5. Pelatihan Perdana
“Apa artinya itu?” tanya Nusvathi.
“Tidak ada yang tahu,” Angrokh menjawab dan kemudian melihat ke mata Kendida. “Atau setidaknya aku pikir tidak ada yang tahu. Benarkah itu, Kendida?”
Kendida terdiam lama. “Garis keturunanku akan berakhir padaku ...”
“Dan Kinan akan mengambil alih.” Angrokh terdiam saat menyadari implikasinya. “Kendida, bukan salahmu bahwa susur galurmu akan pupus bersama—”
Kendida sudah berada di depan pintu dan kemudian keluar. Mereka tidak melihat senyum di wajahnya.
“Dia menyalahkan dirinya sendiri," kata Angrokh singkat.
“Apakah menurutmu itu sebabnya mengapa Thozai ada di sini? Dia masih mencoba.”
Angrokh menggelengkan kepalanya dengan sedih. “Dia pasti mengerti bahwa sudah terlambat untuk melakukan sesuatu.”
“Tapi mengapa Thozai tidak mungkin melakukannya? Kalau dia sesakti itu, bukankah dia mestinya bisa melakukan hal seperti mempunyai anak?”
“Aku tidak tahu banyak tentang penyihir kecuali apa yang ada di buku sejarah. Tetapi bahkan kalau sihirnya sangat kuat, dia tidak bisa mempunyai anak. Ada alasan mengapa mereka hanya bisa kawin dengan sesamanya. Anak-anak yang dilahirkan biasanya sangat kuat sehingga mereka membunuh ibunya saat mereka lahir. Dan kalau ibunya bisa bertahan hidup ... belum pernah terjadi.”
“Bagaimana kalau dia tidak tidur dengannya?”
“Kendida sudah lama tidak bersama suaminya,” kata Angrokh sangat yakin dengan apa yang keluar dari mulutnya.
“Tetapi untuk alasan apa lagi Thozai berada di sini? Kamu sendiri yang bilang bahwa penyihir sangat egois, segala sesuatu yang demi kepentingannya sendiri akan mampu membawanya ke sini dan menahannya di sini selama lima tahun ini.”
“Benar.”
“Haruskah kita melaporkan ini ke dewan?”
“Tidak, apa pun alasannya dia ada di sini, aku yakin itu tidak ada hubungannya dengan administrasi.”
Kamu harus berhati-hati, Angrokh.”
“Tentu.”“
“Atau sebenarnya kamu hanya khawatir dia mungkin tidur dengan Kendidamu tersayang.”
Angrokh menyipitkan matanya ke arah Nusvathi.
“Jaga mulutmu. Aku bisa menghancurkanmu,” suaranya sangat rendah namun dalam.
Nusvathi menunduk meminta maaf.
Tahta Nusvathi bukan bukan haknya. Orang-orang memilihnya di antara kandidat yang diajukan oleh Angrokh.
Secara keseluruhan, Angrokh memiliki kekuatan untuk menyingkirkan Nusvathi dari singgasananya.
***
Sarritha pulang dengan penuh semangat. Dia menemukan teman sekamarnya sedang duduk di ruang tamu. Mereka sedang mendiskusikan peraturan yang telah diberikan dalam pengarahan. Kailin sedang mempelajari etiket penghormatan yang baik dan Ynne membacakan sesuatu yang berkaitan dengan hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan di hadapan para tamu undangan.
Mereka mendongak saat Sarritha memasuki rumah.
“Kamu terlihat bahagia hari ini,” komentar Ynne.
“Kalian tidak akan pernah bisa menebak apa yang terjadi padaku hari ini,” kata Sarritha.
“Apa?” Kailin bertanya, tapi sebelum Sarritha menjawab, terdengar derap langkah kaki kuda tepat di luar rumah.
Mereka diam menunggu untuk mendengar apakah hewan tunggangan itu berhenti di depan rumah mereka atau rumah tetangga.
Terdengar suara pintu mereka diketuk. Sarritha yang paling dekat dengan pintu pergi untuk membukanya tetapi yang lain juga datang untuk melihat siapa itu.
Seorang pengawal kerajaan berdiri di luar.
“Apakah ini kediaman Sarritha Fis?” Dia bertanya.
“Ya,” jawab Ynne dari belakangnya.
“Sarritha Fis?” dia bertanya sambil menatap langsung ke Sarritha.
“Ya.”
Ada kelegaan dari mata pengawal itu.
“Tolong tanda tangan di sini,” katanya sambil menyodorkan papan dengan secarik kertas. Kertas sangat terbatas dan hanya digunakan untuk hal-hal penting atau beberapa orang yang sangat kaya.
Sarritha menandatangani namanya. Pengawal itu menyerahkan sebuah amplop dan dia hendak menutup pintu.
“Tunggu sebentar.”
Pengawal tersebut kembali ke kudanya dan mengambil pedang beserta sarungnya, busur, dan beberapa anak panah. Dia menyerahkan semuanya pada Sarritha.
“Ini sudah semua. Senang bertemu denganmu,” katanya, lalu meninggalkan mereka.
Sarritha membawa semuanya ke dalam rumah dan meletakkannya di atas meja. Ynne bertanya dengan rasa ingin tahu. “Ada apa? Mengapa dia memberimu semua ini?”
Sarritha tidak menjawab. Sebagai gantinya, dia membuka segel di amplop dan membacanya dengan Kailin dan Ynne di pundaknya.
Nona Fis,
Kamu sekarang adalah pemilik pedang, busur, dan anak panah. Mereka sepenuhnya menjadi tanggung jawabmu sekarang, dan jika kamu menggunakannya untuk melawan orang lain saat tidak dalam pelatihan, maka kamu akan dinilai tidak dapat melanjutkan jalanmu. Artinya, kamu tidak akan pernah bisa menjadi pengawal kerajaan seumur hidup.
Tentang pelajaranmu, besok, jam enam pagi, jangan membawa senjata apapun. Ini akan menjadi pertarungan tangan kosong. Aku harap kamu memiliki pakaian yang sesuai.
Thozai Svardan
“Thozai Svardan?” tanya Kailin.
“Jangan bilang bahwa Thozai Svardan yang menulis ini!” Ynne bertanya dengan berapi-api. Dia melihat jawaban di wajah Sarritha.
“Itu tidak adil. Seharusnya kami melihatnya lebih dahulu karena kami bekerja di kastil Kendida.”
“Manusia yang konon katanya hanya dengan senyumnya saja bisa membuatmu meleleh?” tanya Kailin akhirnya mengikuti percakapan mereka.
Sarrita mengangguk.
“Wow! Dia sendiri yang melatihmu?”
“Ya.” Sarritha sekarang tersenyum lebar.
“Apa yang kamu lakukan padanya sehingga dia memperhatikanmu, padahal gadis seperti kita bagai jarum di tumpukan jerami?” tanya Ynne.
“Aku tidak melakukan apa-apa. Dia mendekatiku dan bertanya apakah aku menyukai pekerjaanku. Dia pasti sudah membaca riwayatku.”
“Ya, pasti. Aku tidak melihat jalan lain sehingga kamu bisa seberuntung itu.”
Sarritha membawa senjata ke kamarnya. Dia menyuruh Kailin memberitahu Ynne untuk berhenti cemburu.
Sarritha mengunci diri di kamarnya dan meneliti senjatanya satu per satu. Dia mulai dengan pedang dan sarungnya. Dia meletakkannya di pinggangnya. Sangat serasi. Kemudian dia mengeluarkan pedang dari sarungnya. Tampaknya seperti baru, tapi dia tahu itu barang bekas. Calon penjaga kerajaan tidak pernah mendapatkan senjata baru kecuali membelinya sendiri.
Sarritha mengamati bilah pedang yang begitu halus sehingga dia bisa melihat bayangannya. Dia memeriksa gagangnya dengan hati-hati tetapi matanya tak luput melihat permata yang dipasang di situ. Pedang tersebut pasti milik seseorang yang penting atau yang punya banyak uang, sehingga mereka tidak keberatan dengan permata yang bagus di pedang.
Dia mengayunkannya beberapa kali dan menyukai rasanya. Dia meletakkannya kembali lalu melepaskan sarungnya dari pinggangnya.
Sarritha kemudian mengambil busur dan anak panah untuk merasakan kekuatan tali busur.
Dia menyukainya. Dia harus memiliki senjata yang bagus setidaknya, bahkan jika hanya berupa barang pinjaman.
Sarritha memperhatikan surat itu lagi dan memeriksa segelnya. Ternyata stempel Ratu.
Thozai pasti sangat dekat dengan Ratu Kendida untuk memakai stempel Ratu sesukanya. Tidak heran penjaga tampak ketakutan, pikirnya.
Dia melupakan pikiran itu dan membaca ulang suratnya. Ditulis dengan tulisan tangan yang indah seolah-olah telah berlatih selama bertahun-tahun hingga sempurna. Kata demi kata tersusun baik dan halus di lembar kertas, seolah-olah pikiran si penulis mengalir dengan mudah saat menuliskannya.
Sarritha memutuskan untuk memberikan surat itu kepada orang tuanya, memberi tahu mereka tentang keberuntungan yang didapatnya. Dia juga membutuhkan lebih banyak uang jika memungkinkan. Kemudian, dia bertanya-tanya apa yang akan dia kenakan untuk pertarungan tangan kosong. Dia punya untuk celana berkuda, tapi dia tidak bisa memakainya dan berjalan melintasi kota.
Sarritha memutuskan untuk memakainya di bawah seragam cokelat penjaga buku.
Dan di mana dia harus menemui Thozai pada pukul enam pagi? Sarritha tidur masih bingung memikirkan tentang itu.
Pagi-pagi sekali, dia berpakaian dan membuat sarapan untuk teman sekamarnya setelah bangun lebih dulu. Dia akan membereskannya, tetapi terdengar kaki kuda di luar berlari mendekat.
Sarritha membuka pintu dan melihat seorang penunggang kuda mendekat sambil menarik tali kekang kuda lain. Penunggang kuda itu datang dan berhenti tepat di depannya. Meski hanya dengan cahaya bulan sabit, sudah cukup terang baginya untuk melihat ciri-ciri orang tersebut, dan akhirnya suara itu membenarkannya.
“Kamu tahu cara menunggang kuda, bukan?” tanya Thozai.
“Ya, sedikit.”
“Lalu tunggu apa lagi?” Thozai bertanya dengan nada kesal.
Sarritha mempertimbangkan apakah dia harus menaiki kuda atau ... berbalik dan kembali ke rumah.
“Aku tidak punya waktu seharian, Nona Fis,” Thozai membentaknya dengan nada keras.
Di dalam rumah Kailin sudah terbangun. Dia berjalan ke ruang tamu dan menemukan Sarritha sedang mencopot seragam penjaga bukunya.
“Siapa di luar sana?”
“Aku tidak punya waktu untuk menjelaskan,” jawab Sarritha sambil melemparkan bajunya ke kursi.
“Harus buru-buru, sampai jumpa,” dan dia bergegas keluar.
Sarritha mengitari kuda dan menungganginya tanpa banyak kesulitan. Thozai menyerahkan kendali padanya dan kemudian kudanya mulai berlari kencang. Kuda yang ditunggangi Sarritha perlahan-lahan berlari, lalu dia berhasil mengejar kuda Thozai.
Sarritha hampir jatuh beberapa kali, tetapi berhasil bertahan. Setelah beberapa saat dia menyadari bahwa mereka menuju ke kastil Kendida.
Gerbang terbuka ketika mereka agak jauh dan hanya terbuka sedikit sehingga dia harus memperhatikannya dengan saksama.
Sepanjang perjalanan Thozai tidak berkata sepatah kata pun. Dia melambat dan tiba-tiba berhenti, tetapi tidak turun.
Lampu lentera di luar kastil menerangi jalan mereka.
Thozai mengamati Sarritha berjuang untuk menghentikan kudanya, dan akhirnya berhasil juga.
