Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab-3 Baca sekarang !!

Rael tidak langsung menjawab. Matanya mengamati Veyla dengan tajam.

“Apa maksudmu?” suaranya dingin, tapi di dalam kepalanya, pertanyaan bertubi-tubi muncul.

Veyla tidak langsung menjawab. Sebaliknya, dia menatap orang-orang bersenjata yang mengelilingi mereka. “Lepaskan dia,” perintahnya.

Seorang pria bertubuh besar dengan tato di lehernya menyipitkan mata. “Kau yakin? Dia mungkin berbahaya.”

Veyla tersenyum miring. “Kalau dia berbahaya, kalian semua sudah mati sekarang.”

Pria itu ragu, tapi akhirnya mengangguk dan memberi isyarat pada anak buahnya untuk menurunkan senjata. Suasana masih tegang, tapi setidaknya Rael bisa bernapas lebih lega.

“Kau menghilang selama tiga minggu.” Rael menyilangkan tangan. “Lalu tiba-tiba muncul dengan sekelompok orang bersenjata dan bicara soal ‘sebelum aku mati sia-sia’? Aku bukan orang yang suka main tebak-tebakan, Veyla.”

Veyla menatapnya, ekspresinya sulit dibaca. Lalu, dengan suara nyaris berbisik, dia berkata: “Ada pengkhianat di antara kita.”

Rael menegang. “Siapa?”

Veyla mendekat. “Seseorang yang kau percaya.”

Rael tertawa sinis. “Aku tidak percaya siapa pun.”

Veyla menggeleng. “Itulah masalahnya. Kau pikir kau tidak percaya siapa pun, tapi seseorang sudah berada di dalam lingkaranmu, mengawasi setiap langkahmu.”

Rael merasa darahnya berdesir. “Beri aku nama.”

Veyla tidak menjawab. Sebaliknya, dia merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan sebuah ponsel yang terlihat rusak. “Buka ini di tempat yang aman. Ada sesuatu yang perlu kau lihat.”

Rael mengambil ponsel itu, masih dengan kewaspadaan penuh. Tapi sebelum dia bisa bertanya lebih lanjut, suara tembakan terdengar dari kejauhan.

Veyla langsung bereaksi. “Sial, mereka menemukan kita lebih cepat dari yang kuduga!”

Rael mengumpat. “Siapa mereka?”

Veyla menarik Rael ke belakang mobil dan berbisik, “Orang-orang yang ingin memastikan kita tidak pernah menemukan kebenaran.”

Rael menarik napas panjang. Ini bukan sekadar perburuan biasa. Ini adalah permainan bayangan yang lebih besar dari yang pernah dia bayangkan.

Dan dia sudah terlalu dalam untuk mundur sekarang.

Suara tembakan bergema di udara. Rael dan Veyla berlari menyusuri gang sempit, napas mereka berat, tapi langkah tak boleh berhenti.

“Sial! Mereka datang dari dua arah!” seru Veyla sambil menendang tong sampah ke belakang, mencoba menghalangi pengejar.

Rael melirik ke arah ponsel rusak yang diberikan Veyla. Ia tahu jawabannya ada di dalam sini. Masalahnya, mereka harus bertahan hidup dulu untuk mengetahuinya.

“Masuk ke toko itu!” Rael menarik Veyla ke dalam toko kosong dengan jendela pecah. Debu beterbangan saat mereka bersembunyi di balik rak.

Veyla menahan napas. Dari luar, suara langkah kaki semakin dekat.

“Cari di dalam!” suara kasar terdengar.

Rael meraih sesuatu dari sakunya—sebuah pisau lipat kecil. Senjata yang remeh, tapi di tangan orang yang tepat, bisa mematikan.

Seorang pria berbadan besar masuk, senjatanya siap ditembakkan. Rael menunggu... menunggu... lalu saat pria itu melangkah terlalu dekat—

Crasgh!

Rael bergerak cepat, menghantamkan pisau ke lengan pria itu, membuatnya menjatuhkan senjata. Veyla tak buang waktu, mengambil pistol dari meja dan menembakkan satu peluru ke atas, membuat panik orang-orang di luar.

“Kabur sekarang!”

Mereka berlari keluar dari pintu belakang.

Tapi saat mereka mengira sudah aman—

“Sudah cukup, Rael.”

Rael dan Veyla berhenti.

Di depan mereka, berdiri seseorang yang tak seharusnya ada di sana.

Orang yang seharusnya bisa mereka percaya.

Rael mengatupkan rahangnya. “Jadi... kau pengkhianatnya.”

Orang itu hanya tersenyum.

Dan dalam hitungan detik, segalanya berubah.

Rael dan Veyla berdiri kaku. Orang yang mereka percaya selama ini, seseorang yang selalu ada dalam bayangan, kini berdiri di depan mereka dengan ekspresi tenang.

“Kalian terlalu lama menemukan jawabannya,” kata pria itu, suaranya rendah, penuh kepastian.

Rael mengepalkan tangan. “Jadi, dari awal kau yang mengatur semua ini?”

Sebuah senyum tipis muncul di wajah pria itu. “Mengatur? Tidak. Aku hanya memastikan bahwa teka-teki ini dipecahkan oleh orang yang tepat.”

Veyla mengangkat pistolnya, membidik tepat ke arah pria itu. “Jangan coba-coba bersikap filosofis dengan kami. Kami sudah melewati terlalu banyak untuk percaya pada permainanmu.”

Pria itu menghela napas, melangkah perlahan ke samping, seolah ingin memberikan mereka jalan keluar. “Kalau begitu, buktikan. Kalau kalian benar-benar ingin kebenaran, ambil langkah berikutnya. Tapi ingat, kebenaran tidak selalu membawa kedamaian.”

Rael melirik Veyla. Mereka tak punya pilihan lain.

Tanpa banyak bicara, mereka berlari melewati pria itu, menuju lorong sempit yang berujung pada pintu besi besar. Rael mengeluarkan ponsel rusak yang mereka dapatkan sebelumnya, menyalakan layar yang berkedip-kedip dengan pesan terakhir yang tersimpan di dalamnya:

"Kode terakhir: 12-07-34. Gunakan dengan bijak."

Veyla menghafalnya cepat, lalu menekan kombinasi angka di panel pintu. Suara mekanisme terbuka terdengar, dan pintu itu meluncur perlahan ke atas.

Di balik pintu itu, mereka melihat sesuatu yang membuat napas mereka tertahan.

Sebuah ruangan penuh layar monitor, menampilkan wajah mereka sendiri dalam berbagai situasi yang seharusnya mustahil untuk terekam.

Rael melangkah masuk lebih dulu. Matanya menangkap satu layar utama yang menampilkan data mereka, lengkap dengan catatan yang ditulis dengan kode-kode yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

Veyla menggigit bibirnya. “Kita diawasi selama ini...”

“Bukan cuma diawasi,” suara Rael terdengar berat. Ia menunjuk ke salah satu layar yang menampilkan rekaman seseorang yang berdiri di balik jendela apartemen mereka.

Seseorang yang wajahnya mirip sekali dengan dirinya sendiri.

“Kita bagian dari sesuatu yang lebih besar dari yang kita bayangkan.”

BAYANGAN TERAKHIR

BAB 2: PENGKHIANATAN DALAM BAYANGAN

Rael Azraq berdiri di tepi gedung pencakar langit, napasnya masih memburu setelah lolos dari penyergapan di distrik bawah tanah. Angin dingin Tokyo menyapu tubuhnya, tetapi pikirannya jauh lebih dingin. Ini bukan sekadar misi gagal. Ini jebakan.

Veyla Noir seharusnya mati dua tahun lalu. Semua dokumen, laporan, bahkan rekaman menunjukkan hal yang sama. Namun wanita itu masih hidup, dan seseorang menginginkan kepalanya. Pertanyaannya, siapa?

Sebuah getaran di saku jaketnya membuatnya kembali fokus. Rael merogoh ponselnya, melihat pesan terenkripsi dari kontak tak dikenal:

"Keluar dari permainan, atau kau akan jadi bayangan terakhir yang menghilang."

Ancaman? Tidak. Ini peringatan.

Rael mengabaikan pesan itu. Jika seseorang ingin menakutinya, mereka harus mencoba lebih keras. Yang lebih penting, dia harus menemukan Veyla sebelum orang lain melakukannya.

---

Di suatu tempat di distrik bawah tanah, Veyla Noir menghapus jejaknya dengan cepat. Dia sudah memperkirakan seseorang akan datang membunuhnya, tetapi dia tidak mengira itu akan menjadi Rael Azraq sendiri. Legenda hidup. Pembunuh paling ditakuti.

"Kau terlalu cepat menemukanku, Rael..." gumamnya, menatap layar laptop dengan daftar nama-nama yang harus ia waspadai.

Tepat di bagian atas: Rael Azraq - Target Eliminasi.

Matanya menyipit. Ini bukan kebetulan. Seseorang tidak hanya menginginkan dia mati, tetapi juga mengadu domba mereka berdua.

---

BAB 3: PENJUAL NYAWA

Rael bergerak cepat. Dia tahu hanya ada satu tempat untuk mendapatkan jawaban: The Crimson Veil, sebuah bar kelas atas yang juga pusat informasi para pembunuh bayaran dan penyelundup data.

Saat dia masuk, semua mata tertuju padanya, tetapi tak ada yang cukup bodoh untuk menghentikannya.

Di pojok ruangan, seorang pria tua dengan janggut putih tersenyum kecil. "Aku sudah menunggumu, Azraq."

Rael duduk di seberang meja tanpa membuang waktu. "Siapa yang menjebakku?"

Pria itu menyerahkan sebuah amplop hitam. "Bukan hanya kau yang jadi target. Wanita itu, Veyla Noir, juga diincar. Pertanyaannya... oleh siapa?"

Rael membuka amplop itu. Di dalamnya, ada foto Veyla, dirinya sendiri, dan...

Nama klien yang menyewa pembunuhnya: Ordo Eclipse.

Rael mengangkat alis. Ordo Eclipse bukan sekadar organisasi kriminal. Mereka adalah bayangan dalam bayangan, pengendali kekacauan global. Jika mereka menginginkan Veyla mati, berarti ada sesuatu yang jauh lebih besar daripada sekadar pelarian seorang ilmuwan.

"Kau punya dua pilihan, Azraq," kata pria tua itu. "Selesaikan misi dan tetap hidup. Atau lindungi wanita itu dan berakhir seperti target lainnya."

Rael tersenyum dingin. "Aku tidak suka diberi pilihan. Aku lebih suka membuatnya sendiri."

---

Di sisi lain kota, Veyla menyusup ke dalam sebuah laboratorium rahasia. Dia harus menemukan jawaban sebelum semuanya terlambat.

Tapi saat dia menyalakan komputer utama, layar berkedip dengan pesan misterius:

"Kita sudah menunggumu, Veyla."

Tiba-tiba, pintu besi di belakangnya terkunci dengan bunyi klik tajam.

Langkah kaki bergema di kegelapan.

Seseorang sudah menunggunya di sana.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel