8. Lima Elemen
Sarritha membiarkan pikirannya mengembara ke mana-mana Butuh beberapa saat tetapi dia berhasil mengosongkan benaknya.
Akhirnya Thozai berkata, “Dalam darahmu mengalir jiwa seorang pejuang dan bukan hanya seorang penjaga kerajaan. Kau tahu semua yang perlu kau ketahui. Senjatamu adalah sekutumu yang terpercaya dan kudamu adalah teman terbaikmu. Alam sekitar adalah pelindungmu.”
Thozai mengulanginya berkali-kali hingga suaranya terdengar memudar. Kemudian, seolah-olah dibawa angin sepoi-sepoi, Sarritha nyaris tidak mendengarnya.
“Kau tahu ke mana harus pergi.”
Sarritha merasa dirinya melayang. Hari sudah malam. Kegelapan menyelimuti di sekelilingnya, tapi dia tetap tenang.
Lalu semuanya berubah dengan sangat perlahan. Kegelapan menjadi terang dan segala sesuatu di sekitarnya sedang dibentuk menjadi sesuatu.
Dia berada di tengah ladang dengan rumput panjang, tetapi rumputnya mengering. Angin sepoi-sepoi dan matahari terasa lembut di kulitnya. Lalu Thozai muncul entah dari mana.
“Di mana kita?” tanyanya mulai khawatir.
“Tenang,” jawab Thozai dengan suara lembut sambil melihat ke cakrawala. Sepertinya badai sedang terjadi di kejauhan.
Sarritha menarik napas dalam-dalam dan melihat bahwa badai itu mereda.
“Bagus,” Thozai tersenyum. “Ayo, kita akan jalan kaki.”
Dia menarik lengan Sarritha dan mulai berjalan.
“Kita mau ke mana?” tanya gadis itu.
“Sungguh Sarritha, bisa tidak kamu tutup mulut setidaknya lima menit sebelum mengatakan sesuatu?”
Sarritha tahu Thozai tak butuh jawaban, maka dia hanya diam. “Kita akan menemui teman-temanmu.”
Sarritha ingin mengatakan sesuatu, tetapi dia memilih untuk diam.
Mereka berjalan selama hampir satu jam atau mungkin lebih, tetapi Sarritha tak bisa menebak karena matahari tak bergerak. Thozai tampak tenang, membuat Sarritha iri padanya.
Lalu mendadak Thozai -tiba berhenti.
“Kau harus pergi sendiri,” katanya sambil melepaskan pegangan Sarritha dari lengannya. “Mereka telah menunggumu.”
“Guru mau ke mana?” Sarritha bertanya setenang mungkin.
“Aku akan berada di sisi ini. Kamu bisa melihatku dari sana,” jawab Thozai sambil menunjuk. Ketika Sarritha menoleh ke arah itu, dia melihat sekelompok gadis. Dia kembali menoleh ke arah Thozai dan melihat sorot mata meyakinkan di matanya.
Tanpa berkata-kata lagi, Sarritha berjalan menuju kelompok itu. Saat dia mendekat, salah satu dari mereka melihatnya terlebih dahulu, kemudian yang lain ikut menatapnya.
Dia terus berjalan ke arah mereka dan akhirnya bisa melihat wajah mereka. Dia sedang melihat lima kembaran dirinya, kecuali rambut mereka seluruhnya putih.
Salah satu dari mereka datang menemuinya. Dia dan gadis itu saling memandang. Sarritha berdiri diam ketika yang lain berjalan di sekelilingnya dan kemudian dia menyentuh rambutnya dan datang dan berdiri di depannya.
“Kenapa rambutmu ada putih-putihnya?” Sarritha mendengar gadis itu bertanya.
“Sudah seperti itu sejak aku bisa mengingat,” Sarrita menjawab. Senyum perlahan berkembang dari gadis yang berdiri di depannya.
Dia menoleh ke yang lain dan berseru, “Dia sudah kembali. Ayo, beri salam.” Kemudian kembali menoleh ke Sarrlita dan berkata, “Aku Aghea dari Bumi.”
Yang lain datang mengelilinginya dan mulai memperkenalkan diri mereka satu per satu.
“Aku Fenisha dari Api.”
“Aku Aqilla Air.”
“Aku Luminna Cahaya.”
“Dan aku Darshia dari Gelap.”
Aghea bertanya, “Dan kamu adalah ... ?”
“Sarritha,” jawabnya terkejut karena suara dan dan wajah mereka yang mirip dengannya.
“Hanya Sarritha?” salah satu dari mereka bertanya tidak percaya.
“Tidak, Sarritha Fis.”
“Dari apa?”
“Anak-anak,” Aghea menyela, “Dia baru saja tiba. Bisakah kita setidaknya menyambutnya terlebih dahulu sebelum mengajukan pertanyaan?”“
Mereka kembali ke tempat semula mereka berdiri. “Maaf, ya. Mereka suka bertanya yang aneh-aneh kalau ada orang baru. Biasa, ingin tahu segalanya pada pertemuan pertama.”
“Kamu siapa?” Sarrita bertanya.
“Rasanya tadi aku sudah jawab, lo. Namaku Aghea,” katanya lalu menoleh ke yang lain.
“Beri tempat,” dia memerintahkan dan yang lain menyingkir.
Sarritha memperhatikan dengan rasa ingin tahu. Aghea bergabung dengan yang lain dan mulai berkonsentrasi. Tiba-tiba dia merasakan bumi bergetar dan tanah perlahan naik. Sebuah batu halus mulus muncul dan kemudian berhenti ketika mencapai ketinggian meja. Kemudian yang lebih kecil muncul. Setelah selesai, yang lain duduk. Aghea menariknya ke salah satu kursi batu.
“Bagaimana kamu melakukannya?” Sarrita bertanya.
“Bagaimana aku apanya?” Aghea bertanya dengan mimik lucu. Yang lain di sekeliling meja tertawa. “Kami semua bisa mengendalikan elemen.”
Dia melihat ekspresi bingung di wajah Sarritha.
“Rambut,” dia menunjuk yang lain. “Menunjukkan bahwa kita memegang kendali penuh atas kekuatan kami.”
“Kekuatan?” Sarritha berseru kaget.
“Ya. Kekuatan.” Aghea menyipitkan matanya. “Kamu harus punya kekuatan. Kamu adalah salah satu dari kami.”
“Tidak, aku tak punya. Aku baru saja sampai. Aku bahkan tidak tahu di mana ini.”
Sarritha mulai panik. Awan badai kembali muncul di cakrawala dan menuju ke arah mereka. Aghea meraih tangan Sarritha dan rasa tentram yang aneh menguasainya. Dia merasakan bumi bergetar kecil di kakinya.
“Sarritha, tidak perlu takut.”
Dia menatap mata Aghea.
“Kita berteman.”
“Di mana aku?” tanyanya.
“Kita ada di pikiran kita.”
“Pikiran kita?”
“Ya, pikiran kita. Kami adalah kamu dan kamu adalah setiap dari kami.”
“Tidak,” katanya sambil berdiri dan melepaskan tangannya dari genggaman Aghea. “Aku Sarritha.”
“Dan aku Aghea, itu Feshia, Luminna, Aqilla dan Darshia.”
Badai datang menghampiri.
Guntur dan angin kencang bertiup di sekitar mereka. Aghea mencoba mengatakan sesuatu padanya. Mereka mulai berpegangan tangan, tetapi Sarritha takut.
Angin badai membawanya naik, dan dia merasa dia naik lebih tinggi dan lebih tinggi, lebih cepat dan semakin cepat.
Dia berteriak—
Dan tiba-tiba Sarritha duduk, menemukan dirinya di tempat tidur yang aneh. Dia melihat sekeliling ruangan dan melihat pakaian yang tergantung di lemari.
Seragam Thozai.
Dia melompat dari tempat tidur dan berlari keluar. Matahari bersinar di timur tanda saat itu pagi hari.
Dia pergi ke kandang dan mengambil kudanya, memasang pelana dan menaikinya, lalu bergegas pulang ke rumah.
Dia menemukan rumahnya kosong. Di kamarnya, dia memeriksa dirinya di cermin dan tidak bisa melihat adanya perbedaan. Butuh waktu satu jam lagi untuk memutuskan pergi dan bertanya pada Thozai apa yang terjadi.
Ketika Sarritha sampai di kastil Ratu, dia diberitahu bahwa Thozai sedang berada di arena tempat orang-orang mendaftar. Antrean panjang mengular, tetapi Sarritha tidak bergabung. Sebaliknya, dia berjalan melewatinya barisan dan langsung menuju meja tempat Thozai duduk. Gurunya mendongak dan melihat tetapi tidak mengatakan apa-apa. Yang lain di barisan mulai mengeluh, tetapi dia mengabaikan mereka.
“Saya perlu bicara dengan Anda, Guru.”
“Bicaralah.”
“Secara pribadi,” katanya pelan tapi tegas.
Thozai berdiri dan memberi isyarat kepada seseorang untuk menggantikannya. Thozai mengikutinya dan entah untuk apa, memberikannya busur dan anak panah.
Sarritha pikir itu hanya untuk penampilan.
“Bidik dan panah sasarannya.”
Sarritha melakukan perintahnya dan kemudian berbalik menghadap Thozai.
“Apa yang ingin kau bicarakan?” pria itu bertanya sambil menyerahkan anak panah lain padanya.
“Bagaimana saya bisa terbangun di tempat tidur Anda?” dia mengarahkan anak panah dan menembaknya, lalu berbalik ke arahnya lagi.
“Langsung ke intinya, ya?” Thozai mengerutkan kening sambil memberinya panah lain. “Aku yang membawamu ke sana.”
“Dan di mana Guru tidur?” tanya Sarritha sambil melepaskan anak panah lagi.
“Di kursi.”
Anak panah lagi.
“Apa yang guru lakukan pada ... ku?” Anak panah terbang menuju sasaran.
“Tidak ada.” Anak panah lagi.
“Guru yakin?” tanyanya sambil menaikkan sebelah alisnya. Panah terbang lagi.
“Ya, aku yakin. Menurutmu, apa yang terjadi?” Thozai menyerahkan anak panah lagi.
“Tidak ada.” Tembakan lain tepat sasaran.
Thozai sekali lagi menyerahkan anak panah padanya.
Aku mengharapkan kau untuk tidur selama satu atau dua hari,” katanya.
Sarritha menurunkan lengannya dan berbalik untuk menatapnya. “Apa artinya itu?”
Thozai menunjuk ke sasaran. Sarritha melepaskan tembakan lagi.
“Kau bertemu dengan rohmu, kan?”
“Ya, aku bertemu roh-rohku, kalau memang mereka semua adalah rohku.”
Hilang sudah kata “saya” berganti aku.
Sarritha menerima anak panah lagi yang disodorkan Thozai. “Kamu ada di sana. Kamu melihat mereka.”
“Anda” berganti “kamu”.
“Tidak, aku tidak ada di sana.” Thozai menyerahkan anak panah lain.
“Ya, kamu ada, kok,” Sarritha bersikeras. Dia mengambil panah ketika Thozai menatapnya dengan tatapan ganjil, lalu menembakkannya.
“Kalau aku ada di sana, maka aku adalah bagian dari imajinasimu. Aku tidak bisa masuk dalam pikiranmu.” Dia menyerahkan panah lain padanya.
