu sedang membangun kembali sesuatu yang baru.”

Tangannya menarik tubuh Aluna mendekat. Tidak ada ciuman terburu-buru. Tidak ada nafsu yang liar. Yang ada hanya pelukan erat—hangat, penuh rasa bersalah dan penghiburan dalam satu waktu.

Tangan Reyhan bergerak pelan, menelusuri lengan Aluna, turun ke pinggangnya. Ia menarik tubuh wanita itu mendekat, menyandarkannya ke dadanya.

“Aku ingin kamu tetap di sini,” bisik Reyhan, “meski hanya untuk malam ini.”

---

Kamar Reyhan – 22:47 WIB

Aluna berbaring di atas ranjang Reyhan, hanya mengenakan bra satin hitam dan celana dalam renda tipis. Gaun krem yang ia kenakan sebelumnya tergeletak di lantai bersama cardigan tipisnya.

Reyhan duduk di sisi ranjang, hanya mengenakan celana jogger, tubuh bagian atasnya telanjang, memperlihatkan gurat otot dan dada bidang yang membuat Aluna memandanginya lama.

“Berapa kali kamu membayangkannya?” bisik Reyhan, menatap matanya.

“Setiap malam,” jawab Aluna jujur. “Setiap kali Adrian melewatiku seolah aku tembus pandang.”

Reyhan menaikkan tubuhnya, lalu menunduk, menyentuh bibir Aluna dengan ciuman yang pelan. Tapi pelan bukan berarti tenang. Ciuman itu seperti bara api yang membakar perlahan. Meninggalkan jejak.

Tangan Reyhan menyusuri sisi tubuh Aluna. Dari bahu, turun ke lekuk pinggang, lalu menyelusup ke balik punggungnya. Ia membuka kait bra itu dengan satu gerakan halus.

Tubuh Aluna bergetar saat Reyhan mencium lehernya, pelan dan dalam, turun ke dada, lalu perut, lalu naik kembali.

“Rey...” bisiknya.

“Hm?”

“Jangan hentikan malam ini... meski besok aku harus pura-pura mati rasa lagi.”

Reyhan menghentikan ciumannya, menatap dalam ke mata Aluna.

> “Kalau kamu mati rasa besok, biarkan malam ini jadi hidup kita yang sebenarnya.”

Dan mereka pun menyatu.

Pelan. Dalam. Lama.

Bukan ledakan gairah yang kasar, tapi tarian luka dan cinta yang tak bisa disebut dengan kata-kata.

Aluna melenguh pelan saat Reyhan menyentuh bagian terdalamnya. Ia menggenggam leher pria itu, bibirnya mengecup rahang Reyhan yang mengeras menahan desah.

Dan saat mereka mencapai puncak bersama—dalam pelukan, dalam air mata, dalam rasa bersalah—Aluna tahu satu hal:

Ia tidak ingin kembali. Tapi ia tidak tahu bagaimana caranya pergi.

---

Keesokan Paginya

Aluna terbangun lebih dulu. Reyhan masih tertidur, lengannya melingkar di pinggangnya. Ia menyentuh tangan itu, mencium punggungnya pelan, lalu bangkit tanpa suara.

Di meja dekat tempat tidur, ia menulis secarik catatan:

> “Terima kasih karena menghidupkanku malam ini. Tapi aku belum siap kehilangan semuanya. Bukan hari ini.”

— A

Ia mengenakan kembali gaunnya, mengambil tasnya, dan berjalan keluar.

Di lorong apartemen, air matanya jatuh untuk pertama kalinya tanpa bisa dia tahan.

"Setiap Luka Ada Pengintainya"

---

Pagi Hari – Rumah Keluarga Prasetya

Langit cerah, tapi hati Aluna tetap kelabu.

Ia duduk di taman belakang rumahnya, mengenakan kemeja tidur panjang warna biru pucat. Rambutnya diikat seadanya. Di depannya, secangkir teh melati yang mulai dingin. Di atas meja, amplop cokelat dari Adrian—yang belum dibuka—masih tergeletak.

Ia menatapnya lama, lalu membuka perlahan. Di dalamnya, ada berkas hasil investigasi.

Foto.

Foto dirinya keluar dari mobil Reyhan malam itu. Foto dirinya masuk ke hotel.

Tangannya gemetar.

Ada selembar kertas di bagian belakang, dengan catatan tulisan tangan Adrian:

> “Aku tidak akan menyentuhnya... selama kamu tahu batas.

Tapi kamu hanya akan dapat hidup... jika aku mengizinkanmu.”

Aluna meremas kertas itu. Napasnya memburu. Ia bukan lagi istri—ia tawanannya.

---

Siang Hari – Kantor Reyhan

Reyhan menerima paket tanpa nama. Di dalamnya: foto-foto dirinya dan Aluna. Pose intim. Termasuk saat mereka tertidur di ranjang.

Wajah Reyhan mengeras. Ia menatap ke sekeliling ruangannya. Kamera? Penyadap?

Lalu ia menemukan secarik kertas kecil:

> “Kamu bisa menjadi pengacara siapa pun... kecuali milik kami.”

---

Sore Hari – Kafe Langganan Gaby

Gaby duduk sendirian dengan ponsel di tangan. Di layar ponselnya, tampak beberapa foto Aluna dan Reyhan. Foto yang sama yang dikirim ke Adrian dan Reyhan.

Ia membuka aplikasi chat anonim, lalu mengirim pesan:

> “Sudah kukirim ke dua arah. Tunggu efek dominonya.”

Tak lama kemudian, seseorang membalas:

> “Kau dibayar untuk diam. Bukan untuk bermain api.”

Gaby menggigit bibir bawahnya. Wajah cerianya berubah kelam. “Terlambat. Aku juga punya dendam.”

---

Malam Hari – Kamar Tidur Aluna

Aluna duduk di tepi ranjang, menatap ponsel.

Ia ingin menghubungi Reyhan. Tapi ia tahu... kali ini lebih berbahaya.

Bukan hanya hatinya yang terancam. Tapi juga hidup Reyhan.

Ia mengetik pesan. Lalu hapus. Lalu mengetik lagi:

> “Mungkin kita harus berhenti dulu. Bukan karena aku tidak cinta. Tapi karena aku takut... kamu akan hancur karenaku.”

Pesan itu tak terkirim.

Ia mematikan ponsel. Menarik selimut.

Tapi matanya tetap terbuka sepanjang malam

– Kilas Balik Singkat

Dalam cahaya gelap sebuah ruangan arsip, seorang pria tua membuka map rahasia dengan lambang “PRAS GROUP – INTERNAL”. Di dalamnya, ada nama “Aluna Maharani” dengan status: Subjek Pengawasan Khusus.

Pria itu berbicara melalui telepon:

> “Putri mendiang Tio Maharani itu sudah dekat dengan Reyhan Dimaswara. Jika mereka terus menggali... mereka akan menemukan apa yang kita kubur dua puluh tahun lalu.”

> Suara di telepon menjawab dingin:

“Kalau begitu, pastikan mereka tidak bisa bicara. Dengan cara apa pun.”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel