Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

4. Kutukan Para Penyihir

“Kalian pasti tidak akan percaya apa yang baru saja dilakukan Thozai! Aku bersumpah, Kendida. Kamu kehilangan kendali atas hewan peliharaanmu itu.”

Nusvathi menyerbu ke dalam ruang belajar yang membuat Angrokh terkejut.

Angrokh menatapnya dengan cemas sementara Kendida bertanya dengan tenang, “Apa yang dia lakukan?”

“Dia menodongkan pedangnya ke leher seorang penjaga buku.”

Angrokh berbalik menatap Kendida dengan tatapan menuduh. “Kamu yang merencanakan ini?”

“Aku sudah memutuskan.”

“Aku tidak mengerti,” Nusvathi menyela.

“Kendida datang ke sini dan menjebakku untuk memihaknya ketika dia sudah membuat keputusan.”

“Apakah itu keputusannya atau keputusan Thozai?” Nusvathi bertanya sinis.

Angrokh menatap Kendida, tapi dia tidak menjawab pertanyaan tersebut.

“Thozai mengaturnya.”

“Apa maksudmu ‘mengaturnya’?” Angrokh bertanya, tetapi Kendida malah menatap Nusvathi.

Nusvathi menyadari bahwa dia telah menempatkan dirinya pada posisi yang dengan susah payah dia hindari.

“Aku mempunyai prasangka, jadi aku memata-matai dia dan memperhatikan bahwa Thozai melakukan sesuatu pada gadis penjaga buku, yang selalu kebingungan setiap kali Thozai pergi setelah menemuinya.”

“Apakah ini benar, Kendida?”

“Ya, tapi Thozai tidak melakukan apa pun untuk mengaturku.”

“Bagaimana kamu tahu?” Nusvathi bertanya. Pada saat yang sama Angrokh bertanya, “Apa sebenarnya yang dia lakukan?”

“Itu bukan urusan kalian,” jawab Kendida dan tiba-tiba berdiri. Kursi-kursi ini pasti tidak dirancang demi kenyamanan pemakainya, pikirnya.

Angrokh adalah orang yang berbicara selanjutnya, karena dia lebih terbiasa dengan temperamen Kendida.

“Kalau kau tidak memberi tahu kami apa yang sedang terjadi, kami terpaksa akan menghadapa dewan ....” Dia membiarkan kata-katanya menggantung.

Keheningan mencengkam mereka, tetapi apakah Kendida akan menerima ancaman itu yang membuatnya tak tertahankan. Ancaman itu benar-benar nyata kalau mendengar nada bicara Angrokh.

Kendida kembali duduk. “Dia sesuai untuk ambisiku.”

“Apa ambisimu?” tanya Angrokh.

“Kekuasaan.”

“Bagaimana tepatnya Thozai bisa membantumu? Kecuali....” suaranya terhenti lalu mulutnya menganga.

“Kecuali apa?” Nusvathi bertanya dengan tidak sabar. “Apakah dia merencanakan kudeta?”

Angrokh menoleh ke Nusvathi, “Kamu ingat tentang sejarah?”

“Sejarah tentang apa? Thozai?”

“Apakah aku satu-satunya di sini yang benar-benar membaca?” pertanyaan Angrokh secara retoris, “Aku sedang berbicara tentang sejarah para penyihir.”

“Yang aku ingat adalah apa yang kudengar sebagai dongeng pengantar tidur. Aku pikir itu hanyalah legenda.”

“Tidak.” Angrokh bersandar di kursinya, bersiap untuk memberi ceramah.

Kendida berusaha untuk tidak mendengarkan tetapi suara Angrokh selalu menarik perhatiannya.

“Apakah kalian ingat perang besar itu?”

“Yang termasyhur karena banyaknya korban yang dibantai?”

“Benar. Perang Besar terjadi dua kali. Perang pertama adalah koloni-koloni saling berperang. Semua ingin memenangkan perang karena itu mereka memutuskan untuk mencari sekutu. Pada masa itu para penyihir hidup bebas di antara mereka. Jadi orang-orang yang paling kuat didekati. Awalnya mereka mengatakan tidak, tetapi setelah diberitahu tentang manfaatnya bagi mereka sendiri, para penyihir setuju untuk membantu. Lihat, mereka secara alami egois dan tidak bisa menahan godaanya. Kelemahan itulah yang dimanfaatkan dan dengan demikian banyak yang mati.”

“Apakah mereka ikut perang?” tanya Nusvathi.

“Tidak, mereka melakukan lebih baik, atau lebih buruk menurut sudut pandang yang melihatnya. Mereka melatih para prajurit dalam seni perang dan mengajarkan semua yang mereka ketahui kepada mereka.”

Angrokh berhenti sejenak lalu menoleh ke Kendida, “Thozai selalu membuatmu menang, bukan?”

Kendida mengangkat bahu.

“Lagi pula, setelah melatih mereka, pada hari terakhir, penghuni koloni memberikan sebagian sari kehidupan kepada masing-masing dari mereka. Ini memberi penyihir kekuatan, kekuatan yang tak terbayangkan. Tenaga yang mereka miliki semakin diperbesar dan yang masih tersembunyi muncul ke permukaan.”

Dia menatap Kendida dengan dingin. “Setiap kekuatan memiliki kelemahan dan kelebihan, dan ketika kekuatan itu diperbesar, akan ada konsekuensi yang tidak terduga. Kekerasan, kurangnya kendali diri, emosi yang tidak terkendali, kecenderungan untuk merusak diri sendiri, dan masih banyak lagi. Singkatnya, banyak orang tewas mati sampai mantranya hilang. Kemudian mereka melihat kehancuran yang mereka sebabkan. Ketika dewan berkumpul, mereka memutuskan satu hal. Aku selalu bingung bagaimana mereka mencapai konsensus itu secara bulat,” katanya sambil berpikir. “Bagaimanapun, dewan memutuskan untuk menyingkirkan apa yang telah menyebabkan begitu banyak kehancuran. Bukan para prajurit yang melakukan perbuatan itu, bukan dewan yang memutuskan untuk mendapatkan bantuan, tetapi para penyihir yang memberi mereka kekuatan tak terkendali. Maka mereka diburu dan dibasmi satu per satu...”

“Aku pikir mereka adalah kelompok manusia yang paling kuat,” Nusvathi menyela.

“Koloni memang menjadi lemah ketika memberikan sebagian sari kehidupan yang memudakan penyihir. Yang mereka memiliki hanya keterampilan yang dibutuhkan dalam pertempuran. Tetapi sayangnya penyihir telah mengajari ‘musuh’ mereka semua.”

“Apa hubungannya ini dengan apa yang kita bicarakan?” tanya Nusvathi.

“Thozai Svardan adalah seorang penyihir!”

Nusvathi terlonjak ke belakang menghantam sandaran kursi, bahunya merosot dan tampak ketakutan yang nyata di matanya.

Angrokh mengira Nusvathi terdampak pernyataannya, tetapi Nusvathi malah bertanya, “Apakah dia di sini untuk membunuh kita sebagai pembalasan?”

“Dia tidak di sini untuk membunuh siapa pun,” bantah Kendida.

“Bagaimana kamu tahu? Mungkin dia di sini merencanakan hal itu.”

“Itu bukan karakternya,” bantah Kendida.

“Apa yang Kendida coba katakan adalah,” Angrokh menyela, “bukan karakter Thozai sebagai seorang penyihir yang ingin mendominasi. Mereka lebih memilih kehidupan yang sangat tertutup. Penyihir biasanya memiliki begitu banyak kekuatan yang tidak mereka gunakan.”

“Jika mereka tidak menggunakan kekuatan mereka, bukankah mereka seharusnya tidak aktif?”

“Berapa umur Thozai?” Angrokh bertanya pada Kendida.

“Dua ratus lima puluh tahun ini.”

Rahang Nusvathi hampir terlepas akibat menganga terlalu lebar.

Angrokh menoleh ke Nusvathi, “Thozai lahir jauh setelah perang besar yang berarti orang tuanya mungkin mengajarinya.”

“Bukankah dia mengajar anak-anaknya sendiri?”

Kendida tersenyum, “Dia tidak punya anak. Dia masih terlalu muda.”

Nusvathi kebingungan. Angrokh memutuskan untuk menjelaskan. “Penyihir memiliki garis waktu yang berbeda dengan kita. Dia mungkin berusia dua ratus lima puluh tahun. tetapi dalam arti sebenarnya dia mungkin baru mencapai dua puluh.”“

“Jadi dia baru saja menjadi dewasa!”

“Orang dewasa yang sangat bijaksana. Tentang penyihir memiliki anak adalah sangat rumit. Mereka hanya bisa kawin dengan penyihir wanita untuk bereproduksi. Setelah perang besar, banyak dari mereka tewas. Mendapatkan jodoh menjadi masalah besar.”

Angrokh berhenti. “Apakah kau tahu mengapa kita mendapatkan dia?” jarinya menunjuk Kendida. “Kita bisa memerintah koloni ini sendiri dan para jenderal bisa mengurus tentara.”

“Kenapa dia ada di sini?” Nusvathi bertanya dengan rasa ingin tahu.

“Karena untuk beberapa alasan yang tidak diketahui, garis keturunan Kendida memiliki hubungan yang tidak dapat dipahami dengan penyihir. Mereka saling merasakannya ketika berada di dekatnya. Kamu tahu kapan bagian terburuk datang? Ketika seorang penyihir melahirkan, para wanita di garis keturunannya mengetahuinya.” Dia berhenti lagi. “Aku yakin jika kita memeriksa kitab sejarah kerajaan, kita akan menemukan tanggal pasti Thozai lahir.”

“Kalian tidak diizinkan membaca kitab sejarah,” Kendida keberatan.

Nusvathi malah bertanya, “Apa yang terjadi kemudian? Ketika mereka melahirkan maksudku.”

Kendida menjawab, “Kami merasakan rasa sakit mereka. Setiap detiknya. Itu adalah kutukan yang ditimpakan penyihir pada leluhurku untuk menghentikan kami memburu mereka. Kita seharusnya mengalaminya seperti yang mereka alami. Aku selalu merasa itu sedikit empatik.”

“Apa yang berbeda dari cara mereka mengalaminya?”

Kendida merenung lama sebelum menjawab. “Sangat buruk. Dalam catatan yang aku baca, sangat sedikit dari kami yang selamat. Apa yang tidak mereka perhitungkan adalah bahwa kami sebagai keturunan akan lebih terdorong untuk menghentikan hal yang sama terjadi pada kami. Aku telah membaca buku harian para ratu sebelumku dan telah merasakan penderitaan mereka. Mereka mengalami rasa sakit itu dan pada akhirnya menyadari bahwa tidak ada anak yang dapat mereka sebut sebagai anak mereka sendiri. Jika mereka memiliki keberanian untuk terus memburu para penyihir, mereka harus tahu bahwa salah satu dari mereka bisa menjadi ibu atau ayah dari anak tersebut. Dan meskipun bertahan hidup, mereka tidak pernah melupakan pengalaman yang menyakitkan itu.”

“Pada hari penyihir lelaki melontarkan kutukan tersebut, penyihir wanita pasangannya mengucapkan mantra lain. Ada yang bilang itu semacam ramalan. Kalimat tepatnya berbunyi—”

Kendida memotong. “Suatu hari akan datang ketika aliran sungai terkutuk dipotong pendek dan itu adalah hari dua garis besar akan bertemu. Sejak saat itu satu garis akan mati sementara garis lain yang jauh lebih kuat dari yang terakhir akan dimulai!”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel