Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

3. Calon Pengawal Kerajaan

Angrokh telah pindah ke ruang belajar pribadinya setelah diberitahu bahwa Kendida akan menemuinya hari itu.

Dia sedang bersiap menerima Ratu untuk tinjauan bulanan kebijakannya. Nusvathi juga akan datang, tetapi itu jauh setelah Kendida.

Angrokh membuka buku-buku itu ke halaman-halaman tertentu yang harus dia baca dan harus diskusikan. Dia telah merencanakan bahwa hari ini mereka akan membahas kewajiban Kendida untuk turun dari takhta.

Pintu terbuka dan Kendida masuk sambil berpegangan pada lengan Thozai. Angrokh mengerutkan kening tetapi tidak mengatakan sepatah kata pun.

Keduanya berjalan sampai sisi meja. Thozai melepaskan lengan Kendida dan menarik kursi untuk Sang Ratu. Kemudian dia membungkuk sedikit dan berjalan kembali ke pintu keluar.

Pada saat Thozai sampai di pintu, Kendida sudah mulai gelisah di kursi. Kendida benar-benar membenci buku, terutama yang disusun oleh Angrokh untuk dibacanya, dan ketika dia melihat Sarritha membawa setumpuk buku, dia mengerang. Kendida menatapnya sedingin mungkin.

Sarritha melihat tatapan itu dan ragu-ragu.

“Yang Mulia,” katanya sambil mencoba membungkuk dengan buku-buku yang berat.

“Sarritha, letakkan saja buku-buku itu dan tinggalkan kami,” kata Angrokh dengan suara lembut.

Sarritha melakukan apa yang diperintahkan dan menuju pintu yang ditahan oleh Thozai agar tetap terbuka. Sebelum pintu tertutup di belakangnya, dia mendengar Angrokh berkata, “Tidak perlu menatapnya seperti itu. Dia hanya melakukan pekerjaannya.” Kemudian pintu ditutup.

“Aku diberitahu bahwa dia memiliki beberapa potensi.”

“Siapa?” tanya Angrokh.

“Sarritha.”

“Potensi dalam hal apa?”

“Menjadi pengawal kerajaan.”

Angrokh tertawa terbahak-bahak. “Siapa yang memberitahumu?”

“Thozai.”

“Kamu yakin itu bukan karena kecantikannya?”

“Aku mulai berpikir begitu,” kata Kendida sambil berpikir. “Mungkin aku harus melupakan menerima dia.”

“Kau cemburu padanya?” Angrokh bertanya sambil mengamati Sang Ratu dengan seksama.

“Mengapa aku harus cemburu?” dia benar-benar terlihat bingung.

“Sarritha masih muda, cantik dan dia bisa menikah dengan Thozai jika mereka berdua memang menginginkannya.”

Sarritha menyembunyikan senyum yang muncul di wajahnya dan bertanya, “Kamu percaya gosip bahwa aku berselingkuh dengan Thozai?”

“Apakah itu benar?”

“Tidak,” jawab Kendida dengan wajah muram. “Aku memang dekat dengannya, mungkin terlalu dekat, tetapi aku mempercayai hidupku padanya. Kamu mempercayai aku dengan hidupmu, apakah itu berarti bahwa kamu jatuh cinta denganku?”

Ya, ya, ya, Angrokh ingin mengatakan tetapi hanya berkata, “Tidak.”

“Tepat! Aku tahu semua orang khawatir bahwa dia mungkin memimpin pemberontakan, tetapi itu tidak akan terjadi. Itu bukan karakternya.”

“Kau mempertaruhkan nyawamu untuknya.”

“Karena aku mengenalnya. Dia hanya di sini sampai aku mati atau sampai aku mundur. Lalu dia akan kembali ke tempat asalnya, kecuali....”

“Kecuali apa?”

“Kecuali dia menemukan alasan atau tujuan untuk tetap tinggal.”

“Menurutmu Sarritha mungkin menjadi alasan dia bertahan?” tanya Angrokh sambil menyipitkan matanya.

Kendida mengangkat bahu. “Mungkin.”

“Kau tahu kalau Kinan juga tertarik pada Thozai.”

Kendida mengerutkan kening.

“Berbicara tentang Kinan, kau harus membawanya di bawah sayapmu. Kau sudah menundanya terlalu lama dan itu hanya akan menjadi keajaiban kalau kau memiliki anak perempuan untuk mengambil alih kedudukanmu.”

“Aku benci namanya,” kata Kendida dengan enggan.

Angrokh tertawa pelan saat matanya tertuju pada Ratu. Kendida tampak cantik seperti biasanya.

“Itu bukan alasan.”

“Ya, kamu benar,” dia menghela napas. “Aku akan memintanya untuk datang kalau begitu.”

“Kau harus mengajarinya apa yang kau ketahui.”

“Aku akan melakukannya.”

“Dan kau tidak akan menghalanginya jika dia tertarik pada Thozai. Kinan akan menjadikannya suami yang hebat.”

“Dia tidak tertarik dengan Kinan.”

“Bagaimana kau tahu?”

“Kinan terlalu mudah dibaca. Kamu lihat wajahnya dan langsung tahu apa yang dia pikirkan.”

“Kalau begitu kau harus mengajarinya cara menyembunyikan emosi.”

“Akan sulit, tapi ... baiklah.”

Kendida mendadak berdiri.

“Thozai akan melatih Sarritha.”

“Aku tidak setuju. Lagi pula, mengapa bukan kau sendiri yang melatihnya?”

“Karena aku akan sibuk dengan Kinan dan ingin menunjukkan bahwa aku tidak cemburu. Apa pun yang akan terjadi di antara mereka berdua bukanlah urusanku.”

“Tetapi kau tahu bahwa untuk menjadi pengawal kerajaan harus dengan persetujuanmu. Tidak ada gunanya melatihnya kalau kau tidak mengizinkannya masuk.”

“Aku tahu,” Kendida tersenyum.

***

“Keberatan kalau kubantu?” Thozai bertanya setelah memperhatikan Sharritha selama beberapa menit. Sarritha mengangkat bahu lalu menumpuk beberapa buku di tangan Thozai. Dia membawa beberapa lalu berjalan ke rak. Seorang penjaga buku yang lebih tua sedang menatapnya sambil menggelengkan kepalanya. Sarritha tidak tahu apa yang harus dilakukan setelah Thozai menawarkan bantuan tersebut.

“Apakah kau menikmati pekerjaanmu?” tanya Thozai memecah keheningan.

“Maaf?” Sarritha tidak mendengarnya karena pikiran yang ada di benaknya berkelana jauh.

Dia mengatur buku-buku itu kembali ke rak dan mulai mengambil buku-buku yang ada di tangan Thozai.

“Apakah kau menikmati pekerjaanmu?” Thozai bertanya lagi.

“Iya.”

“Jangan bohong, Sarritha.”

Gadis itu terkejut.

Apakah semua orang tahu namaku di tempat ini?

Dia menjawab, “Tidak.”

Mereka berjalan kembali ke meja.

“Apakah kau pernah berpikir untuk melakukan sesuatu yang berbeda?”

“Ya, tapi saya tidak bisa meskipun ingin.”

“Kenapa tidak?”

Sarritha berpikir sejenak. “Saya tidak ... saya tidak memiliki garis keturunan yang tepat sehingga tidak diterima saat melamar.”

“Kau tahu itu dan kau tetap saja melamar?”

“Ya.”

“Apa yang membuatmu berpikir bahwa kau bisa melakukannya?” Thozai bertanya sambil duduk. Matanya masih tertuju padanya tapi sekarang Sarritha sudah terbiasa dengan tatapan pria itu.

“Ada dalam darah saya,” katanya singkat sambil terus menumpuk buku.

“Benarkah?” tanya Thozai perlahan meraih belati yang tergantung di sarung di sisi kanannya. “Tapi aku pikir kamu bilang kamu tidak—”

Nyaris tanpa jeda, Thozai melemparkan belati ke arah Sarritha dengan tujuan agar tidak mengenai kepalanya. Dia mendapatkan reaksi yang dia inginkan.

Gadis itu merunduk, tetapi Thozai menyelipkan kakinya ke kaki Sarritha dan membuatnya kehilangan keseimbangan. Sarritha melepaskan buku-buku di tangannya dan menangkap meja untuk menstabilkan dirinya, tetapi naluri mengambil alih begitu dia mendorong meja dan bergerak mundur.

Dia melihat Thozai menikam meja tempat dia berada, tapi Sarritha sudah hampir terjatuh. Thozai berbalik dan menangkap lengannya, tetapi menarik lalu melemparkannya ke atas meja sehingga buku-buku berjatuhan ke lantai.

Sarritha mendengar pedang ditarik dari sarungnya. Dia menutup matanya saat merasakan ujung logam yang tajam dan dingin di lehernya.

Aku sudah diperingatkan.

Terdengar suara yang penuh wibawa.

“Thozai, apa yang kamu lakukan?”

Sarritha membuka matanya dan melihat Thozai berdiri di atasnya. Pria itu menarik pedangnya.

Sarritha duduk dan melihat Raja Nusvathi berjalan ke arah mereka. Sarritha melangkah mundur dan bersimpuh di lantai.

“Nusvathi, perkenalkan. Ini muridku, Sarritha,” kata Thozai memperkenalkannya kepada Nusvathi.

“Muridmu? Dia seorang penjaga buku!” Nusvathi menuding pakaian seragam pegawai perpustakaan di tubuh Sarritha. “Apakah Kendida tahu tentang ini?

Apakah dia,” Nusvathi menunjuk Sarritha, “memang ingin menjadi muridmu?”

“Apakah kamu mau menjadi muridku?” Thozai bertanya sambil menoleh ke Sarritha.

Sarritha berhasil meredakan keterkejutannya. Matanya melebar dan dia tersenyum.

“Ya, saya ingin menjadi murid Anda.”

“Sudah beres kalau begitu. Kendida tahu bahwa aku telah memutuskan untuk menjadi mentornya dan kalau Sarritha setuju, seperti yang telah dia katakan, maka dia adalah menjadi muridku.”

“Aku akan berbicara dengan Kendida dan mengatakan apa yang aku pikirkan.”

Nusvathi bergegas menuju ruang belajar.

Thozai menoleh ke Sarritha yang tersenyum meskipun matanya tertuju ke lantai. Gadis itu mendongak tepat ketika Thozai berkata, “Pelajaran nomor satu, bergerak cepat. Setiap penundaan maka kau akan tewas. Pelajaran nomor dua, selalu awasi musuhmu. Gangguan apa pun bisa berakibat fatal. Hal lain, jangan tutup matamu bahkan ketika kau menghadapi kematian.”

Dia berhenti. “Itu saja untuk hari ini. Ada pertanyaan?”

“Ya, di mana saya akan berlatih?”

“Di mana saja dan kapan saja.”

“Apakah tidak sebaiknya saya pergi ke istana Ratu Kendida?”

“Tidak, kau akan tetap bekerja di sini.”

Thozai menangkap kekecewaan di wajah Sarritha.

“Kau akan membutuhkan akses tak terbatas ke buku-buku ini kalau ingin menjadi lebih baik dariku, dan selain itu kamu perlu membayar jika ingin mempertahankan hidupmu di kota ini.”

“Oh! Satu hal lagi, apakah Ratu Kendida menyetujui ini?” Sarritha tidak ingin dikecewakan untuk kedua kalinya.

“Ya, tetapi aku sarankan padamu, menjauhlah darinya. Sekarang setelah kau belajar bertarung, kau mungkin menjadi lawan tanding baginya. Ada pertanyaan lain?”

“Tidak.”

“Tidak apa?”

“Tidak, Guru.”

Thozai berjalan ke pintu besar, tetapi sebelum menutup di belakangnya, dia melihat Sarritha melompat-lompat dengan gembira.

Dia persis seperti ibunya, pikir Thozai. Tapi lebih muda.

Thozai menggelengkan kepalanya untuk menghilangkan pikiran itu.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel