Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

6. Kompetisi

Kuda-kuda dibawa ke istal dan keduanya berjalan ke kastil. Para penjaga memberi hormat kepada Thozai di setiap belokan dan memandang Sarritha dengan rasa ingin tahu. Akhirnya mereka memasuki sebuah ruangan besar yang terang benderang. Tampaknya itu adalah ruang dansa untuk mengadakan pesta resmi, tetapi lantainya ditutupi dengan bahan lembut yang bisa dia rasakan di bawah kakinya.

Tiba-tiba mereka berhenti. Thozai menoleh padanya.

“Aku akan mengajarimu dasar-dasar bela diri, kuda-kuda, bertahan, menendang, memukul dan sebagainya. Terserah kau untuk memanfaatkan keterampilan lainnya. Aku tidak akan mengajarimu taktik...”

“Kenapa tidak?” Sarritha menyela.

Ada kilat di mata Thozai.

“Karena kalau aku mengajarimu taktik, kau akan bertarung dengan cara yang sama setiap saat. Jangan menyela. Kau akan menggali buku-buku di perpustakaan dan membaca semua tentang taktik berperang. Aku juga akan membawakanmu beberapa buku dari perpustakaan ratu. Kau akan ke lapangan dan mempraktikkannya, dan aku ingin melihat tiga jurus dipraktikkan setiap hari dengan sempurna.”

“Tiga jurus?” Sarritha bertanya tidak percaya.

“Kamu mau aku menambahkan lebih banyak?” tanya Thozai, terdengar sangat kesal.

“Tidak, tiga cukup,” jawab Sarritha pelan.

Thozai mulai mengajarinya cara berdiri, menangkis, mengelak pukulan, dan beberapa hal kecil lainnya.

Lalu akhirnya dia bertanya, “Aturan nomor satu?”

“Bergerak cepat?” Saritha balas bertanya karena tidak yakin pada dirinya sendiri.

“Harus yakin dengan jawabanmu,” Thozai memarahi. “Aturan nomor dua?” dia lanjut bertanya.

“Tidak ada interupsi,” jawab Sarritha, kali ini dengan percaya diri.

“Aturan nomor tiga?” tanya Thozai lagi.

“Guru, Anda tidak memberi tahu saya aturan nomor tiga.”

Thozai menampar pipi Sarritha secepat kilat meski tak sampai menyakitkan.

“Siaga,” katanya kemudian tamparan cepat lainnya di pipi satu lagi.

Seorang pengawal kerajaan datang menonton.

Tamparan lain menyusul dan Sarritha terlalu lambat menangkis. Kemudian lagi dan lagi dan mulai menyengat karena pengulangan tamparan. Akhirnya dia berhasil memblokir satu dan setelah beberapa saat kemudian yang lain. kepercayaan dirinya mulai tumbuh.

Thozai melakukan hal yang tidak terpikirkan dengan mencoba menendangnya tetapi Sharrita berhasil menangkisnya.

Sarritha telah melihat kaki gurunya terangkat dari tanah.

Dengan satu putaran cepat, Thozai melontarkan pukulan keras dan menendang yang jika Sarritha gagal memblokirnya maka dia akan terluka. Sarritha mencoba untuk mengelak tetapi dia terjatuh ke tanah. Akhirnya, Thozai berkata, “Aturan nomor empat, serang lebih dulu.”

“Kenapa?” Sarritha, tergeletak di tanah bertanya.

Dia masih bingung apakah akan bangun dan menerima lemparan lain. Thozai maju bergerak tepat di sebelah kakinya.

“Untuk mendapatkan keuntungan. Untuk menempatkan lawan dalam posisi bertahan. Lawan akan sibuk berusaha. Kamulah yang membuat aturan.”

Sarritha menghela napas lelah. Dia mengulurkan tangannya supaya Thozai dapat membantunya berdiri. Thozai meraih tangannya, hendak menariknya ke atas ketika Sarritha menendang kakinya ke belakang dan malah menariknya ke bawah.

Thozai hampir jatuh tepat menimpa Sarritha, tetapi dia berhasil mengendalikan dirinya, jatuh di samping Sarritha. Mereka saling menatap. Jantung gadis itu berdetak kencang.

Ini bukan seperti yang diharapkannya.

“Bagaimana dengan jurus seperti itu?” Sarritha bertanya sambil menatapnya. Suaranya nyaris terdengar seperti bisikan. Mau tak mau dia membayangkan betapa dekatnya dia dan Thozai. Belum lagi aroma tubuhnya.

“Bagus, tapi aku akan jatuh menimpamu. Bagaimana itu bisa disebut jurus?”

Sarritha berpikir selama beberapa detik, lalu menjawab, “Jika saya bisa bergeser sebelum Anda jatuh, saya yakin saya akan bangun sebelum Anda.”

“Tapi kau tidak bergerak, bukan?” tanya Thozai sambil berdiri. Sarritha buru-buru bangun sendiri, tahu bahwa Thozai tidak akan membuat kesalahan yang sama dua kali.

Pengawal kerajaan yang menonton sadar bahwa dia sudah harus keluar dari ruangan.

***

Sarritha sangat bersyukur ketika pelatihan berakhir tepat setelah dua jam. Dia yakin tubuhnya akan memar kebiru-biruan pada hari berikutnya, tetapi saat ini dia harus pergi ke istana Angrokh dalam satu jam untuk bekerja.

“Bolehkah saya meminjam kudanya?” dia bertanya saat berjalan keluar dari gerbang kastil.

“Tentu, tetapi kau harus meninggalkannya di kastil Angrokh untuk latihan menunggang kuda.”

Setelah menjawab pertanyaannya, Thozai meninggalkannya sendirian. Sarritha berpikir pasti Thozai akan tidur setelah melatihnya. Dia sendiri akan bekerja keras di perpustakaan.

Sarritha pergi ke istal dan memasang pelana kudanya.

“Hai, Kuda,” dia tersenyum sambil berbisik. “Kamu adalah kuda yang sangat istimewa dan aku senang sekali mendapat kehormatan untuk menunggangimu.” Pelana sudah terpasang. “Aku ingin buru-buru pulang. Tolong jangan biarkan aku jatuh.”

Kemudian dia menendang rusuk hewan itu dengan tumit sepatunya dan keduanya melesat pergi.

Sarritha melewati orang-orang yang sedang berjalan menuju tempat kerja. Mereka mengawasinya saat dia melewati mereka dengan sangat cepat. Dia sampai di rumah dan mengikat kuda di jendela lalu mandi cepat. Memakai seragam penjaga buku dan keluar lagi.

Dia tidak punya waktu untuk hal normal, seperti berkuda di satu sisi bagai wanita umumnya. Sebaliknya, dia mengayunkan kakinya dan membalap angin menerbangkan rambutnya hingga kering.

Sarritha bahkan tidak tahu seberapa cepat dia melaju karena pikirannya tertuju pada tiga taktik setiap hari.

Di mana aku harus mendapatkan buku yang mengajarkan semua itu? Dia bertanya pada dirinya sendiri.

Memang Thozai mengatakan bahwa dia akan meminjamkan beberapa buku dari perpustakaan Ratu Kendida, tetapi dia tidak akan menunggu untuk itu.

Saat dia melesat melewati para penjaga di gerbang, mereka melihat seragam penjaga bukunya dan saling memandang dengan penuh tanda tanya.

Sarritha berhasil melewati pintu perpustakaan tepat waktu, dan tentu saja seperti biasa Angrokh sudah ada di sana. Dia meminta Sarritha menemuinya.

“Ya, Tuan,” Sarritha melapor ke ruang baca.

“Sarritha, aku sedikit mengkhawatirkanmu.”

“Mengapa, Tuan?” tanyanya. Sarritha bingung mengapa dia dipanggil ke sana.

“Apakah kamu sudah melihat cermin hari ini? Ini adalah hari pertama pelatihan dan matamu terlihat seperti mata beruang.”

“Oh!” hanya itu yang keluar dari mulutnya. Memarnya pasti sudah terlihat. “Guru memiliki cara mengajar yang aneh.”

“Jika dia terlalu keras padamu, aku akan memberi tahu ratu ...”

“Tidak, tidak, jangan,” kata Sarritha tiba-tiba. Hampir saja dia menampar mulutnya sendiri. “Tidak akan terlihat bagus jika saya mengeluh, Tuan.”

Angrokh mengamatinya lalu berkata, “Kalau dia sudah leterlaluan, kamu bisa datang kepadaku dan aku akan memastikan bahwa dia akan menjadi lebih lunak. Ngomong-ngomong kenapa dia memilihmu?”

“Saya benar-benar tidak tahu, Tuan,” jawab Sarritha sungguh-sungguh.

Angrokh mengangguk lalu melambaikan tangannya.

Di mejanya ada arsip Sarritha. Dia mencoba untuk melihat mengapa Thozai begitu tertarik pada gadis itu, tetapi dia tidak menemukan sesuatu yang tidak biasa tentangnya.

Mungkin dia harus melakukan apa yang dilakukan Nusvathi dengan mengirim mata-mata yang akan memantau pelatihan mereka. Angrokh tidak ingin berada di kegelapan lagi.

***

Selama dua bulan berikutnya Kendida berhasil menghindari Thozai. Dia mengirimnya untuk berbagai misi, membuatnya sibuk dengan segala macam tugas. Namun Thozai tidak bodoh. Dia tahu apa yang dilakukan Kendida dan akhirnya Thozai datang ke ruangan pribadinya. Meskipun penjaga telah diberitahu bahwa Ratu tidak ingin menemui pengunjung, Thozai memaksa dan penjaga melaporkan kepada Ratu.

Thozai diizinkan masuk.

“Menurutmu apa yang sedang kau lakukan?” begitu masuk Thozai langsung bertanya tanpa basa- basi lagi. Dia tidak peduli dengan kehadiran orang lain di ruangan itu, dan mereka tidak tahu apakah mereka harus pergi atau tidak.

“Thozai,” Ratu menyebut namanya, tetapi kali ini tidak menghampirinya. Dia hanya menatap melalui cermin.

“Aku sudah menduga kamu akan tahu, tapi ternyata aku salah.”

Tozai tidak menjawab. Dia hanya menatap Kendida dengan tatapan setajam mata panah.

Kendida memutuskan untuk mengubah topik pembicaraan.

“Aku ingin mengadakan kompetisi.”

“Seperti apa?”

“Bertarung, tentu saja!”

“Untuk apa?”

“Untuk siapa saja yang ingin ikut berkompetisi.”

“Apa hadiah utamanya?”

“Aku belum tahu.”

Kendida dia sejenak dan melihat ke bawah ke meja yang dia duduki.

“Pemenangnya akan menghadapi Kinan dalam pertarungan.!”

“Kau sudah gila, kau tahu itu,” kata Thozai perlahan.

“Aku yakin pikiranku lebih jernih hari ini daripada hari-hari kemarin,” katanya tanpa mengangkat kepalanya.

Thozai bergerak ke arahnya, tetapi Kendida mengangkat tangan.

“Jangan.” Kendida terdiam cukup lama sebelum berkata, “Kamu menaruh kepercayaan pada muridmu?”

“Terlalu dini baginya untuk menghadapi siapa pun dalam sebuah kompetisi.”

“Tetapi suatu saat pasti akan terjadi. Paling cepat seminggu dari sekarang dan jika dia ingin aku menerimanya, maka dia harus mencobanya. Ini akan memerlukan waktu sebelum Kinan dibolehkan untuk membuat kompetisi pertarungannya sendiri. Paling tidak lima tahun ke depan.”

“Baiklah. Aku akan membuat pengumuman dan siapa pun yang bersedia dan mampu akan diminta untuk mendaftar dalam waktu tiga hari. Kompetisi akan dimulai dalam seminggu.”

“Tidak ada kecurangan. Aku ingin kompetisi yang bersih. Setiap orang yang menang di berbagai tahap kompetisi akan ditugaskan untuk menjadi pengawal pribadi salah satu bangsawan. Atau jika tidak ada tempat lain, maka mereka akan diberikan tugas resmi dan medali kehormatan. Kamu siap untuk semua itu?”

“Ya, Yang Mulia.”

“Kalau begitu, mulailah membuat persiapan.”

Thozai berjalan ke pintu ketika Kendida memanggilnya kembali. “Aku lupa. Satu hal lagi, tidak boleh ada pembunuhan.”

Thozai berjalan keluar tanpa sepatah kata pun.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel