7. Di Kediaman Thozai
Berita tentang kompetisi petarung yang diadakan Kendida menyebar dengan cepat sebelum Thozai membuat pengumuman resmi. Dalam waktu dua jam, kabar tersebut telah sampai ke kastil Angrokh dan sampai ke telinga Sarritha.
“Kamu murid Thozai, bukan?” seseorang bertanya padanya.
“Ya,” jawabnya.
“Saya mendengar bahwa Anda pasti akan mengikuti kompetisi.”
“Dari mana Anda mendengar itu?” Sarritha bertanya dengan rasa ingin tahu.
“Kabar angin. Apakah Anda siap?” dia ditanya.
“Siap untuk apa?”
“Anda akan menghadapi orang-orang yang telah berlatih sepanjang hidup mereka. Anda harus siap. Mereka akan membantai Anda.”
Sarritha jadi bertanya-tanya apakah hal itu benar. Dia menunggu dan setiap menit yang berlalu membuatnya semakin khawatir. Thozai tidak muncul untuk melatihnya. Dia mengira Thozai pasti sibuk dengan rencana kompetisi. Gadis itu menjadi sangat gugup sehingga setiap kali seseorang memanggil namanya dia menjadi terkaget-kaget.
Angrokh memperhatikan kegelisahan Sarritha dan memanggilnya setelah dia membawakan beberapa buku yang dimintanya. Sarritha terkejut dan buru-buru berbalik.
“Ya, Tuan?”
“Apa yang terjadi?” tanya Angrokh. Dia tahu bahwa Sarritha mungkin merasa aneh bahwa dia selalu mengkhawatirkannya,tetapi Sarritha tak pernah mengomentarinya.
“Saya mendengar bahwa ada kompetisi di arena Ratu dan saya ingin mengikutinya.”
“Kompetisi tentang apa?”
“Pengumumannya belum dibuat secara resmi, tetapi apa yang semua orang katakan kepada saya adalah bahwa saya pasti akan tampil.”
“Aku belum pernah mendengar hal seperti itu. Zorth?” Angrokh berseru. Penjaga pribadinya datang ke ruang baca. “Kamu pernah mendengar sesuatu tentang kompetisi?”
“Sudah, Tuan,” jawabnya.
“Apa yang kamu dengar?” Angrokh bertanya dengan tidak sabar.
“Siapa saja boleh mendaftar untuk bersaing. Kompetisi akan dimulai dalam seminggu dan pemenangnya akan melawan Kinan, tetapi ada hadiah lain sebelum itu.”
“Apa yang kamu dengar tentang Sarritha di sini?”
Zorth menatap Sarritha dengan cemas dan akhirnya berkata, “Katanya Ratu meminta agar dia disertakan dalam kompetisi.”
Sarritha terhuyung dan ambruk di kursi yang paling dekat dengannya dan menarik napas dalam-dalam beberapa kali.
“Siapa yang menyelenggarakan kompetisi ini?”
“Thozai Svardan, Tuan. Dia diharapkan membuat pengumuman malam ini.”
“Terima kasih, Zorth.”
Penjaga itu pergi.
Bolehkan saya bebas tugas di perpustakaan sampai setelah kompetisi selesai, Tuan?”
“Kamu akan bertanding?” Angrokh bertanya. tak percaya dengan apa yang keluar dari bibir Sarritha.
Betul, Tuan. Kalau Ratu dan guru saya berpikir bahwa saya siap, maka saya harus siap.”
“Ratu mungkin mengadakan kompetisi ini sebagai tipu muslihat untuk membuatmu terbunuh.”
“Kalau begitu sebaiknya saya tidak terbunuh. Bolehkan saya cuti selama dua minggu, Tuan?”
“Tentu saja.”
Thozai menatap Sarritha yang merunduk sambil berjalan mundur meninggalkan ruang baca.
Dia bertanya-tanya dalam hari, ke mana gadis itu akan pergi, tetapi toh nanti akan ada yang melaporkan kepadanya.
Menurut telik sandi, setiap pagi Sarritha berlatih di bawah bimbingan Thozai. Sejauh ini Thozai hanya mendorongnya dengan keras tetapi Sarritha sepertinya mampu mengikutinya. Dia berlari setiap hari di pagi dan kemudian datang bekerja. Kapan pun Thozai merasa perlu, dia akan datang menjemput Sarritha dari perpustakaan.
Sarritha tampaknya semakin baik dalam pertempuran, menurut mata-matanya. Dan sekarang dia akan mengikuti kompetisi. Angrokh tahu gadis itu sama sekali belum siap. Dalam pikirannya obsesi Kendida terhadap Thozai mungkin menjadi penyebab kompetisi aneh ini.
***
Sarritha langsung pulang setelah meninggalkan ruang baca Angrokh. Dia menunggang kudanya dan pulang. Kemudian mengambil senjata dan menuju ke arah yang biasanya Thozai tuju.
Dia tidak tahu apa yang dia lakukan, tetapi Saaritha tiba dirinya di kediaman Thozai. Sarritha hanya tahu bahwa itu adalah rumahnya.
Tidak terlihat sesuatu yang istimewa dari luar, tetapi dia bisa bertaruh ada sesuatu yang luar biasa di dalamnya. Sarritha turun dari kuida dan berjalan mengitari rumah.
Dia menemukan sebuah kandang di belakang rumah dan mengikatkan tali pelana kudanya di dalamnya. Di belakang rumah itu berbeda dengan rumah-rumah lainnya. Ada tiang-tiang yang sepertinya digunakan untuk latihan sasaran. Tambalan bundar yang jelas di rumput, tetapi dia tidak tahu untuk apa.
Sarritha mengambil busur dan anak panah dan mencoba untuk menyasar tiang yang terdekat dengan rumah. Sarritha sudah mahir menggunakan panah dan selalu mengenai sasaran. Akhirnya dia bosan dan pergi untuk memastikan kudanya cukup makan, lalu duduk tertidur di depan rumah.
Malam turun dan Sarritha terbangun oleh suara langkah kaki. Dia duduk dan melihat Thozai mendekat lalu melompat turun dari kuda.
“Seharusnya aku sudah mengira kalau kau ada di sini,” kata Thozai sambil menuntun kudanya ke kandang.
Sarritha tetap di tempatnya sampai pintu terbuka di belakangnya.
“Masuk,” kata Thozai membiarkan pintu terbuka.
Sarritha masuk ke rumah dan bertanya-tanya bagaimana gurunya bisa menyalakan lentera begitu cepat. Dia menutup pintu di belakangnya dan melihat pria itu menyalakan api di perapian.
“Duduklah,” katanya, lalu menghilang lagi.
Sarritha duduk dan memperhatikan api yang menyala. Dia tak sadar ketika Thozai kembali.
Gurunya meletakkan piring dan sendok di depannya.
“Kau belum makan, kan?”
“Belum,” jawabnya melirik ke piring. “Apa ini?” dia bertanya. Sarritha belum pernah melihat yang seperti itu sebelumnya.
“Makanan sederhana dari tempat asalku.” dia mengambil sesendok mi dan memperhatikan Sarritha. Gadis itu mengambil setengah sendok dan dia mencicipinya. Sepertinya menyukainya.
Akhirnya setelah makan setengah piring, Sarritha menoleh ke arah Thozai, “Mengapa saya harus mengikuti kompetisi ini?”
“Dia pikir kamu sudah siap,” jawaban singkat dari gurunya. Dia berdiri di dekat perapian dengan piring hampir kosong.
“Mengapa Ratu berpikir begitu?” Sarritha bertanya sambil menatap piringnya.
“Karena kau belum berhenti.”
“Jadi ini cara Baginda Ratu untuk menyingkirkan saya.”
Thozai tertawa untuk pertama kalinya. “Dia bukan mau menyingkirkanmu. Dia hanya berpikir bahwa kau sudah siap dan akan bertahan dalam kompetisi ini.”
Thozai menunggu, tetapi Sarritha tidak mengatakan apa-apa lagi.
“Dia tidak mengharapkan kau untuk menang.”
“Semua orang tampaknya berpikir bahwa dia ingin saya mati dan saya cenderung setuju dengan mereka.” Dia menatap Thozai. “Apakah Anda berselingkuh dengannya?”
“Jawaban apa yang kau harapkan?”
“Ya. Tidak ada lagi yang bisa menjelaskan ketertarikannya pada Anda.”
“Tidak, aku tidak berselingkuh dengannya.”
“Apakah guru pernah menciumnya?”
“Tidak.” Thozai melihat kelegaan di wajah Sarritha sebelum dia berkata, “tapi dia pernah menciumku.”
Thozai meletakkan piringnya, mengabaikan ekspresi bertanya di wajah Sarritha. Tapi dia melambaikan tangannya menyuruh gadis itu menunggu sebelum lanjut berkata, “Dia pikir aku orang lain. Itu salah paham.”
“Dia tidak pernah mencium Anda lagi?” Sarrita bertanya.
“Tidak.” Thozai menatapnya, “Kau mau minum?”
“Ya, air.”
Thozai membawa piring ke dapur dan kembali dengan dua buah cangkir, menyerahkan satu untuk Sarritha. Gadis itu menerimanya sambil menatap Thozai.
“Mengapa Anda begitu baik padaku?”
Thozai berpikir sejenak, seolah bertanya-tanya apa jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu.
“Kau ada di rumahku. Apa yang membawamu ke sini?”
“Saya sudah meminta cuti agar saya bisa berlatih minggu ini dan siap untuk kompetisi minggu depan. Apakah Anda memiliki sesuatu yang bisa saya gunakan dalam kompetisi?”
“Kau tahu aturannya?”
“Tidak, saya ada di sini sewaktu pengumuman.”
“Aturan pertama, tidak boleh ada kecurangan.”
Sarritha mengerutkan kening. ]“Aku tidak bisa memberitahumu apa pun yang akan membuatmu diuntungkan melawan yang lain.”
“Tapi ini aturan Anda. Tidak bisakah guru membengkokkannya sedikit?” tanya Sarrita.
Thozai menggelengkan kepalanya. Sarritha mengetuk-ngetukkan kakinya ke lantai.
“Kau tidak tahu cara bersantai, ya?”
“Tidak kalau saya sedang gugup.”
“Duduk di lantai dan lipat kakimu.”
Thozai duduk di seberangnya.
“Kau harus santai. Kau sudah tahu semua yang perlu kau ketahui, tapi begitu kau mulai gugup maka kau akan lupa semuanya. Yang harus kau lakukan hanyalah menjaga agar tidak terluka parah dan mencoba yang terbaik untuk tetap bertahan dalam kompetisi. Tutup matamu sekarang.”
Sarritha memejamkan mata
“Berhenti berpikir. Dengarkan suaraku, tetapi jangan memikirkannya. Jangan menjawab pertanyaan apa pun dalam pikiranmu, jangan berpikir untuk mengungkapkan apa yang kau rasakan dengan kata-kata. Yang aku ingin kam lakukan adalah ikuti kata-kataku. Kalau aku merendah, kau turun. Kalau suaraku naik, kau berdiri. Kosongkan pikiranmu.”
Kemudian Thozai terdiam cukup lama. Sarritha mulai khawatir kalau dia tidak akan mengatakan apa-apa.
“Berhentilah berpikir, Sarritha, kau menggangguku.”
Sarritha malah berpikir. Katakan sesuatu...
“Jangan,” kata Thozai dengan nada jengkel.
