BABI NGEPET - BAB 4: Rahsia Yang Terbongkar - 1
Bab 4.1: Barang Hilang, Orang Bingung
Desa Karang Wangi berubah. Siang hari tampak sama — orang bekerja di sawah, ibu-ibu menjemur padi, anak-anak bermain di pematang. Tapi malam hari… kampung ini seperti kota mati. Pukul delapan malam saja, pintu rumah sudah dikunci rapat, lampu dipadamkan, dan suara orang mengaji dari surau makin lirih, hampir hilang ditelan angin malam.
Naim duduk di beranda rumah Tok Lang, menyeruput kopi panas yang menghangatkan tangan. Matanya menatap ke arah kampung yang sepi, rasa gelisah menjalar di dadanya.
“Tok… kenapa semua orang macam takut?” tanyanya pelan, hampir seperti takut suaranya terdengar.
Tok Lang menghela napas panjang, matanya menatap jauh ke arah sawah yang basah oleh embun pagi.
“Barang hilang, Naim… duit hilang, barang kemas hilang, bahkan padi yang dijemur pun lenyap begitu saja. Tapi tak ada seorang pun yang berani buka mulut.”
Naim mengetap bibirnya, jari-jarinya menggenggam gelas kopi seakan menahan ketakutan.
“Siapa yang ambil, Tok? Siapa yang berani?”
Tok Lang meludah ke tanah, mukanya keras dan serius.
“Kau tahu sendiri, Naim. Tapi siapa berani menuduh? Orang takut disumpah… takut dimalukan… bahkan ada yang sampai tak berani keluar rumah sendiri malam-malam.”
Naim menunduk, bulu tengkuknya meremang. “Tapi… bagaimana bisa orang seterpaksa itu? Apa… apa mereka benar-benar takut pada ilmu hitam?”
Tok Lang menepuk bahu Naim pelan, tatapannya tegas.
“Tak salah jika kau takut. Tapi ketahuilah, anakku… ketakutan ini nyata. Dan itu hanya permulaan. Kau akan lihat sendiri… apa yang terjadi jika orang terus menyerahkan diri pada dosa dan nafsu. Mereka sudah kehilangan keberanian… dan sedikit demi sedikit, mereka kehilangan akal sehat.”
Keesokan paginya, Naim berjalan ke warung. Beberapa ibu sedang berbisik, menunduk ketika melihatnya mendekat. Mata mereka bersinar takut, cemas, dan ada sedikit rasa curiga.
“Semalam duit aku hilang dalam almari… pintu dikunci… tak ada orang masuk!” bisik seorang ibu dengan tangan gemetar.
“Aku juga… beras habis setengah karung!” tambah ibu lain, suaranya hampir tenggelam oleh desiran angin.
“Aku dengar suara… suara binatang besar dekat pagar…,” kata yang ketiga, menatap ke arah Naim dengan mata melebar.
Mereka berhenti bercakap saat Naim mendekat, saling menatap dengan takut, malu, dan curiga. Naim menelan liur, rasanya seluruh tubuhnya tegang.
“Tok… ini benar-benar… menyeramkan, ya?” Naim berbisik saat pulang, menatap ke arah sawah yang tampak damai tapi menyimpan rahasia gelap.
Tok Lang menatapnya, wajahnya serius.
“Anakku… ini baru permulaan. Barang hilang hanyalah tanda. Lihatlah desa ini… malamnya sudah mati. Dan siapa pun yang berani melawan… akan merasakan akibatnya.”
Naim menggenggam tangannya sendiri, bulu tengkuknya meremang lagi. Ia tahu, malam di Desa Karang Wangi tidak akan pernah sama lagi.
Bab 4.2: Suara di Tengah Malam
Malam itu hujan turun lagi, tipis tapi dingin menembus tubuh. Angin menderu dari kebun pisang, menimbulkan suara gemerisik yang menyeramkan. Daun-daun menampar jendela, seolah ingin mengetuk pintu rumah. Naim memutar selimut lebih erat, mencoba tidur, tapi matanya terus melirik ke arah jendela.
“Hujan… lagi… dan angin ini…” gumamnya pelan, hampir tak terdengar. “Sepertinya… malam ini tidak akan tenang.”
Tiba-tiba terdengar suara ngorok berat. Hidung yang mengendus-endus tanah, dengus keras, dan bunyi tanah tergali membuat jantungnya seakan berhenti.
Naim menahan napas, merapatkan tubuh ke dinding. “Apa itu…? Astaghfirullah…” suaranya hampir tersedak. Ia menoleh ke arah pintu kamar, berharap Tok Lang ada di sampingnya. Namun rumah terasa kosong, hanya suara hujan yang menambah kesunyian.
Perlahan ia membuka tirai, menahan napas seolah satu suara pun bisa membangunkan makhluk itu. Di tengah hujan tipis, di sawah yang mengilap karena air, ia melihat bayangan babi hitam besar. Kain batik basah menempel di badannya, tubuhnya gemetar mengikuti langkah berat. Mata merah menyala, menembus gelap. Gigi kuning panjang terlihat saat makhluk itu mendengus. Di mulutnya, tergantung karung lusuh berisi barang-barang curian.
Naim menelan liur, tubuhnya gemetar hebat. “Ya Allah… ini… ini Surip? Tidak… tidak mungkin… ini manusia atau binatang…?” bisiknya, hampir berteriak, tapi suaranya mati di tenggorokan.
Babi hitam itu menoleh ke arah jendela. Mata merahnya menatap Naim tajam, seakan mengirim pesan: “Pergi, atau kau berikutnya.”
Naim mundur, tersandung kursi, lututnya lemas. Ia menempel di dinding, menutup mata, menahan napas, menahan tangis yang sudah ingin tumpah.
“Tok… Tok… kalau kau ada… tolong…” bisiknya lirih. Hatinya penuh ketakutan, tapi juga rasa ingin tahu yang tak bisa ia bendung.
Ia mencoba menarik napas dalam-dalam, berdoa di dalam hati. “Ya Allah… selamatkan aku… jangan biarkan aku jadi korban malam ini… jangan biarkan aku melihat lebih jauh lagi… tolong… ya Allah…”
Babi hitam itu berdiri beberapa saat, mengendus udara, lalu perlahan berjalan menjauh, karung di mulutnya berguncang. Naim tetap di tempatnya, tubuh gemetar hebat, bulu kuduknya meremang, dan seluruh malam terasa panjang.
Ia tahu, malam ini… Desa Karang Wangi berubah menjadi tempat yang lebih menyeramkan dari sebelumnya. Suara ngorok itu, bau basah yang menyengat, dan tatapan mata merah itu akan terus menghantui pikirannya sampai fajar.
Bab 4.3: Jejak Darah dan Dendam Tok Lang
Keesokan paginya, hujan berhenti. Udara lembap, tanah masih bau hanyir malam tadi. Jalan-jalan kampung becek, genangan air memantulkan langit kelabu. Warga mulai berkumpul di tepi jalan, wajah mereka pucat, mata berlingkar hitam kerana kurang tidur.
“Pak… pak, sini! Ada darah!” jerit seorang pemuda.
Penduduk lain segera mendekat. Di tengah lumpur, terlihat bekas tapak kaki babi besar—lebih besar dari babi hutan biasa. Di sela-sela tapak itu, titik-titik darah hitam kecoklatan tersebar memanjang ke arah kebun getah.
Seorang makcik menutup mulutnya, suaranya bergetar.
“Astaghfirullah… darah siapa ni? Atau… darah apa?”
“Aku dengar semalam suara macam orang nangis dekat bendang…” bisik seorang lagi dengan wajah pucat.
Pak RT melangkah ke depan, tangannya terangkat meminta semua diam. Suaranya bergetar, tapi tetap keras kerana dia sendiri ketakutan.
“Dengar semua!” katanya lantang. “Siapa yang simpan ilmu ini… tolonglah berhenti! Kampung kita makin tak aman!”
Beberapa lelaki kampung saling berpandangan, tapi tidak seorang pun berani membuka mulut.
Pak RT menarik napas dalam-dalam.
“Kita boleh maafkan. Kita boleh tutup aib. Tapi kalau diteruskan…” Dia menatap titik-titik darah di tanah. “…ini bisa makan nyawa!”
