Pustaka
Bahasa Indonesia

Bayangan Terakhir

33.0K · Tamat
Strgood
28
Bab
53
View
7.0
Rating

Ringkasan

BAYANGAN TERAKHIR Di dunia yang tak mengenal belas kasihan, Rael Azraq hanya memiliki satu aturan: tidak pernah gagal dalam membunuh targetnya. Sebagai pembunuh bayaran terbaik, ia tak peduli siapa korbanny hingga sebuah misi mengubah segalanya. Targetnya kali ini adalah Veyla Noir, seorang dokter yang diyakini telah mati dua tahun lalu dalam pembantaian misterius. Namun, ketika Rael menemukannya, wanita itu tidak hanya hidup, tetapi juga membawa sebuah rahasia kelam yang bisa menghancurkan organisasi paling berbahaya di dunia. Dikejar oleh pasukan bayangan, mafia dunia bawah, sekte okultis, dan agen rahasia pemerintah, mereka terjebak dalam konspirasi yang lebih besar dari yang pernah dibayangkan. Dari gang-gang gelap Tokyo, labirin pasar gelap Rusia, hingga kuil-kuil terlarang di Tibet, Rael dan Veyla harus bertarung melawan iblis dari masa lalu baik yang berbentuk manusia maupun yang berasal dari dunia lain. Ketika batas antara realitas dan ilusi mulai kabur, Rael dipaksa menghadapi masa lalunya yang dipenuhi pengkhianatan, penyiksaan, dan darah. Sementara itu, Veyla menyimpan kunci menuju eksperimen terlarang yang bisa mengubah peradaban, sekaligus menjadi alasan ia harus mati. Dalam dunia yang penuh kebohongan, penyiksaan, dan penghianatan, tidak ada yang bisa dipercaya. Bahkan bayangan sendiri bisa menusuk dari belakang. Namun, di antara darah, peluru, dan ketakutan, sesuatu yang lebih berbahaya mulai muncul cinta yang tidak seharusnya ada. Ketika pembunuh menjadi pelindung dan korban menjadi ancaman terbesar, hanya ada satu pertanyaan: siapa yang akan bertahan saat permainan ini berakhir?

MenyedihkanSupranaturalNovel MemuaskanPlot TwistPsikopat

Bab-1 Baca sekarang !!

BAYANGAN TERAKHIR

BAB 1: TARGET YANG SALAH

Rael Azraq tidak pernah gagal. Di dunia para pembunuh bayaran, dia adalah legenda yang namanya hanya dibisikkan di kegelapan. Jika namanya disebut, itu berarti seseorang akan mati malam ini.

Misi kali ini seharusnya sederhana: bunuh seorang wanita bernama Veyla Noir. Data yang diberikan kliennya mengatakan bahwa dia adalah mantan dokter penelitian yang telah mati dua tahun lalu dalam kebakaran misterius. Namun, informasi terbaru menunjukkan bahwa wanita itu masih hidup dan bersembunyi di distrik bawah tanah Tokyo. Tidak ada pertanyaan. Tidak ada perasaan. Hanya target yang harus dieksekusi.

Namun, sejak awal, ada sesuatu yang terasa salah. Saat Rael menargetkan senjatanya ke kepala Veyla, wanita itu menatap lurus ke arahnya dengan senyum samar. Tidak ada ketakutan. Tidak ada permohonan ampun. Hanya tatapan yang seolah berkata "Kau sudah terlambat."

Lalu, dunia meledak.

Sebuah bom tersembunyi di ruangan itu meledak begitu Rael menarik pelatuknya. Namun, bukan hanya dia yang hampir mati pasukan bayangan bersenjata lengkap muncul dari segala arah, menembaki tanpa ampun.

Rael menghindar dengan gerakan refleks, menembakkan belatinya ke leher salah satu penyerang. Veyla? Wanita itu menghilang begitu saja dalam kekacauan.

Saat Rael melarikan diri, satu fakta mengganggunya. Targetnya seharusnya adalah seorang wanita biasa, tetapi serangannya terasa seperti penyergapan yang sudah direncanakan sejak awal. Dan lebih buruk lagi Veyla Noir tidak seharusnya ada.

Jika dia benar-benar mati dua tahun lalu, lalu siapa wanita yang baru saja lolos dari cengkeramannya? Dan kenapa semua orang menginginkannya mati?

Jawaban itu menuntunnya ke dalam jaringan konspirasi yang lebih besar dari yang pernah ia bayangkan. Mafia dunia bawah, organisasi rahasia, dan sesuatu yang lebih mengerikan dari sekadar manusia biasa mulai memburu mereka berdua.

Di antara peluru, darah, dan pengkhianatan, Rael harus memutuskan: Apakah dia akan menyelesaikan misinya, atau melindungi wanita yang bisa menghancurkan dunia?

Rael Azraq tahu dia sedang diburu. Bukan hanya oleh klien yang merasa dikhianati, tetapi oleh sesuatu yang lebih gelap, lebih berbahaya.

Dia bergerak cepat melalui gang-gang Tokyo, tubuhnya penuh luka dari ledakan tadi. Setiap sudut, setiap bayangan bisa menjadi perangkap. Tetapi satu pertanyaan terus menghantuinya: siapa sebenarnya Veyla Noir?

Saat malam semakin larut, Rael menemukan dirinya di sebuah gudang tua, tempat di mana dia bisa menyusun rencana. Namun, ketenangannya tak bertahan lama. Dalam hitungan detik, tiga pria bertopeng menyerbu masuk. Mereka bukan pembunuh biasa. Gerakan mereka cepat, terlatih. Rael harus berpikir cepat.

Dua tembakan, dua jatuh. Pria terakhir menyerang dengan belati, tetapi Rael lebih cepat. Dengan satu gerakan licin, dia membalikkan serangan dan menusuk pria itu tepat di jantungnya.

Saat tubuh musuh terakhir ambruk, sebuah suara mengganggu keheningan.

"Kau lebih lambat dari yang kuduga."

Rael menoleh, senjatanya terangkat. Di ambang pintu, berdiri Veyla Noir, tidak terluka, tidak terguncang. Mata hijaunya berkilat dalam kegelapan.

"Kau seharusnya sudah mati," geram Rael.

"Dan kau seharusnya lebih pintar sebelum menerima misi ini," balas Veyla sambil tersenyum tipis.

Sebelum Rael sempat menembak, lampu gudang mendadak padam. Dalam hitungan detik, suara tembakan terdengar dari luar.

"Mereka datang lagi," bisik Veyla. "Jika kau ingin jawaban, ikut aku."

Rael ragu. Wanita ini adalah targetnya. Tapi sesuatu dalam dirinya tahu: ini lebih dari sekadar kontrak pembunuhan biasa. Dan mungkin, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia telah menjadi bagian dari permainan yang jauh lebih besar dari yang ia sadari.

Tanpa pilihan lain, Rael mengikuti Veyla ke dalam bayangan.

Dan petualangan yang lebih gelap baru saja dimulai.

Rael melompat dari jendela gedung tinggi dengan refleks seorang pemburu yang terlatih. Di belakangnya, ledakan susulan mengguncang struktur bangunan, meruntuhkan bagian atasnya seperti kartu domino. Api dan debu mengepul ke langit malam Tokyo, membuat suasana semakin kacau.

Dia mendarat dengan mulus di balkon gedung seberang, lututnya sedikit menekuk untuk meredam hentakan. Namun, sebelum bisa menarik napas, peluru meluncur, hampir mengenai pelipisnya. Refleks cepatnya menyelamatkan nyawanya, tetapi dia tahu ini bukan kebetulan. Seseorang mengincarnya dan mereka tahu persis gerakannya.

"Sial," gumamnya, menarik pisau lempar dari sabuknya dan melemparkannya ke bayangan yang mengendap di atap gedung lain.

Jeritan singkat terdengar sebelum tubuh penyerang itu jatuh menghantam jalanan.

Rael tidak membuang waktu. Dia tahu ini lebih besar dari sekadar pembunuhan berencana. Seseorang telah memasangnya dalam jebakan, dan lebih buruk lagi, Veyla Noir bukan hanya target biasa.

Tapi siapa dia sebenarnya?

Di saat pikirannya berusaha memahami teka-teki ini, telinganya menangkap suara langkah ringan mendekat. Rael berbalik cepat, pisaunya siap menebas

"Berhenti di situ, Azraq."

Veyla Noir berdiri di sana, mengenakan hoodie hitam dengan darah menetes di lengannya. Matanya tajam, penuh perhitungan.

"Kau tidak ingin membunuhku," katanya dengan nada penuh kepastian.

Rael menegang. Instingnya mengatakan untuk menghabisi target ini, tetapi sesuatu menahannya.

"Katakan kenapa aku tidak seharusnya menarik pelatuk malam ini," suaranya dingin, tapi Veyla hanya tersenyum samar.

"Karena kalau kau membunuhku, kau tidak akan pernah tahu siapa yang telah mengkhianatimu."

Rael menahan napas. Itu bukan ancaman. Itu adalah kebenaran yang membuat bulu kuduknya berdiri.

Seseorang telah menjebaknya. Seseorang di balik layar ingin mereka berdua mati.

Dan satu-satunya cara untuk menemukan jawabannya adalah bekerja sama dengan wanita yang seharusnya sudah ia habisi.

Tapi apakah dia bisa mempercayainya?

Dalam dunia bayangan, tidak ada teman, hanya musuh yang belum menikammu.

Namun, dalam kegelapan, terkadang satu-satunya cahaya berasal dari tempat yang paling tidak terduga.

Tokyo belum pernah terasa setegang ini. Di gang sempit yang remang, Rael berdiri berhadapan dengan Veyla. Tangan kanannya masih menggenggam pisau, tapi pikirannya sudah jauh berlari, mencerna setiap kemungkinan.

"Jelaskan," ujarnya dingin.

Veyla menyeringai. "Kalau aku bisa memprediksi gerakanmu, kau pasti sadar seseorang sudah memberiku informasi. Tapi apakah kau tahu siapa?"

Rael tidak menjawab. Otaknya bekerja cepat. Tim elitnya dulu, orang-orang yang ia percayai dalam bayang-bayang? Tidak mungkin.

Veyla mendekat selangkah. "Kau bukan satu-satunya yang mereka jebak, Azraq."

Rael menyipitkan mata. "Mereka?"

"Seseorang mengendalikan permainan ini. Kita bukan pemain utama. Kita hanya bidak yang sudah ditentukan kapan akan mati."

Rael mencengkeram pisaunya lebih erat. Ia benci permainan semacam ini. "Kenapa mereka mengincarmu?"

"Karena aku menyimpan sesuatu yang bisa menjatuhkan mereka."

Suara sirene polisi menggema dari kejauhan. Rael tahu mereka tidak punya banyak waktu. Jika dia ingin bertahan hidup, dia harus memilih: tetap menjalankan misi dan membunuh Veyla, atau membongkar konspirasi ini bersama wanita yang bisa jadi lebih berbahaya daripada musuhnya sendiri.

Tapi sebelum dia bisa memutuskan, sesuatu terjadi.

"Kita harus pergi," bisik Veyla.

Rael menoleh dan melihatnya. Di kejauhan, seseorang berdiri di atas gedung dengan sniper terarah pada mereka.

DOR!

Peluru melesat ke arah mereka. Rael bereaksi cepat, menarik Veyla ke samping. Mereka jatuh berguling ke tanah, menghindari maut hanya dalam sepersekian detik.

"Sial!" geram Rael.

Veyla menariknya berdiri. "Aku tahu tempat yang aman. Tapi kau harus percaya padaku."

Rael menatapnya tajam. Dalam hidupnya, kepercayaan adalah sesuatu yang berbahaya.

Tapi kali ini, dia tidak punya pilihan lain.

Tanpa berkata apa-apa, mereka berlari ke dalam bayang-bayang malam.

Di balik mereka, seseorang berbicara melalui radio, suaranya dingin dan penuh kepastian.

"Target belum mati. Operasi terus berjalan. Kirim tim eksekusi."

Malam baru saja dimulai. Dan mereka belum tahu neraka macam apa yang akan mereka hadapi.